Lavinia Adine Mahendra tidak pernah disentuh, tapi ia selalu memerintah.
Ia bangun setiap pagi seperti matahari yang memutuskan siapa yang layak hidup dalam sinarnya. Tidak pernah ada kekacauan di rambutnya. Tidak ada sisa mimpi di sudut matanya. Ia dilahirkan untuk rapi, untuk menang, dan untuk menjadi legenda yang tidak pernah melepuh oleh lirikan manusia lain.
Dan Seth tahu itu lebih baik daripada siapa pun.
Pria muda itu sudah bersiap sejak pukul lima, berdiri diam di dalam kamar beraroma marmer dan vetiver, menanti Lavinia yang turun dengan kimono hitam tipis dan rambut yang baru saja disisir rapi oleh tangan dirinya sendiri. Seth tidak pernah memegang rambut Lavinia. Tidak diperbolehkan.
“Kopi. Bukan yang dari pantry,” kata Lavinia saat masuk ke ruang riasnya.
Seth bergerak seperti bayangan. Membawa espresso panas dalam cangkir porselen putih dengan tatakan emas 24 karat. Tidak ada percikan. Tidak ada suara. Pria itu tampak seperti hasil eksklusif dari laboratorium yang dirancang khusus hanya untuk Lavinia.
“Jadwal Anda hari ini, Nona,” katanya dengan suara rendah, menawarkan tablet elektronik yang sudah dikunci dengan sidik jari Lavinia saja.
Nona, bukan Nyonya. Karena Seth tahu wanita itu masih gadis yang tak tersentuh sekalipun sudah memiliki suami.
Wanita itu tidak menjawab. Ia duduk perlahan, mengangkat sebelah kakinya. Dan Seth, tanpa perlu diperintah, sudah berlutut.
Gaun yang disiapkan hari ini adalah koleksi terbatas dari Dior, potongan asimetris berwarna hitam arang, seperti bayangan yang ditarik dari langit sore sebelum badai. Lavinia selalu berpakaian seolah hari ini adalah pemakamannya sendiri dan dia ingin jadi mayat paling menawan yang pernah dilihat dunia.
Seth mencium punggung kaki Lavinia lagi. Lama. Lambat. Dengan napas yang terkendali. Bukan gairah, bukan cinta, tapi devosi.
Keningnya hampir menyentuh mata kaki Lavinia saat wanita itu membuka bibirnya.
“Kau memandangku dengan terlalu banyak harap, Seth.”
Pria itu mengangkat wajah. Matanya kelabu, teduh, tapi terisi badai yang tak bisa dijinakkan.
“Saya hanya patuh, Nona.”
Lavinia memiringkan kepala sedikit, menatap refleksi mereka di cermin emas besar yang tergantung di atas meja rias. Dia terlihat seperti ratu abad pertengahan, dan Seth seperti kesatria yang menyerahkan tubuhnya untuk dijadikan karpet.
“Kau tampan,” ucapnya akhirnya, datar. “Tapi ketampanan adalah ilusi murah jika tidak dipakai untuk tunduk.”
Seth mengangguk. Tak tersinggung. Tak menjawab.
Dan itu membuat Lavinia puas.
Ia mengenakan sepatu stiletto, lalu berdiri. Sosoknya menjulang dengan keanggunan buatan, seperti porselen yang dingin namun nyaris suci. Seth mengambil clutch hitam dengan aksen snake-skin dari meja. Ia mengikutinya dari belakang, diam dan cepat.
Mereka akan menghadiri brunch sosialita pagi ini, tempat para wanita dengan suami yang sangat kaya tapi perhatian minim saling memamerkan gaun, tas, dan operasi terbaru. Tapi tak satu pun dari mereka bisa menyaingi Lavinia.
Karena mereka berusaha keras untuk sempurna.
Sementara Lavinia sudah terlahir dengan itu.
Di dalam mobil Rolls Royce hitam yang meluncur tenang menuju venue hotel bintang lima, Lavinia duduk tanpa berbicara. Jari-jarinya memainkan cincin safir besar di tangan kirinya. Di luar jendela, dunia tampak kecil. Terlampau biasa.
“Nona” Seth akhirnya berbicara, pelan. “Ada undangan makan malam dari keluarga Tanuwijaya, Jumat ini. Kode dress-nya formal white.”
“Mereka menyangka aku akan datang demi menanyakan kapan suamiku akan berinvestasi pada anak mereka,” gumam Lavinia dingin. “Katakan aku sibuk.”
“Dengan apa, Nona?”
Lavinia menoleh. Tatapannya menusuk.
“Dengan diriku sendiri, Seth. Dan itu sudah lebih penting dari seluruh keluarga Tanuwijaya.”
Seth menunduk. Tapi dalam hatinya, ada pengakuan yang sunyi. Bahwa tidak ada yang bisa menyaingi wanita di sampingnya. Bahwa dirinya rela jadi bayangan. Jadi pelayan. Bahkan jika Lavinia tak pernah memandangnya dengan harga diri.
Karena Seth tahu satu hal pasti. Lavinia tidak butuh cinta. Ia butuh penyembahan.
***
Bau ruangan itu seperti campuran Chanel No.5, bubuk emas, dan kepalsuan.
Tawa-tawa yang melengking, kacamata hitam besar yang tetap dipakai meski di dalam ruangan, gelas mimosa yang diangkat lebih untuk gaya daripada rasa. Ini bukan brunch biasa. Ini arena perang. Dan Lavinia Adine Mahendra adalah jenderal yang tak tersentuh.
Dia melangkah masuk seperti hujan musim dingin. Cantik, membunuh, dan terlalu agung untuk didekati.
Gelas-gelas champagne sempat berhenti di udara. Bisik-bisik mulai beredar dalam radius dua meter ke segala arah. Ada yang mengangkat alis. Ada yang menggigit bibir. Semua mengenalnya, tapi tak satu pun benar-benar bisa menyentuhnya.
Seth berdiri satu langkah di belakangnya. Tuxedo hitam. Rambut disisir licin. Mata seperti samudra yang dalamnya tak bisa diselami. Beberapa wanita mencuri pandang ke arahnya. Tapi hanya Lavinia yang bisa mengendalikan pria itu, seperti pemilik naga pribadi yang hanya jinak di satu tangan.
“Lavinia,” suara mencicit datang dari arah kanan. Seorang wanita setengah baya dengan tas Birkin hijau terang dan riasan yang terlalu tebal menghampiri.
“Akhirnya datang juga. Kami pikir kau sibuk. Seperti biasa.”
Lavinia menoleh pelan. Senyum tipis di bibirnya seolah diukir, bukan diberikan. “Sibuk, tentu. Tapi aku tak bisa membiarkan pesta ini kehilangan pusat gravitasinya, bukan?”
Wanita itu tertawa, canggung. Dua sosialita lain berdiri di sampingnya, berusaha menyembunyikan rasa iri yang terlalu mencolok.
“Gaunmu sangat berani,” ujar salah satu dari mereka, berusaha bersikap netral.
Lavinia mengangkat alis.
“Kau menyebut potongan leher dalam ini berani? Sayang sekali. Aku menyebutnya jujur. Tidak semua orang bisa mengenakan transparansi tanpa terlihat murahan.”
Ledakan halus.
Dua sosialita lain menahan napas, pura-pura tertawa, padahal salah satu dari mereka mengenakan dress renda tembus pandang.
Seth diam di belakang, pandangannya menyapu, mencatat, menilai. Tapi tidak sekalipun matanya menatap wanita-wanita lain lebih dari satu detik.
“Siapa dia?” bisik seorang tamu muda yang baru datang, menatap Seth dari balik punggung Lavinia.
“Assistant-nya. Bodyguard-nya. Peliharaannya. Siapa tahu?” sahut temannya dengan nada geli.
Lavinia mendengarnya. Tentu saja dia mendengar. Tapi ia tidak menoleh.
Sebaliknya, ia berjalan menuju sofa utama, duduk dengan posisi kaki menyilang sempurna, gaunnya terjatuh lembut di lantai marmer putih. Seth langsung berdiri di sisi belakangnya, mengambilkan segelas air lemon dengan daun mint yang sudah ia siapkan.
Di seberang meja bundar, beberapa wanita mulai membuka topik hangat.
“Dengar-dengar, suamimu sibuk belakangan ini. Banyak yang lihat mobilnya parkir di hotel Fairmount.”
Topik dilempar dengan niat menusuk. Tapi Lavinia hanya menyentuh bibir gelasnya dengan ujung jari.
“Oh, tentu,” ujarnya ringan. “Ia harus rajin ke hotel. Tidak semua orang bisa mengurus bisnis dan charity sekaligus.”
“Charity?”
“Ya. Katanya sedang merekrut sekretaris baru dari kalangan ekonomi terbatas. Menyedihkan tapi menghibur.”
Tawa pelan pecah. Lavinia menatap lurus ke arah wanita yang tadi melempar gosip. Tatapannya seperti bilah silet, kecil tapi berdarah.
“Kau tahu, Lala,” katanya dengan nada halus. “Kalau kau ingin suamiku, setidaknya upayakan menyamakan standar kulitmu dulu. Dior tidak cukup menutupi bintik kehamilan, Sayang.”
Lala terdiam. Pipinya memerah. Seorang pelayan datang menyodorkan kue-kue kecil. Lavinia tidak mengambil apa pun. Dia tidak makan gula.
“Nona Lavinia,” bisik Seth dari belakang, nada suaranya sangat rendah hanya untuk telinga Lavinia.
“Fotografer dari majalah Luxe & Power sudah tiba.”
Lavinia berdiri perlahan. Meluruskan punggung. Memasang senyum setipis pecahan kaca.
Sebelum berjalan, ia menoleh sekali ke arah wanita-wanita di sekitarnya.
“Jangan terlalu terpaku pada gerak langkah suami orang lain,” ucapnya datar. “Kadang, seorang pria hanya mencari kebisingan ketika di rumahnya terlalu sunyi.”
Ia berbalik. Seth mengikutinya. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Lavinia berhenti.
“Dan untuk kalian yang membicarakan Seth—” katanya tanpa menoleh, “kalian tidak sanggup menyentuhnya. Karena aku bahkan tidak mengizinkan itu terjadi.”
Seketika hening. Semua kepala menunduk. Beberapa wanita tampak memerah karena malu, yang lain menggertakkan gigi karena iri.
Karena dalam pesta sosialita manapun, Lavinia tidak sekadar hadir. Ia memerintah. Ia menjatuhkan. Ia menang.
Dan Seth?
Ia adalah bayangan indah yang mengiringi kemenangan itu.