“Ngak boleh.”
“Kenapa? Bilang saja aku pacar kamu. Aku ngak mau nanti ada yang godain kamu di sana.”
“Ngak gitu konsepnya, Van. Lagian ada Jordan yang bakal jagain kita kok. Sudah beberapa kali Jordan nganterin aku pulang, itu juga sama Lusi.”
Ivan terkekeh, sebenarnya dia juga tahu kalau Bella sering hangout dengan teman kantornya, bahkan dia sering mengikuti waktu Bella diantar pulang hanya memastikan tidak ada yang berniat jahat padanya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Bella masa-masa itu. Hanya saja ia ingin terlihat sedikit menyusahkan Bella dengan sikap manjanya.
“Oke. Kalau gitu Jumat ini aku ajak anak-anak menginap di rumahku sama Mami Sintia, boleh, kan?”
Bella menghela nafas pelan, dirinya merasa seperti bernegosiasi soal me timenya dan mengatur urusan anak dengan suaminya sendiri. Padahal waktu masih menjadi istri Jackson, Bella tidak pernah hangout ke klub karena sifat Jackson yang pencemburu hanya mengijinkannya pergi bila ada suaminya dulu. Terlebih lagi dulu mereka masih tinggal dengan mertuanya, Bella merasa dunianya semakin mengecil.
Sedangkan dengan Ivan, meskipun sikapnya terlihat posesif namun Ivan mau memberinya ruang untuk melepas segala penat bersama teman-temannya. Tidak ada larangan dan sebagainya, membuat poin tambahan bagi Bella tentang menikahi pria ini. Apalagi Ivan memilih untuk menemani anak-anaknya nanti, terlihat seperti suami pengertian bukan.
“Yah, terserah kamu. Kalau mereka mau, enggak apa-apa kamu ajak saja. Lagi pula, mereka akan tinggal di sana juga nantinya kan.”
Tangan Ivan menyentuh punggung tangan Bella yang berada di pangkuannya sambil tersenyum manis.
“Terima kasih yah, kamu percaya sama aku soal anak-anak.”
“Yang terpenting ada Mamiku sih, bukan percaya sama kamunya.”
Mata Bella melirik tajam kemudian membuang muka menghadap ke depan.
‘Aduh, Ella. Baru saja aku senang merasa kamu menaruh rasa percaya untukku soal anak-anak, eh pikiran dia ternyata beda. Sabar, Van. Sabar..’
Sesampainya di rumah Bella. Ivan dan Bella turun bersamaan. Biasanya setiap Bella pulang kantor, kedua anaknya sedang makan malam atau sudah mengganti pakaian tidur.
Ivan meraih jemari tangan Bella dan menggenggamnya, membawanya masuk ke dalam rumah. Bella hanya terpaku tanpa bisa protes. Entah mengapa pikiran dan tindakannya sering kali tidak bekerja sama dengan baik sejak bersama
Pikiran dan mulutnya berkata tidak mau, tapi tubuhnya seperti magnet yang menurut kemana sumbunya mengatur.
Binar mata Ivan nampak bercahaya saat mendapati dua anak lucu itu masih di ruang tamu.
“Halo Josh, Jess. Papi Ivan pulang.” Serunya sambil tersenyum merasa bangga dengan ucapannya sendiri.
“Heh? Pulang? Datang kali. Kan nanti kamu pulang ke rumah.” Protes Bella dengan suara pelan supaya tidak terdengar kedua anaknya.
Ivan menjawab sambil berbisik pada Bella. “Latihan buat habis nikah nanti. Kan tiap kali pulang kerja, harus ngucapnya Papi pulang. Biar nanti kebiasaan.” Bola mata Bella memutar jengah dengan tingkah laku Ivan.
Ivan memang mengagumi kedua anak Bella. Josh dengan pembawaan seperti dirinya saat kecil, tidak banyak bicara dan terlihat melindungi adiknya. Sedangkan Jess mirip seperti Bella saat kecil dulu, manja dan lembut. Meskipun bukan ayah biologis mereka, bagi Ivan tidak jadi masalah. Rasa cintanya seketika terbentuk saat melihat mereka pertama kali. Perasaan ingin membahagiakan anak-anak ini semakin hari semakin besar.
“Papi Ivan!” Seru kedua anak Bella menghampiri.
Namun belum sampai, Bella menghadang kedua anaknya. “Eits, Papi Ivan baru pulang kerja, belum cuci tangan. Bajunya juga masih kotor. Ingat ngak kalau Mami pulang kerja kalian harus nunggu sampai Mami gimana?”
Jess mengerucutkan bibirnya dan menunduk menautkan jemarinya. “Sampai Mami udah mandi.”
Ivan juga ikutan mengerucutkan bibirnya seperti kecewa karena tidak mendapatkan pelukan dari dua bocah kesayangannya. “Jadi aku harus mandi dulu? Ada kaos buat cowok ngak?”
Sintia langsung menimpali. “Adak ok, Van. Sebentar, Mami ambilin.” Kemudian masuk ke dalam kamar Bella untuk mengambil kaos milik almarhum Jackson yang masih disimpan Bella.
Bella hanya diam mengerutkan keningnya. Niatnya selain mengajarkan soal kebersihan, ia hanya ingin Ivan cepat pulang dari rumahnya. Tidak lama kemudian, Sintia sudah keluar membawa handuk dan stelan baju rumah untuk Ivan.
“Harusnya masih muat, Van. Kamu mandi di kamar Ella saja sana.”
“Makasih, Mam.”
Bella semakin kesal karena Sintia tidak menanyakan apakah dirinya keberatan atau tidak. “Mam, mandinya bisa di kamar mandi depan kan, ngak perlu di kamar aku.” Gerutunya bersuara pelan.
“Kenapa ngak boleh, kalian sebentar lagi udah mau nikah kan. Udah ah jangan protes terus, mendingan kamu mandi, Mami siapin makan malam buat kamu berdua.”
Sintia berlalu ke dapur memanaskan sayur untuk Bella dan Ivan.
Saat makan malam, Josh dan Jess duduk dihadapan Ivan, sambil mengajak pria dewasa itu mengobrol. Lebih tepatnya dua anak ini berebutan menceritakan kegiatan mereka hari ini di sekolah. Dan yang membuat Bella cukup terkejut adalah reaksi Ivan menanggapi celotehan anak-anaknya.
“Nanti Papi ke sekolah kamu, negur orangtuanya Marco.”
Bella langsung menoleh mendengarkan sikap Ivan. Meskipun ia kesal dengan anak kecil yang kerap merudung Jess dan Josh, tetap saja Bella tidak ingin mencari masalah dengan orang tua di sana.
“Aku sudah lapor ke guru kelas mereka. Jangan sampai ke orang tua.” Protes Bella.
“Tapi tadi Malco masih nakal, Mam. Lambut Jess ditalik telus di bilang Jess ngak punya papi jadi anak gembel.” Seru Jess menimpali.
“Iyah, nanti Papi yang bicara sama kepala sekolah kamu. Kalian sekolah di Tunas Pelita kan?”
Dua anak lucu itu mengangguk bersamaan.
“Sebentar.”
Ivan mengambil ponselnya, kemudian menghubungi seseorang.
“Malam, Anita.”
Bola mata Bella melebar lagi mendengar Ivan menghubungi seseorang bernama Anita, dan kebetulan sama dengan nama kepala sekolah di sana.
Semua mata tertuju pada Ivan, telinga mereka mendengarkan apa yang dibicarakan Ivan di sana dengan kepala sekolah Josh dan Jess. Bella masih berpikir darimana Ivan bisa mengenal kepala sekolah anaknya.
“Ada murid di sekolah namanya Marco umur 5 tahunan. Ada yang bilang ke gua anak itu suka bully anak lain dan pihak sekolah ngak bertindak apapun sama anak itu.”
Pandangan Josh dan Jess membola, tentu saja mereka mengerti pembicaraan Ivan dengan orang yang diketahui sebagai kepala sekolah TK dan SD di sana.
“Oke thanks, Nita. Gua harap ngak ada anak-anak yang dibully sama anak itu lagi. Gua yakin nama baik sekolah akan berpengaruh kalau pembuli anak sekecil itu sampai terdengar dan sekolah tidak memberikan keputusan tegas.”
Selesai bicara, Ivan mematikan sambungan teleponnya. “Sudah, dipastikan besok orang tua Marco dipanggil ke sekolah. Anita sendiri yang akan mengirim pesan dan bicara sama mereka besok.”
Josh dan Jess bertepuk tangan merasa senang, semakin bersinar bola mata anak-anak itu menatap Ivan bak pahlawan mereka.
“Papi Ivan hebat.” Ujar Jess senang sekaan terlihat kelegaan dari senyumannya.
“Kamu kenal Bu Anita dari mana?” Tanya Bella masih tertegun.
“Dia teman kuliah ku dulu. Aku juga investor di sekolah itu.” Jawab Ivan dengan entengnya sambal tersenyum.
Josh dan Jess terlihat menempel pada Ivan, sampai pria itu menemani mereka tidur. Bahkan Ivan bersedia saat Jess meminta Ivan membaca buku dongeng cinderela kesukaannya. Dua anak cerdas itu tertidur dengan cepat saat Ivan menemani. Pria itu duduk di antar dua ranjang single dengan Josh di sebelah kanan dan Jess di sebelah kiri. Menatap wajah keduanya saja membuat Ivan tersenyum, dan Bella melihatnya dari pintu masuk.
‘Apa Ivan tulus sama anak-anakku? Apakah aku tidak salah jalan memutuskan menikah sama dia? Sayang, apa kamu juga setuju aku menikah lagi? Maafkan aku, Sayang. Josh dan Jess ternyata masih membutuhkan sosok papi mereka dan kelihatannya Ivan yang mereka pilih.’ Dalam hati Bella bermonolog sendiri.
Karena melamun, Bella tidak sadar kalau Ivan sudah beranjak dan menghampirinya kemudian menarik tangan Bella masuk menuju kamarnya dengan cepat.
“Ngapain kamu kemari?” Protes Bella merasa canggung dengan kehadiran pria lain di dalam kamarnya.
“Apa kamu punya foto mereka waktu bayi?” Tanya Ivan.
“Ada, besok-besok saja lihatnya. Sudah malam, kamu harus pulang. Ngak baik kelamaan di sini.”
“Kenapa? Kamu tunanganku. Kita akan segera nikah. Mami kamu juga ngak masalah aku di kamar kamu. Ngak salah juga kan, aku cuma mau lihat foto Josh dan Jess baby kok. Bukan mau buka baju kamu.”
Jawab Ivan menyeringai kemudian mendekati Bella, membuat wanita itu memundurkan langkahnya.
“Ak-aku belum terbiasa.”
Tiba-tiba pinggang Bella ditarik Ivan membuat tubuhnya menempel tanpa jarak. Seulas senyum Ivan terbit di bibirnya, melihat wajah Bella tersipu menambah kecantikan wanita ini. Sayangnya ia harus bersabar menunggu apa yang terlintas dalam pikirannya sekarang.
“Mulai harus dibiasakan, kamu juga harus terbiasa melihatku di kamar hanya memakai celana saja.”
“Mak-maksud kamu?”
Ivan memajukan kepalanya mendekat ke telinga. “Aku suka tidur tanpa memakai pakaian.”
Wajah Bella memerah sampai telinga dan lehernya, sungguh menggemaskan.
“Ehm, sebaiknya kamu pulang, Van. Aku juga mau tidur, capek.”
“Boleh nginep aja ngak sih?” Rajuk Ivan masih mengalungkan tangannya di pinggang Bella.
“Ngak yah!” Jawab Bella dengan mata galaknya.
“Kapan sih kamu ngasih aku senyuman manis. Galak aja kamu cantik loh, gimana kalau manis.”
Sepertinya Ivan harus diingatkan lagi tentang pernikahan mereka agar tidak larut dalam suasana.
“Kamu masih ingat kan perjanjian nikah yang sudah kita setujui.”
“Hem, ingat semuanya. Yang aku lakukan ini ngak menentang perjanjian kita kan? Ngak ada perjanjian ngak boleh meluk sama cium kamu kan?”
Bella mendengus, berdebat dengan Ivan rasanya tidak akan menang.
“Oke, aku pulang dulu.”
Kemudian Ivan mendekap wajah bella, mengecup kening Bella, pipi kiri dan kanan lalu bibir manis calon istrinya. Bella nampak tidak bergeming, tidak menolak tapi tidak terlihat menerima juga. Hanya rona di wajahnya saja yang muncul bereaksi karena sikap Ivan yang selalu manis.
“Aku akan sabar nunggu sampai kamu siap. Jangan takut.”