Elvano berdiri di sisi rak buku, menatap punggung Lavinia yang duduk tenang di depan jendela besar. Sinar lampu kota jatuh di pipi perempuan itu, menyorot wajahnya yang datar seperti topeng porselen. Cantik, tapi sulit ditebak.
Tak ada yang bicara. Hanya suara es di dalam gelas bourbon Elvano yang mencair perlahan.
“Kau tak tanya bagaimana perjalananku?” Elvano akhirnya bersuara.
Lavinia tidak menoleh. Ia hanya menarik napas ringan, lalu menjawab, “Aku sudah baca laporan lengkap dari sekretaris divisi ekspansi. Tak ada yang perlu kutanyakan darimu.”
Nada suaranya halus, tapi tajam. Seperti pisau lipat di dalam kotak beludru.
Elvano meneguk minuman. Matanya tak lepas dari siluet Lavinia yang tenang seperti permukaan danau. Tapi ia tahu, di balik ketenangan itu, badai selalu mengintai.
“Aku hanya—”
“Kau hanya tidur dengannya, bukan?” Lavinia menyela. “Atau kau sudah mulai pikirkan nama bayi jika Aurelia mengandung?”
“Lavin—”
“Jangan panggil aku begitu.” Kali ini Lavinia menoleh, matanya setajam belati. “Nama itu hanya berlaku untuk orang yang layak menyebutnya.”
Mereka terdiam. Elvano memejamkan mata sejenak, lalu berjalan pelan ke arah Lavinia. Ia berdiri di hadapannya, menatap wajah itu, wajah yang dulu ia puja, kini seakan jadi cermin bagi dosa-dosa yang tak ia akui.
“Dengar, Lav—”
“Aku sudah mendengar semuanya, Elvano,” katanya tenang, tapi dingin. “Nada napasmu. Nada bisikmu di telepon. Bahkan suara Aurelia ketika memanggilmu Mas dengan bibir yang masih berbau kantor. Kau pikir aku tuli?”
Elvano mengatupkan rahangnya.
“Lalu apa yang kau inginkan dariku sekarang?” tanyanya pelan.
“Apa yang kau takutkan,” Lavinia menjawab, berdiri. Kini tinggi mereka sejajar.
“Kau takut aku menceraikanmu. Karena tanpa gelarku, kau bukan siapa-siapa. Mahendra Group berdiri di atas saham keluarga Adine, bukan dari hasil peluhmu sendiri.”
“Jadi ini tentang harta?”
“Bagi kau, mungkin. Tapi bagiku ini tentang harga diri. Dan kau telah menukarnya dengan tubuh sekretarismu.”
Lavinia berjalan melewatinya, tapi Elvano meraih pergelangan tangannya.
“Kau pikir aku tidak pernah mencoba mencintaimu?”
Ia menatap mata Lavinia, matanya yang dulu redup karena cinta, kini bersinar karena luka.
“Aku tidak butuh percobaan,” gumam Lavinia pelan.
“Aku butuh usaha. Dan kau bahkan tak mau menyentuh lukaku. Kau hanya marah karena tak bisa meniduriku.”
Hening. Pernyataan itu menggantung lama di udara.
Elvano melepaskan tangannya perlahan. Tapi Lavinia menambahkan, lirih, “Pergi tidur di kamar tamu. Kita hanya berbagi atap. Bukan hidup.”
Tanpa menoleh lagi, Lavinia berjalan menuju kamar utamanya. Pintu ditutup pelan, nyaris tanpa suara. Tapi dentumannya mengguncang hati Elvano.
Di luar, langit Jakarta mulai gerimis.
Tapi di dalam penthouse, hujan sudah lama turun.
***
Cahaya malam membias lembut dari jendela besar kamar utama penthouse itu. Lampu gantung padam, digantikan kerlap-kerlip lampu kota yang menyusup dari sela tirai, menciptakan siluet di dinding marmer abu yang mahal. Di atas ranjang, Lavinia duduk bersandar, mengenakan robe satin berwarna hitam yang menyisakan garis leher jenjang dan kulit pucat yang lembut di bawah cahaya bulan.
Di seberangnya, Seth berdiri kaku di ambang pintu kamar.
"Lepaskan dasimu," ucap Lavinia pelan, datar, tidak menyuruh dengan nada otoritatif, tetapi juga bukan permintaan. Lebih seperti kebiasaan, suara yang akrab, menggantung dalam udara dingin.
Seth patuh. Ia melonggarkan dasi hitamnya, menarik perlahan, lalu melipatnya di telapak tangan. Hatinya berdebar lebih keras dari biasanya.
"Bisa kau duduk sebentar?"
Seth mengangguk, berjalan pelan dan duduk di sofa kecil di sisi tempat tidur. Ia masih menjaga jarak. Masih menyimpan batas. Tapi di dalam dirinya, ada badai yang terus berputar, tentang malam tadi, tentang Lavinia yang diam-diam mencintai pria yang tak layak ia puja.
"Aku tak pernah menyangka," gumam Lavinia, tanpa menatapnya. Suaranya nyaris seperti bisikan, tapi terdengar begitu dalam.
"Bahwa aku akan jatuh cinta pada seseorang yang begitu dingin. Begitu tidak ingin tahu siapa aku sebenarnya."
Seth tidak bicara. Matanya menatap Lavinia. Napasnya berat. Ia tak ingin mendengar nama pria itu dari bibir Lavinia, tapi ia tahu—setiap malam, perempuan itu tidur bukan dengan ketakutan, tapi dengan kenangan. Dan kebanyakan dari kenangan itu berwajah Elvano.
"Aku mencintainya, Seth," ucap Lavinia lirih, akhirnya menoleh, menatap Seth dengan mata kaca-kaca. "Dengan semua luka, semua trauma, semua cacatku. Aku benar-benar mencintainya."
Seth mengatupkan rahang.
Lavinia menarik napas, memejamkan mata sejenak.
“Tapi kau tahu apa yang menyakitkan? Aku tidak pernah cukup untuk dia. Aku menjaga tubuhku bukan karena aku ingin menghukumnya. Tapi karena aku butuh waktu. Aku pikir, dia akan menunggu. Akan bertanya. Akan menyentuhku dengan sabar.”
Ia membuka mata, menatap Seth tajam.
“Tapi ternyata lebih mudah baginya membaringkan sekretarisnya di ranjang kantor daripada memahami istrinya di rumah.”
Seth ingin berbicara. Ingin mengatakan bahwa lelaki itu tidak layak mendapat cinta sebesar itu. Tapi lidahnya kelu.
“Setiap hari, aku bertanya pada diri sendiri. Apa yang salah padaku? Apa aku terlalu dingin? Apa aku terlalu keras? Tapi semakin aku bertanya, semakin aku sadar, dia tidak pernah mencoba mencari jawabannya,” lanjut Lavinia, suaranya mulai bergetar.
“Dia hanya pergi. Menyalahkan. Meninggalkan.”
Sunyi menyelimuti mereka. Hanya detik jam yang terdengar, pelan namun menyiksa.
Seth bangkit perlahan, ingin berdiri lebih dekat. Tapi Lavinia menahan dengan tatapan.
“Kau tahu apa yang membuatku bertahan, Seth?” katanya. “Bukan cinta. Tapi gengsi. Aku tidak ingin terlihat kalah. Aku tidak ingin dicampakkan.”
Seth menggenggam jemarinya sendiri. Menahan diri agar tidak melangkah dan memeluknya.
Lavinia berdiri pelan, lalu berjalan ke arah jendela. Rambutnya dibiarkan terurai, jatuh ke punggung. Ia menatap keluar, menahan air mata yang memantul dari kaca.
“Aku bisa menggulingkannya dari kursi CEO hanya dengan satu kalimat di rapat dewan. Tapi aku tidak bisa menggulingkannya dari hatiku.”
Dan di situlah Seth ingin berbicara.
“Nona—”
Perempuan itu menoleh perlahan. Matanya merah, tapi bibirnya tersenyum getir.
“Ya?”
Seth membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Kata-kata yang tadi mendesak keluar kini tercekat. Ia ingin bilang bahwa ia mencintainya. Bahwa ia tidak pernah menginginkan apa pun darinya, hanya kesempatan. Tapi itu bukan tempatnya. Ia adalah pengawal. Bayangan. Penjaga rahasia. Dan Lavinia adalah perempuan yang berdiri di atas panggung kekuasaan.
“Saya akan berjaga di depan pintu seperti biasa,” katanya akhirnya.
Lavinia menatapnya lama. Bibirnya mengucap pelan, nyaris tak terdengar, “Ya, tetaplah tinggal.”
Seth menunduk sedikit, lalu melangkah ke luar kamar. Pintu ditutup pelan, tapi tidak sepenuhnya.