Bab 6

725 Words
Pagi menyusup perlahan ke dalam penthouse apartemen. Cahaya tipis menyorot ke lantai marmer, membentuk garis-garis samar. Udara masih lembap oleh sisa malam. Lavinia duduk tenang di tepi kursi panjang, mengenakan kimono satin perak yang nyaris tak menutup kulitnya. Rambutnya dibiarkan tergerai, belum disisir. Matanya lurus ke depan, kosong tapi tajam. Langkah Elvano memasuki penthouse terdengar nyaris tanpa bunyi. Ia memutar lehernya pelan, sedikit kaku setelah penerbangan pagi dari Surabaya. Kemeja putihnya tersusun rapi, dasi hitam dilonggarkan hanya sedikit. Satu tangan masih menggenggam koper kecil, sementara tangan satunya mengusap tengkuk lehernya, seakan nyeri oleh sesuatu yang bukan kelelahan. Lavinia berdiri di sisi meja makan, satu tangan memegang gelas kristal berisi anggur pagi yang belum sempat diteguk. Gaun putih tipisnya jatuh ringan di bahunya, memberi kesan tak bersalah yang mematikan. Matanya tajam memeriksa setiap detail, terutama satu hal kecil yang tak tertutup oleh kerah kemeja suaminya. Garis merah samar. Seperti cakaran. Terlalu tipis untuk kecelakaan biasa. Terlalu dalam untuk tidak disengaja. “Apa kau kasar semalam?” tanyanya dingin, nada suaranya nyaris seperti membelai tapi penuh racun. Elvano membeku sepersekian detik. Ia tetap melangkah ke dalam, menaruh koper di sisi sofa, lalu menarik napas, seolah mencoba menjaga sisa martabat yang tersisa. “Hentikan itu, Lavinia. Aku baru saja pulang.” Lavinia tersenyum. Senyuman yang tidak membawa kehangatan apa pun. "Ah, jadi kau memilih tidak menjawab. Sungguh menyedihkan. Kalau pun kau ingin berbohong, setidaknya bungkuslah lebih rapi. Bekasnya terlalu bodoh untuk disembunyikan." Ia berjalan perlahan ke arahnya. Langkahnya ringan, berirama. Tapi ucapannya seperti belati. "Lucu, ya. Kau pikir kau masih pria yang memegang kendali hanya karena berdasi dan duduk di kursi direksi. Padahal bahkan tubuhmu sudah lelah pura-pura setia." Elvano menarik napas. Tegang. Tapi ia berusaha tenang. “Aku tidak akan membahas ini denganmu.” “Tidak akan?” Lavinia menyeringai kecil. “Sayang sekali. Padahal aku baru saja memikirkan banyak hal tentangmu di malam sebelum kau pulang. Tentang bagaimana Elvano Mahendra, pria paling disegani di ruang rapat, ternyata tak lebih dari laki-laki menyedihkan yang bisa dilumpuhkan hanya dengan satu anggukan sekertarisnya.” Elvano menatapnya dengan dingin, tapi retak. "Aku tidak tahu permainan apa yang kau jalankan sekarang." Lavinia mengangkat bahu ringan, seolah sedang membicarakan resep sarapan. “Aku hanya mengingatkan. Bahwa aku masih punya cengkeraman yang jauh lebih kuat dari yang bisa kau bayangkan. Bahwa aku bisa membuatmu jatuh tersungkur ke kubangan paling kotor di bawah sana, Elvano.” Ia mendekat, tangannya menyentuh sisi d**a Elvano, hampir seperti belaian. “Dan kau tahu apa yang paling menyenangkan?” bisiknya. “Aku bisa menjatuhkanmu tanpa harus menyentuhmu sama sekali.” Elvano menepis tangannya pelan, mencoba tak tampak panik. “Cukup, Lavinia. Jangan bawa-bawa ancaman ke rumah ini.” Lavinia mengangkat gelasnya ke bibir, tapi tak meneguknya. “Belajarlah untuk menyenangkanku seperti Seth,” ujarnya tenang. “Kalau kau masih ingin dikelilingi harta. Mobil, saham, properti, semuanya bisa kulucuti darimu, Elvano. Seperti kulit dari bangkai.” Elvano menatap tajam. “Mencium kakimu setiap waktu? Kau mau itu?” Lavinia tersenyum lebar sekarang, senyuman paling mematikan yang pernah ia tunjukkan pagi itu. “Kalau kau cukup pintar, kau akan tahu bahkan Seth tak sekadar mencium kakiku. Dia memuja. Dia tidak menuntut hak. Tidak juga berpura-pura menjadi suami.” Sunyi merambat sesaat. Hanya suara jam dinding yang berdetak perlahan. Elvano berjalan menuju dapur, membuka lemari, mengambil segelas air. Ia membelakangi Lavinia, tapi bayangannya tetap terpantul di permukaan kaca lemari pendingin. “Kau bukan istri yang bisa dicintai, Lavinia.” Gelas di tangannya gemetar sedikit. Lavinia melangkah pelan ke arahnya. Kini hanya berjarak satu napas. Ia menyentuh tengkuk Elvano dengan ujung kukunya, di titik yang sama dengan bekas cakaran. “Aku tidak pernah minta dicintai,” bisiknya. “Cinta itu untuk wanita malang yang mengemis validasi. Aku hanya ingin kau tunduk. Itu saja. Dan Seth setidaknya tahu bagaimana caranya patuh tanpa mencemaskan harga diri.” Elvano menutup mata sejenak. Menggenggam gelas itu lebih keras. “Apakah ini akan terus seperti ini?” tanyanya, suaranya nyaris lirih. Lavinia mencondongkan tubuhnya ke telinga Elvano, berbisik dengan kejam, “Ya. Dan akan lebih buruk lagi jika kau terus bermain di belakangku seperti bocah tolol.” Ia melangkah pergi tanpa menoleh. Angin lembut menyibak helaian gaunnya saat ia kembali duduk di kursi makan, meneguk anggurnya seolah tak terjadi apa-apa. Dan Elvano hanya berdiri di dapur, dengan mata menatap kosong ke gelas yang hampir pecah di tangannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD