Pintu kaca itu terbuka perlahan. Hening menggantung sejenak sebelum suara hak tinggi Lavinia kembali menggema. Langkahnya ringan, tapi setiap jejaknya seolah mengiris lantai.
Elvano masih berdiri di balik meja kerjanya, satu tangan di saku, satu lagi memegang gelas kaca setengah isi. Napasnya panjang dan dalam, tapi wajahnya tetap tenang, seolah tak terkejut.
Lavinia menutup pintu dengan lembut, tanpa menoleh. Suasana menjadi begitu hening hingga suara detik jam dinding terdengar mencolok. Ia berjalan pelan, penuh kendali, menuju meja Elvano.
"Setidaknya aku sudah tahu sekarang," ucapnya, suaranya nyaris serak karena menahan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar amarah. Matanya menatap Elvano lurus-lurus.
"Kau menurunkan selera hanya karena dia itu terbuka untukmu."
Gelas di tangan Elvano berhenti di tengah jalan. Ia meletakkannya perlahan ke atas meja, tanpa suara, sebelum akhirnya menatap Lavinia dengan tatapan dingin yang tak menunjukkan perasaan.
"Berhenti bersikap kurang ajar, Lavinia," ucapnya tenang, tapi tegas.
"Kau bahkan memakai namaku di belakang namamu."
Lavinia menyeringai. Senyum yang tak pernah hangat, hanya serpihan ironi. Ia bersandar ringan pada meja, menghadap Elvano dari sisi lain, satu tangan menyentuh permukaan kayu mahoni yang dingin.
"Dan kau harus berhenti merasa dunia bisa kau genggam seluruhnya, Elvano," balasnya.
"Bahkan nama belakangmu masih hidup, hanya karena aku masih mengizinkannya."
Suara itu menusuk seperti pecahan es. Elvano tidak langsung menjawab. Matanya turun sebentar ke tangan Lavinia yang menyentuh meja, lalu kembali naik ke wajahnya.
“Kau datang ke sini hanya untuk bicara seperti ini?”
“Tidak. Aku datang untuk mengingatkanmu.” Lavinia menegakkan tubuhnya. Aura tubuhnya seperti api yang membara dalam balutan es.
“Bahwa dalam semua hal yang kau miliki. Uang, kekuasaan, perusahaan ini, aku tetap satu-satunya yang bisa menghancurkan semuanya tanpa menyentuhmu.”
Elvano tertawa pelan, hambar.
“Kau selalu menyukai dramamu sendiri, Lavinia.”
“Aku tidak sedang bermain drama. Aku sedang menyusun babak akhir,” katanya, lalu melangkah memutari meja, mendekati Elvano yang tak bergeming.
“Kau pikir aku tidak tahu? Tentang sekretarismu. Tentang kebiasaanmu pulang larut malam. Tentang bekas luka kecil di lehermu.”
Ia berdiri sangat dekat sekarang. Mata mereka sejajar. Napas mereka bertumbuk di ruang sempit yang tegang.
“Aku tidak menyangkalnya,” kata Elvano. Dingin. Tegas.
“Aku tidak lagi merasa perlu menyembunyikan apa pun darimu. Karena di antara kita, Lavinia, yang memalsukan pernikahan ini bukan aku.”
Mata Lavinia menyipit.
“Tapi aku yang menyelamatkan namamu. Aku yang memastikan kau tetap menjadi Mahendra. Aku yang membuat keluargamu tak menyentuh tanah ketika semua sahammu jatuh.”
“Elvano Mahendra tidak pernah meminta penyelamatan dari siapa pun.”
“Tidak. Tapi kau diam ketika aku menyodorkan bantuan. Dan diam, Elvano, adalah bentuk persetujuan.” Ia mendekat lagi, kini hanya berjarak satu napas darinya.
“Kau tidak mencintaiku. Aku tahu itu sejak malam pertama. Tapi kau menikahiku juga. Jadi jangan berlagak suci.”
Elvano menatapnya lama. Dalam. Tanpa berkedip.
“Aku tidak pernah mencintaimu, karena kau tidak pernah membuka ruang untuk dicintai.” Suaranya rendah.
“Apa pun yang kuperbuat dengan Aurelia, tidak ada hubungannya denganmu. Kita sudah berpisah sejak lama. Hanya saja tanpa surat resmi.”
Lavinia menahan napas. Kata “Aurelia” diucapkan Elvano dengan kelembutan tipis yang tak pernah ia dapatkan. Sakitnya seperti silet melukai kulit hati yang sudah lama beku.
“Aku istrimu,” katanya pelan, hampir gemetar. “Di atas kertas, aku masih istrimu.”
“Dan itu hanya karena kau menolak menceraikan,” balas Elvano.
Lavinia tertawa lirih.
“Tentu saja. Karena perceraian berarti kalah. Dan aku tidak suka kalah, apalagi dari wanita yang tidak tahu cara berdiri saat dihina.”
Elvano memejamkan mata sebentar, menahan napas. Lalu ia melangkah menjauh, mengambil jarak. Lavinia memandang punggungnya, lalu berjalan ke sisi jendela besar dan menatap kota Jakarta yang terhampar di bawah.
“Lucu, ya?” katanya pelan. “Semua ini, perusahaan ini, namamu, egomu bisa dibeli. Tapi kau masih tidak bisa mencintaiku. Bahkan ketika aku memberimu segalanya.”
“Kau tidak pernah memberiku hati, Lavinia,” jawab Elvano, tenang.
“Kau memberiku strategi. Perhitungan. Rencana. Tapi tidak pernah kasih sayang.”
Ia menoleh, menatap Lavinia dari kejauhan.
“Dan sekarang kau marah karena seseorang memberiku itu, tanpa syarat.”
“Karena aku tahu akhirnya akan seperti ini,” bisik Lavinia, nyaris patah.
“Aku membencimu karena aku mencintaimu terlalu dalam dan aku membencinya karena kau mencintainya tanpa berpikir dua kali.”
Sunyi.
Untuk pertama kalinya, Lavinia tampak rapuh. Tapi hanya sekejap. Ia kembali tegak. Tegas.
“Aku tidak akan mundur, Elvano. Kau tahu itu.”
“Aku tidak memintamu mundur,” kata Elvano. “Aku hanya tidak akan menghentikan langkahku kali ini. Bahkan jika harus menabrakmu.”
Lavinia menatapnya dengan mata yang tajam dan basah.
“Kalau begitu, mari kita lihat siapa yang berdarah lebih dulu.”
Ia berjalan menuju pintu. Tepat di ambang, ia berhenti.
“Oh, dan sampaikan pada Aurelia, jika dia ingin berdiri di sisimu, pastikan dia tahu caranya berdiri sendiri dulu.”
Klik.
Pintu menutup pelan. Suara tumitnya menghilang, tapi dampaknya masih bergema lama setelah ia pergi.
Elvano berdiri diam. Helaan napasnya berat. Kepalanya menunduk sebentar, sebelum akhirnya ia mengangkat wajah dan memandang jendela. Di pantulan kaca, bayangan dirinya tampak sendiri, dan untuk pertama kalinya, ia sadar: badai yang datang kali ini bukan dari luar. Tapi dari perempuan yang pernah ia ajak bersanding di altar dan yang kini berdiri di sisi berlawanan dari peperangan.