Suara langkah sepatu kulit Elvano menggema di lorong rumah besar itu. Jam dinding antik di foyer berdentang tiga kali, menyambutnya dengan suara nyaring yang terdengar menyakitkan di rumah yang terlalu senyap.
Kancing kemejanya terbuka dua, dasi longgar menggantung di leher, dan aroma parfum wanita masih samar menempel di kerahnya, jejak yang belum sempat dilenyapkan sepenuhnya.
Lampu ruang baca menyala. Dan di sana, Lavinia duduk di sofa krem pucat yang selaras dengan kulitnya, sempurna, seperti biasanya. Gaun tidurnya berbahan satin biru langit, jatuh anggun di bahu. Rambutnya disanggul rapi meski waktu menunjukkan dini hari. Secangkir teh melati mengepul pelan di tangannya, tak tersentuh.
“Aku tak bisa tidur ketika kau belum pulang,” ucapnya datar, tapi nadanya seperti peluru menembus kulit. Pelan, pasti, dan menembus.
Elvano melepas jas dan meletakkannya di sandaran kursi tanpa menatap istrinya.
“Kenapa?” suaranya dingin. “Kita tidak lagi satu ranjang. Ada atau tidak ada aku, kau tetap tidur di seprai sutra.”
Lavinia tersenyum. Tipis tapi tajam. Seperti pisau kecil yang diselipkan ke antara tulang rusuk.
“Tidak dengan kau yang pulang dini hari, bahkan hampir pagi,” katanya sambil menyesap teh. “Dengan keadaan seperti kau baru saja melepaskan penat dengan cara yang menyenangkan.”
Elvano menoleh. Akhirnya. Mata mereka bertemu. Mata gelap yang berisi dua dunia berbeda. Satu penuh kabut amarah yang dibungkam, satu lagi penuh ironi dan kejenuhan.
Dia tak menjawab. Hanya berjalan melewatinya, mengambil botol whiskey dari bar kecil di pojok ruangan. Menuang tanpa bicara. Menenggak dengan cepat.
“Kau ingat, Elvano?” suara Lavinia masih terdengar pelan, tapi menggigit.
“Hari kita berdiri di altar. Semua orang bilang kita pasangan ideal. Saling melengkapi. Tapi sejak malam pertama, kau bahkan tak pernah diizinkan untuk menyentuhku.”
Elvano meneguk whiskey-nya lagi. Kali ini lebih panjang.
“Karena aku tahu apa yang mereka inginkan dari pernikahan itu. Dan aku tak mau jadi bagian dari permainan mereka.”
“Kau menikahiku.”
“Aku mengamankan posisiku. Begitu juga kau.”
Lavinia berdiri. Langkahnya ringan, tapi mantap saat ia mendekat, berdiri di seberang meja marmer rendah di antara mereka. Tatapannya naik sedikit ke wajah suaminya.
“Lalu perempuan itu?” tanyanya pelan.
Tangan Elvano yang memegang gelas terhenti sepersekian detik. Nyaris tak kentara. Tapi Lavinia melihatnya. Ia selalu memperhatikan hal-hal kecil.
“Jangan mulai,” ucap Elvano.
“Kenapa tidak? Karena kali ini, aku mencium parfum perempuan di kemejamu. Kali ini, kau benar-benar membawa aroma perempuan lain pulang. Tak seperti biasanya yang begitu bersih, begitu rapi, begitu steril.”
“Karena aku tak perlu sembunyi lagi, Lavinia. Bukan darimu. Kau tak pernah menuntut. Kau tak pernah bertanya.”
Lavinia mengangguk pelan. Senyum kecil di ujung bibirnya retak.
“Aku bertanya sekarang.”
Hening menggantung lama di antara mereka. Jam berdetak. Angin malam menerpa tirai panjang jendela yang tak sepenuhnya tertutup. Di luar, langit mulai memucat. Fajar sebentar lagi datang.
Tapi dalam rumah besar keluarga Mahendra, dua manusia yang diikat oleh cincin emas itu berdiri diam seperti dua patung porselen mahal. Cantik dan dingin. Namun retak dari dalam.
Elvano memalingkan wajah, menaruh gelasnya di meja.
“Aku akan ke Surabaya besok. Dua hari. Persiapan investor baru.”
“Dengan siapa? Elvano?”
Dia menoleh. Tatapan Lavinia tak lagi datar.
“Kali ini, setidaknya jangan bawa pulang aroma lain dengan bau keringat yang belum mengering,” katanya lirih. “Aku mungkin istri yang tak bisa kau sentuh. Tapi aku bukan istri yang buta.”
Lalu dia berjalan pergi. Pelan. Tanpa melihat ke belakang.
Dan Elvano hanya berdiri di sana. Membeku dalam bayangan dosa yang semakin sulit disembunyikan.
***
Elvano berdiri memunggungi ruang tamu. Di depan jendela besar yang mengarah ke halaman belakang, tubuhnya tegak tapi berat. Whiskey di tangannya sudah tinggal seteguk. Kemejanya terbuka hingga d**a, dan dasinya tergantung lemas di leher. Napasnya dalam, tidak karena lelah, tapi karena sisa tubuh perempuan yang masih melekat samar di ingatan.
Lavinia berdiri hanya tiga langkah darinya sekarang.
“Dulu kau pernah menginginkanku, ingat?”
Elvano menahan napas.
“Malam setelah kita menikah,” lanjut Lavinia, suaranya pelan tapi menusuk. “Kau masuk ke kamar dengan tangan gemetar. Kau mendekat, menyentuh bahuku. Aku ingat, karena itu pertama kalinya kau memanggilku dengan sebutan sayang.”
Ia tertawa pelan.
“Tapi aku menepis tanganmu. Aku bilang, tubuhku bukan untuk disentuh, tapi untuk disembah.”
Elvano menunduk. Ingatan itu masih tajam. Lebih tajam dari luka manapun.
“Aku takut saat itu,” kata Lavinia lagi. “Takut kau hanya ingin menenggelamkanku seperti pria-pria lain memperlakukan istri. Tapi kau mundur. Kau bahkan minta maaf.”
Dia tersenyum getir.
“Lucu, ya? Kau begitu menghormatiku, begitu menahan diri hanya untuk bersama dengan sekretarismu. Di meja rapat, mungkin. Di kursi mobil, atau di kamar hotel murah. Dan kau melakukannya tanpa rasa bersalah.”
“Cukup,” suara Elvano serak.
“Tidak akan,” Lavinia melangkah lebih dekat.
“Aku ingin tahu. Apa yang berubah? Apa tubuhku terlalu dingin sekarang? Atau terlalu suci untuk disentuh pria yang kini menyukai perempuan biasa seperti orang-orang bordil, mungkin?”
Elvano mendekat. Hanya sejengkal jarak mereka.
“Karena dia tidak menolakku,” bisiknya. “Karena dia tidak menuntut untuk disembah, dipuja, diangkat tinggi-tinggi seolah tubuhnya suci. Karena dia memelukku dengan terbuka, bukan gengsi.”
Lavinia menghela napas berat. Matanya berkaca-kaca, tapi tidak jatuh.
“Dan kau pikir aku tidak punya luka?”
Ia mendongak, menatap langsung ke mata suaminya.
“Aku menjaga tubuhku darimu karena aku ingin rasa hormat, bukan kasihan. Karena aku percaya kau mencintaiku lebih dari sekadar ingin tidur denganku.”
Elvano terdiam. Jemarinya mengepal.
“Tapi sekarang aku tahu. Bahkan perempuan yang kau anggap rendah bisa membangkitkanmu. Tapi aku, istrimu—tidak pernah.”
Tangan Lavinia terangkat. Menyentuh d**a Elvano, lalu melorot turun ke pinggangnya.
“Kau tahu, aku pernah membayangkan seperti apa rasanya disentuh dirimu,” bisiknya. “Tapi bayangan itu perlahan mati setiap kali kau pulang membawa aroma asing.”
Ia mundur selangkah.
“Kau bebas bersama dengan siapa saja, Elvano. Tapi jangan jatuh cinta. Karena jika itu terjadi, aku tidak hanya akan pergi. Aku akan menyeret seluruh nama Mahendra turun ke tanah.”
Elvano menatap Lavinia lama. Udara di antara mereka terlalu pekat oleh kebencian, dendam, dan cinta yang pernah tumbuh, lalu layu tanpa pernah disentuh.
Dan fajar menyelinap pelan di balik tirai jendela, menyinari dua tubuh yang berdiri terlalu dekat tapi selalu terlalu jauh.