Seth sebelum menjadi milik Lavinia bukanlah siapa-siapa.
Ia tumbuh di kota pelabuhan yang bising dan lembap, di tepi timur yang nyaris terlupakan dalam peta megah para elite. Ibunya bekerja di bar kelas dua, tempat aroma asap rokok dan parfum murah bercampur menjadi napas sehari-hari. Ayahnya tidak pernah disebut, namanya hanya muncul dalam bisikan kemarahan atau umpatan getir dari bibir ibunya yang pecah-pecah karena rokok.
Masa kecil Seth adalah tentang bertahan. Ia belajar membaca dari koran sisa yang dijual kiloan, mencuri roti basi dari belakang toko, dan meninju balik anak-anak yang mencoba menginjaknya. Ketampanannya tumbuh tanpa rencana, tulang rahangnya mengeras, matanya selalu menyipit seolah membaca niat orang, dan tubuhnya menjadi padat dari kerja kasar dan kelaparan berkepanjangan.
Saat usianya lima belas, ia kabur dari rumah, bukan karena ingin bebas, tapi karena tak tahan lagi melihat ibunya dipeluk sembarangan oleh pria-pria yang tak pernah menyebut namanya dengan benar. Ia menumpang truk ke ibu kota, membawa selembar jaket tua dan nama yang tak berarti apa-apa.
Tahun-tahun berikutnya mengajarkannya lebih banyak tentang dunia. Tentang bagaimana senyum bisa menjadi senjata, tubuh bisa menjadi alat tawar, dan diam bisa lebih mematikan daripada teriakan. Seth bekerja sebagai bartender, kemudian penjaga pintu klub malam, lalu menjadi 'pengawal pribadi' untuk tamu-tamu VIP—sebutan sopan untuk pria yang disewa agar diam dan tangguh di sisi orang-orang kaya.
Dari situlah ia masuk ke dunia Lavinia.
Malam itu hujan deras. Seth berdiri di lorong hotel bintang lima, jasnya basah sebagian, pipi kirinya memar akibat adu pukul dengan pelanggan yang mabuk berat dan mencoba menyerang wanita muda di lounge. Manajer klub meminta Seth mengantar salah satu sosialita penting kembali ke suite-nya. Wanita itu Lavinia Adine. Warisan langka dari keluarga pengusaha tua dan istri pertamanya yang kabarnya wafat dalam kegilaan.
Lavinia berdarah biru, berdarah es, dan berdarah ego.
Saat Seth pertama kali melihatnya, ia tak percaya manusia bisa tampak begitu tidak tersentuh. Bukan hanya karena gaun beludru hitam yang membalut tubuhnya, atau bibir merah seperti darah tua, tapi karena tatapannya. Seolah dunia ini tak pernah layak mencium bayangannya. Seolah ia diciptakan untuk disembah, tapi bukan untuk disentuh.
Lavinia tak meminta banyak. Hanya satu hal. Setia.
Ia tidak pernah mempekerjakan Seth secara formal. Tapi malam itu, setelah Seth membukakan pintu kamarnya, Lavinia menatapnya dari balik bahu, lalu berkata pelan, “Kau bisa belajar tunduk, atau belajar mati. Mana yang lebih mudah untukmu?”
Seth memilih tunduk.
Hari demi hari, ia tak pernah jauh dari Lavinia. Ia belajar cara menuangkan anggur tanpa suara, cara membaca isyarat dari alis yang terangkat setengah senti, cara menangkap gelagat sebelum emosi itu mengeras di wajah dinginnya. Ia menjadi penjaga, pelayan, bayangan, bahkan cermin.
Tapi hubungan mereka tidak pernah biasa.
Lavinia mulai mengujinya.
Suatu malam, ia meminta Seth untuk membuka kancing sepatunya, satu per satu, dengan tangan tanpa alas. Lalu ia tertawa lembut dan bertanya apakah Seth bersedia melakukannya hanya dengan mulut dan gigi. Seth melakukannya.
Malam lain, ia menyuruh Seth memegang gaunnya agar tak menyentuh lantai. Ia melangkah melewatinya perlahan, membiarkan ujung kain menyapu pipi pria itu. Ia suka memanggil Seth ketika sedang memilih pakaian, pura-pura lupa bahwa dirinya hanya mengenakan kaus yang tak tebal, lalu menyuruhnya memakaikan perhiasan di lehernya, sangat dekat, sangat terlarang, tapi tidak pernah melewati batas.
Seth menjadi adiksi Lavinia. Dan Lavinia menjadi candu dalam darahnya.
Ia tak pernah menyentuhnya lebih dari yang diperintahkan. Tapi tubuhnya mengingat setiap detik, setiap aroma parfum musky yang tertinggal di udara, setiap embusan napas Lavinia saat ia duduk terlalu dekat. Seth ingin melindunginya, tapi juga ingin dimusnahkan olehnya. Lavinia bukan wanita biasa, ia adalah pusat gravitasi.
Namun ada lebih dari sekadar rasa di antara mereka. Lavinia mulai membuka sedikit celah.
Seth melihatnya menangis sekali. Tanpa suara. Di kamar gelap, menghadap cermin. Ia tak berkata apa-apa. Tapi Seth tahu air mata itu bukan kelemahan, melainkan kemarahan yang menetes dari luka lama. Lavinia punya masa lalu. Dan masa lalunya telah menjadikannya monster yang cantik.
Sejak itu, Seth bersumpah akan menjadi pria yang paling tidak mengecewakannya. Bukan kekasih, bukan suami, tapi altar tempat Lavinia bisa menyembunyikan luka dan tetap memegang kendali.
Ketika semua orang di dunia ini mencoba menaklukkannya, Seth adalah satu-satunya yang menyerahkan dirinya untuk ditaklukkan.
Dan Lavinia tahu itu.
Setiap malam, ketika ia duduk diam di sudut ruangan, sementara Lavinia memutar anggur dalam gelasnya dan berbicara tentang wanita-wanita yang memohon cinta dari suami mereka, Seth hanya menatapnya, dalam diam, menyimpan kalimat, “Aku tidak akan memohon. Tapi jika kau memintaku merangkak, aku akan merangkak”.
***
Langit tak berbintang. Hujan tipis mengaburkan pemandangan kota dari balik jendela besar yang terbuka separuh, membiarkan angin dingin menyusup masuk dan menggigit kulit dengan lembut. Tirai sutra tipis melambai seperti hantu, menyapu lantai marmer dalam gerak pelan yang nyaris tak terdengar.
Lavinia berdiri di ambang balkon, mengenakan jubah satin berwarna gading yang menggantung longgar di bahunya. Cahaya dari dalam ruangan menyentuh tulang selangkanya, memantulkan kulit pucatnya seperti porselen mahal yang tak boleh disentuh. Gelas wine di tangannya bergoyang perlahan, tak pernah diminum.
Seth berdiri satu langkah di belakang, mengenakan setelan hitam. Rapi, tegak, tak berkedip.
“Menurutmu,” suara Lavinia lirih namun jelas, menusuk ke dalam ruang tanpa ampun, “apa yang membuat seseorang tak tersentuh?”
Seth tak langsung menjawab. Ia tahu Lavinia tak meminta pendapat, tapi ia menuntut ketaatan dalam bentuk perenungan.
“Ketakutan,” jawabnya akhirnya. “Atau penghormatan. Mungkin keduanya.”
Lavinia tersenyum tipis, matanya tak berpaling dari kota yang basah di bawah.
“Kau takut padaku, Seth?”
“Tidak, Nona,” jawabnya mantap.
“Kau menghormatiku?”
“Selalu.”
Lavinia menoleh. Angin malam menggerakkan anak rambutnya, menambahkan kesan nyaris supernatural pada sosoknya. Ia melangkah perlahan, mendekati Seth. Matanya memeriksa wajah laki-laki itu seolah hendak mencari retakan, celah, atau titik lemah.
“Lalu kenapa kau tetap di sini? Di belakangku. Diam. Tak pernah menuntut apa pun, bahkan ketika aku memberimu kesempatan.”
“Karena saya tak dibentuk untuk menuntut, Nona. Saya diciptakan untuk melayani Anda.”
Senyum Lavinia merekah sedikit. Tidak bahagia, tidak puas. Lebih seperti seorang dewi yang mendapati patung buatannya mulai berbicara, namun belum cukup menghibur.
Ia menyentuh dasi Seth, menariknya pelan hingga lelaki itu membungkuk sedikit.
“Kadang-kadang,” bisiknya, “aku merasa seperti Tuhan.”
“Anda memang Tuhan, bagi banyak orang. Termasuk saya.”
Lavinia menelusuri garis rahang Seth dengan punggung jarinya. Dingin. Terukur.
“Dan bagaimana jika Tuhan bosan dengan umatnya?”
Seth menjawab tanpa ragu, “Maka umatnya harus membuat Tuhan terhibur lagi.”
Lavinia mengangkat dagunya.
“Kau akan menghiburku malam ini?”
Seth menelan ludah. Tapi matanya tetap tenang.
“Dengan cara apa pun yang Anda inginkan.”
Lavinia membalik tubuhnya, melangkah menuju sofa kulit di tengah ruangan. Ia duduk, menyilangkan kaki panjangnya dengan anggun, lalu memutar gelas wine dalam gerakan malas.
“Lepaskan jasmu, Seth.”
Tanpa pertanyaan, Seth melakukannya. Ia menggulung lengan kemejanya, lalu berdiri tegak, menunggu.
Lavinia tidak menoleh.
“Berbaringlah di bawah kakiku.”
Seth patuh. Ia membaringkan dirinya perlahan di lantai berkarpet tebal, kepala menghadap ke atas, napas tertahan.
Lavinia meletakkan telapak kakinya—halus dan terawat—di d**a Seth. Ringan. Menguji.
“Kau tahu mengapa aku tak pernah membiarkan siapa pun menyentuhku?”
Seth diam.
Lavinia menatap langit-langit.
“Karena mereka semua ingin sesuatu dariku. Sementara aku hanya ingin dikagumi. Diikuti. Dipuja.”
Kakinya naik ke leher Seth. Menekan sedikit. Lalu menarik kembali.
“Tidak disentuh. Tapi dipuja dari jauh.”
Seth berkata pelan, “Saya bisa memuja Anda dari mana pun Anda inginkan. Dekat atau jauh.”
Lavinia menatapnya untuk pertama kali sejak tadi.
“Kau bisa saja jatuh cinta padaku, Seth. Tapi kau tahu bahwa cinta tidak relevan.”
“Cinta adalah kelemahan,” sahut Seth.
“Dan kau tidak ingin aku melihatmu lemah.”
“Tidak, Nona.”
Lavinia menyandarkan kepala ke sofa, menutup mata.
“Tetaplah di sana malam ini. Aku ingin tidur dengan detakmu sebagai pengingat.”
“Baik, Nona.”
Dan malam pun meluruh perlahan. Hening, ambigu, penuh obsesi yang tak pernah tuntas disebut cinta.