Hujan masih deras saat Seth membuka pintu mobil untuk Lavinia. Payung transparan itu kini dilipat dan disimpan di kursi belakang, basah dan tak lagi berguna.
Tubuh Seth kuyup. Setelan jasnya menempel di tubuh, rambutnya meneteskan air, tapi dia tak menunjukkan keluhan sedikit pun.
Sementara Lavinia duduk diam, wajahnya tetap kering, tapi matanya seperti menyimpan badai lain yang lebih sunyi.
Mereka menyusuri jalanan Jakarta yang diguyur hujan, lampu-lampu jalan memantul di genangan aspal. Tak ada suara selain wiper yang menyapu air dan napas pelan Lavinia yang nyaris tak terdengar.
"Kita ke rumah, Nona?" tanya Seth akhirnya.
"Tidak."
Seth melirik sebentar, lalu kembali fokus menyetir.
"Lalu ke mana?"
"Hewan kecil itu, kucingku. Aku titip di tempat biasa. Minggu lalu dia muntah darah," ucap Lavinia pelan. "Kau ingat?"
"Ya, saya ingat." Suara Seth tetap netral. "Klinik dokter Ayu?"
Lavinia hanya mengangguk. Lalu hening lagi.
Mobil berhenti di depan bangunan kecil bercahaya hangat. Rumah sakit hewan 24 jam, satu-satunya tempat yang dipercaya Lavinia sejak dulu. Ia turun tanpa bicara.
Seth buru-buru membuka payung lagi yang kini tak ada gunanya karena dirinya sendiri sudah basah total.
Begitu mereka masuk, kehangatan menyambut. Bau antiseptik dan suara pelan hewan dalam kandang mengisi ruangan. Lavinia langsung menuju meja resepsionis tanpa menunggu.
Seth duduk di kursi ruang tunggu. Jasnya mulai mengering sedikit. Dia menyilangkan tangan, menunduk. Sesekali melirik ke arah Lavinia yang kini berbicara pelan dengan seorang perawat.
Lavinia akhirnya duduk di sebelah Seth. Wajahnya terlihat letih. Basah dan lelah, tapi tetap cantik dengan cara yang dingin dan menjauh.
"Namanya Muezza," ucap Lavinia tiba-tiba.
"Aku yang memberinya nama. Kucing bodoh yang selalu kembali meskipun aku sering lupa memberi makan."
Seth menoleh pelan.
"Mungkin dia tidak peduli diberi makan atau tidak. Dia hanya ingin pulang."
Lavinia tertawa kecil. Getir.
"Pulang ya? Aku bahkan tidak tahu rumah itu yang mana sekarang."
Seth menatapnya, lama.
"Kalau boleh saya bertanya, kenapa Anda selalu kembali ke sini? Klinik ini, kucing ini. Anda bisa saja melupakannya, seperti Anda melupakan banyak hal lain."
"Karena dia satu-satunya makhluk yang tidak menginginkan apa pun dariku."
Seth tak menjawab. Tapi di matanya ada sesuatu yang berubah.
Seorang perawat datang.
"Kucingnya stabil, Bu. Tapi harus inap dua malam lagi. Mau lihat sebentar?"
Lavinia mengangguk, lalu bangkit. Tapi ia berhenti, menoleh ke arah Seth.
"Kau ikut."
Seth berdiri tanpa ragu.
***
Di ruang kecil berlampu kuning hangat, Muezza berbaring lemah di dalam inkubator transparan. Matanya membuka sedikit, mengenali Lavinia.
Lavinia mendekat, meletakkan tangan di kaca inkubator. Air matanya tak jatuh, tapi bibirnya bergetar.
"Maaf, aku terlalu sibuk marah pada orang-orang, sampai lupa kau masih ada."
Seth berdiri di belakangnya, tak bersuara.
"Seth," bisik Lavinia.
"Ya, Nona?"
"Aku lelah."
Seth ragu sejenak, lalu berkata pelan, "Kalau Anda lelah, saya bisa menyetir sampai Anda tertidur. Kalau Anda ingin diam, saya bisa jadi dinding. Tapi kalau Anda ingin bicara, saya bisa dengarkan, meski saya bukan siapa-siapa."
Lavinia mengangguk sekali. Matanya tak lepas dari kucingnya.
"Kau bukan siapa-siapa. Tapi anehnya, aku lebih tenang kalau kau ada."
Seth tidak menjawab. Tapi di balik pakaian basah dan tatapan dingin, ada senyum nyaris tak terlihat yang lahir di sudut bibirnya.
***
Seth menyentuh tombol start. Mesin Mercedes-Benz Maybach itu menyala nyaris tanpa suara, hanya deru halus yang mengalir lembut ke dalam kabin. Wiper menyapu sisa hujan di kaca depan, memperjelas pemandangan jalanan Jakarta yang basah, lampu-lampu kota membias di genangan aspal.
Di kursi belakang, Lavinia duduk bersandar, kakinya disilangkan rapi. Sepatu hak tinggi sudah ia lepas, diletakkan di samping. Di pangkuannya, blazer tipis yang basah setengah kering, dan tatapannya menembus jendela buram jauh, ke luar sana, ke dalam kenangan.
Seth menyetir dalam diam. Tangannya teguh di kemudi kulit, jas basahnya sudah ia lepas, menyisakan kemeja putih yang melekat tipis di tubuh. Ia tak menyalakan musik, hanya membiarkan suara halus AC dan gesekan ban di jalan basah mengisi kabin mewah itu.
“Jangan masuk tol,” ucap Lavinia, pelan, tanpa menoleh.
Seth mengangguk.
“Baik, Nona.”
Mobil membelok ke jalan alternatif, menyusuri jalur pepohonan rindang dan gerbang-gerbang kompleks elite yang tertutup rapat.
“Ke rumah?” tanya Seth kemudian.
Lavinia menjawab setelah jeda panjang.
“Rumah, ya. Kalau masih bisa disebut begitu.”
***
Rumah besar itu terletak di kawasan Kebayoran Baru, berdiri angkuh di balik pagar besi tempa dan tembok tinggi berlumut tipis. Arsitektur Belanda kuno bertemu renovasi modern yang megah, tapi dingin. Ada tujuh mobil mewah parkir di halaman. Lampu eksterior menyorot taman yang rapi seperti barisan pasukan kerajaan.
Saat Maybach perlahan memasuki halaman, seorang penjaga berlari membukakan gerbang. Ia menunduk dalam saat melihat Lavinia di balik kaca. Tak ada satu pun yang berani mengabaikan kehadirannya.
“Antar sampai dalam,” ujar Lavinia tanpa ekspresi.
Seth hanya mengangguk dan keluar, membukakan pintu dengan gerakan sopan. Lavinia turun tanpa bicara, mengenakan sepatu lagi di sela langkah. Gaun putihnya menyapu ubin basah. Mereka berjalan berdampingan menaiki tangga marmer menuju pintu utama.
Begitu pintu dibuka oleh pelayan, aroma khas rumah besar langsung menyambut, parfum mahal, lantai kayu tua, dan sedikit bau dupa dari ruangan belakang.
Di ruang tamu, sepasang perempuan muda duduk, masing-masing dalam balutan daster satin dan sorot mata gelisah. Istri muda.
Mereka segera berdiri begitu melihat Lavinia. Salah satu dari mereka hampir menjatuhkan cangkir teh.
“Selamat malam, Mbak Lavinia.”
Lavinia hanya melirik sekilas, lalu melepas mantel basahnya dan menyerahkannya ke pelayan. Seth berdiri satu langkah di belakangnya, tanpa suara, seperti bayangan.
Lavinia berjalan melintasi ruang tamu tanpa mengucap salam. Ruangan itu sunyi, hanya suara jam antik yang berdetak berat. Di atas tangga, seorang pria setengah baya berdiri, posturnya tinggi, tegas, berkumis tebal. Ayah Lavinia.
“Sudah pulang?” tanyanya, nada datarnya menyembunyikan segala hal lain.
“Sudah,” jawab Lavinia tanpa menengadah.
“Jangan suruh siapa pun naik ke lantai tiga malam ini. Aku ingin tenang.”
Pria itu tidak membantah. Ia hanya menatap anak perempuannya yang telah lama tidak bisa diperintah, bahkan oleh darahnya sendiri.
Empat istri mudanya tinggal di rumah itu, tapi semua tahu satu hal. Lavinia adalah poros kekuasaan. Anak tunggal dari istri pertama, mendiang Ratna—satu-satunya istri yang pernah dicintai laki-laki itu, dan satu-satunya yang benar-benar menanamkan rasa takut pada semua penghuni rumah.
Setelah Ratna meninggal, Lavinia naik takhta diam-diam. Tak dengan warisan, tapi dengan d******i. Semua yang tinggal di rumah itu tahu satu aturan, jangan hamil dan jangan melawan Lavinia.
Sebab begitu salah satu dari mereka mencoba merebut kendali lewat anak, perempuan itu akan dikirim pergi diam-diam, beserta bayinya.
Lavinia menyapu ruang itu dengan tatapan tenangnya.
“Seth, ikut aku ke atas.”
Seth mengikuti tanpa protes, menyadari mata-mata waspada para istri muda dan ayah Lavinia yang tetap berdiri di ujung tangga, memperhatikan tanpa campur tangan.
Lantai tiga selalu sunyi. Pintu kamar Lavinia terbuka pelan, memperlihatkan ruang luas bergaya kontemporer, dinding abu pucat, lukisan abstrak, dan jendela besar yang masih basah oleh sisa hujan.
Ia duduk di ujung ranjang. Seth berdiri di dekat dinding.
“Dulu ibuku tidur di kamar ini,” ujar Lavinia.
“Setelah dia meninggal, aku tidak izinkan siapa pun masuk. Termasuk ayahku. Termasuk istrinya. Termasuk istri-istrinya yang sekarang.”
Seth hanya diam.
“Di rumah ini semua ingin bertahan. Tapi mereka tahu, satu-satunya cara tetap hidup di bawah atap ini adalah tidak membuatku tersingkir.” Ia menatap Seth.
“Mereka akan melakukan apa pun. Bahkan menggugurkan bayi mereka sendiri. Demi tetap punya kamar di sayap timur.”
Seth menjawab pelan, “Dan Anda tetap tinggal di sini.”
“Karena rumah ini milik ibuku. Bukan ayahku. Bukan perempuan-perempuan itu.” Tatapannya tajam.
“Aku tinggal karena aku harus. Tapi setiap malam seperti ini, aku lupa siapa aku. Dan siapa yang tersisa untukku.”
Hening.
Lalu Lavinia menoleh.
“Kau mau minum?”
Seth mengangguk pelan.
“Kalau Anda izinkan, Nona.”
Lavinia bangkit, berjalan ke bar kecil di sudut ruangan. Ia menuang satu gelas anggur untuk dirinya, dan satu lagi untuk Seth. Tapi tak langsung ia berikan.
“Kau tahu, Seth. Mereka semua takut padaku. Tapi kau satu-satunya yang tetap diam saat aku memaki. Yang tetap berdiri saat aku mengusir. Dan tetap datang saat aku diam saja di tengah hujan.”
Ia menyerahkan gelas itu pada Seth. Jemari mereka bersentuhan sebentar.
Seth menatap matanya.
“Karena Anda selalu sendiri. Tapi Anda tak pernah benar-benar sendiri selama saya masih di sini.”
Untuk pertama kalinya malam itu, Lavinia tersenyum. Tipis. Luka. Tapi nyata.
Dan hujan benar-benar berhenti di luar sana.