Dua

1003 Words
            KRINGGG!!!!             Suara nyaring yang berasal dari jam weker di atas meja mengusik waktu tidur gadis yang tengah tertidur pulas di kamarnya yang luas. Dengan malas, tangan putih itu mematikan jam weker dengan mata yang masih tertutup. TEEEETTTTT!             Gadis itu tersentak mendengar suara nyaring untuk yang kedua kalinya, dengan mata yang sayu ia membuka laci di sebelah tempat tidurnya dan mematikan jam weker miliknya yang lain.             Menghela napas, gadis berambut panjang itu mulai mengerjapkan mata dan menoleh ke arah tirai kamar yang menunjukkan langit masih gelap.             Terdengar suara ketukan dari arah pintu. “Non Tita sudah bangun? Subuhan dulu, Non!” ucap Bi Ica dari luar kamar.             Tita beranjak dari tempat tidur, “Iya Bi, ini mau kok!” teriak Tita berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.             Seusai shalat subuh, Tita memutuskan untuk mandi. Untuk bersiap sekolah dirinya memang membutuhkan waktu yang cukup lama karena berdandan dan menata rambutnya secantik mungkin.             Tita adalah gadis tercantik di sekolah.             Itu menurutnya sih, enggak tau apa kata orang. Yang penting PD itu prinsipnya             “Baju udah rapi, wajah cetar membahana dan rambut okelah.. aku siap menuju sekolah!” ucap Tita berpose di depan cermin besar miliknya.             Menggunakan mobil bersama Pak Ajat, supir pribadinya, Tita berangkat menuju sekolah.             Sebagai anak tunggal pengusaha batu bara dan Seorang Ibu yang berprofesi sebagai dokter spesialis, sungguh hal wajar jika Tita dimanjakan oleh kemewahan. Sejak kecil ia selalu mendapatkan apapun yang ia inginkan termasuk ulang tahunnya yang ke 17 bulan kemarin sang Ayah mengundang band peterpan kesukaannya sebagai tamu istimewa di pestanya.             Jangan tanyakan berapa uang yang harus Ayah dan Ibunya keluarkan untuk menyiapkan pesta meriah, karena sesungguhnya besarnya nominal tentu saja membuat orang lain megap-megap.             Dengan langkah anggun Tita turun dari mobil dan berjalan menuju kelas. Ia membalas senyuman orang-orang yang menyapanya meskipun lebih banyak yang menyapanya para lelaki.             Karena aku cantik, tentu aja.             “Ta, PR fisika kemarin cepetan dikumpulin!” seru Yuyun, gadis berhijab sahabat Tita begitu Tita masuk ke dalam kelas.             Tita mengerutkan alis dan menyimpan tasnya di atas meja. “Bukannya pelajaran ketiga ya?”             Gadis berambut pendek yang duduk di sebelah, Jihan ikut menjawab, “Pak Burhan ijin enggak masuk, jadi pelajaran fisika dimajuin ke jam pertama.”             Mendengar penjelasan sahabatnya, Tita segera membuka tasnya dan mengambil buku Prnya. “Kasihin ke siapa nih?”             “Ke Bapak ketualah! Tinggal kamu aja yang belum dikumpulin,”             Tita menatap ketua kelasnya yang tengah duduk di meja paling depan. Angkasa, lelaki tampan yang selalu kalem. Menatap Angkasa membuat jantung Tita berdebar kencang.             “Ayo kasihin gih ke pak ketu, sekalian modusin buat ke kantin bareng entar istirahat!” goda             Wajah Tita merona, “Apaan sih?!” Tita merapikan rambut dan seragamnya lalu berjalan menuju meja Angkasa.             Tita berdeham begitu berdiri di depan Angkasa, membuat lelaki berkulit putih dan berwajah bak pangeran menatapnya.             “Ini tugas punya aku,” ucap Tita gugup.             Angkasa menunjuk tumpukan buku di mejanya.. “Simpan di situ aja,”             Tita menaruh bukunya dan cepat-cepat kembali menuju bangkunya.             “Memang ya kayaknya cuma pak ketu yang enggak terpesona sama kamu, Ta.” Ujar Jihan menatap iba sahabatnya yang sudah dua tahun memendam perasaan kepada ketua kelas mereka.             Tita menatap punggung tegap Angkasa. Jika ia tidak punya malu, rasanya ia ingin memeluk tubuh tegap itu.             “Pak ketu cuma tertarik sama rumus fisika aja,” ucap Yuyun sambil memakan cireng bumbu yang ia beli di depan sekolah.             “Padahal dia ganteng banget!” Jihan menambahkan dengan semangat.             Tita hanya mendengarkan obrolan kedua sahabatnya mengenai lelaki yang ditaksirnya, mata gadis itu mengikuti pergerakan Angkasa yang kini sedang berjalan keluar dengan tumpukan buku di tangannya.             “Eh, kamu kemarin dengerin ninetyniners ga sih semalam?” tanya Yuyun pada Jihan.             “Denger dong! Hijau daun masuk peringkat satu kan? Iiihh aku senang banget denger lagunya, yah walaupun tampang vokalisnya enggak seganteng ariel tapi lagunya tuh duh aku banget lho!” Tita mengabaikan perbincangan kedua sahabatnya, ia mengambil tasnya dan membukanya berniat mengambil walkmen ditasnya. “Mampus deh!” gumam Tita panik. “Kenapa, Ta?” tanya Yuyun menatap Tita yang membuka buku tulis dengan panik. “Aku salah kasih buku dong! Yang aku kasih tadi ke Angkasa buku les aku,” “Eh susul Angkasa, mumpung masih keburu.” Tta berlari keluar kelas. Ia melihat Angkasa yang tengah mengobrol dengan beberapa teman eskulnya di depan ruang guru. Tita menghela napas lega melihat buku masih di pegang Angkasa. “Angkasa!” Panggil Tita. Angkasa menoleh dan menatap Tita yang kini berlari dengan senyuman lebar. Lelaki itu terkejut melihat bola menyasar ke arah Tita. “Tita awas??!” teriaknya. Namun sayang, bola sudah mengenai kepala Tita dan membuat gadis itu pingsan. Mama Amnesia                       Sebuah tangan yang kaku kini bergerak perlahan, Angkasa versi dewasa melihat pergerakan istrinya yang kini mulai membuka mata. Dengan lembut Angkasa mengelus rambut Gadis yang mulai sadarkan diri.             “Alhamdulillah, kamu udah sadar Ma. Aku panggil dokter ya sayang,” bisik Angkasa lembut sambil mengecup kening Tita.             Mata Tita mengamati lelaki dihadapannya dengan intens. “Angkasa?” bisik gadis itu lirih. Angkasa tersenyum lebar dan menggenggam hati-hati tangan Tita. “Aku di sini,” ucapnya lalu menekan tombol yang berada di ujung ranjang. “Sus, istri saya Tita sudah siuman.”             “Ha...us,”             Dengan sigap Angkasa mengambil minum dan sedotan lalu membantu Tita untuk minum. Mata gadis itu masih mengamati Angkasa.             “Kamu koma empat hari Ma, Papa dan Balqis kangen.”             Tita menatap binung. “Angkasa?”             “Ya?”             “Buku PR fisika yang aku kasih tadi itu ketukar dengan buku les aku,” ucap Tita dengan lemas. Tubuhnya terasa lemah dan ia masih merasakan sakit di tenggorokan.             “Apa?”             “PR aku, yang aku kumpulin ke kamu.”             Angkasa menatap bingung Tita, mengamati wajah istrinya yang terlihat linglung.             “Kamu nungguin aku? Kamu balik ke kelas aja,”             Angkasa tertegun, dengan hati-hati ia mulai bertanya. “Tita, usia kamu berapa?”             Tita mengerutkan alis mendengar pertanyaan Angkasa. “17 tahun, baru bulan kemarin.”                     “Astagfirullah..” gumam pelan Angkasa.          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD