Mimpi yang berubah menjadi kenyataan tampak seperti bualan. Namun, Azura seperti benar-benar melihat Mars sesaat sebelum dia pingsan. Wajah lelaki itu sangat amat persis. Rasanya tidak mungkin kalau Azura hanya sekadar berhalusinasi.
"Mars." Sebelum sepenuhnya sadar, Azura sempat membisikkan nama itu beberapa kali.
Perlahan, kelopak matanya mulai terbuka. Ada nyeri yang tajam di bagian kepala saat Azura mencoba menggerakkan badan. Alhasil, Azura hanya sedikit menoleh ke sebelah kanan.
Pandangannya masih kabur. Namun, dia bisa merasakan kalau dirinya berada di tempat yang aman, rumah seseorang.
Tubuh yang lemas masih berbaring pada sofa abu-abu dengan selimut berwarna senada. Setelah beberapa kali berkedip pelan, bayangan buram di hadapan Azura mulai terbentuk dengan jelas. Seorang lelaki tengah berdiri di dekat jendela sambil memandangnya dengan tatapan serius.
"Ah, kamu udah bangun." Suara lelaki itu terdengar lembut. Dia berbalik, lalu kembali mendekat sambil membawakan segelas air.
Azura mencoba duduk, meskipun rasa sakit di kakinya masih terasa. "Di mana aku?" tanyanya. Suaranya serak dan lemah.
"Kamu di rumahku. Aku menemukanmu terluka di dekat lokasi proyek. Sepertinya kamu mengalami sesuatu yang buruk," jawab lelaki itu sambil menyerahkan segelas air kepada Azura.
Saat Azura menerima gelas itu, pandangannya tertuju pada wajah lelaki di depannya. Mata abu-abunya yang tajam, rambut cokelat dengan semburat merah, serta bentuk wajah yang tegas dan memancarkan ketenangan. Semua itu terasa begitu familiar baginya.
Azura mengerutkan kening, mencoba mengingat-ingat. "Aku rasa, aku mengenalmu," gumamnya, mencoba mencari jejak memori yang tersembunyi di dalam benak.
Lelaki itu tersenyum tipis. "Aku Gavin. Gavin Stewart. Aku arsitek landscape yang bekerja di proyek taman dekat sini."
Azura menatap dalam-dalam mata abu-abu itu. Sesuatu dalam dirinya seolah menggeliat begitu menyadari kalau sosok di hadapannya memanglah tidak asing. "Sebelumnya, terima kasih telah membantuku. Aku Azura."
Gavin mengangguk. "Senang berkenalan denganmu, meski dalam situasi yang tidak ideal."
"Kamu bukan orang Indonesia?"
"I'm Scottish."
Napas Azura seketika terhenti. Sejak awal, Azura memang sudah menduga kalau Gavin berasal dari benua biru. Namun, betapa mencengangkan saat Azura mendapati fakta bahwa negara asal Gavin pun sama persis seperti Mars.
"Edinburgh?" tanya Azura lirih.
Dengan wajah santai, Gavin mengangguk. "Iya."
Bukankah ini mustahil? Azura memang sering memanjatkan harap agar Mars mewujudkan diri menjadi nyata. Namun, ketika hal ini benar-benar terjadi, rasanya tetap tidak bisa dipercaya.
"So, apa yang sebenarnya terjadi padamu?" tanya Gavin.
"Ee... Aku... Ak- Ada hal buruk." Azura mengangguk gugup. "Ya. Ada hal buruk yang terjadi padaku."
Ucapan Azura terdengar gagap. Keterkejutannya terhadap Gavin masih belum berakhir. Benaknya tak kunjung selesai mencerna hal tidak masuk akal yang terjadi padanya.
Napas sudah Azura tarik panjang-panjang. Namun, dia tetap tidak bisa mengendalikan rasa ketidakpercayaan. Bibirnya terbuka seolah akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian tertutup lagi. Kedip matanya bergerak lebih cepat. Pun dengan gerak gerik tubuh yang mengisyaratkan rasa heran.
"Kamu bisa bercerita padaku, kalau kamu mau," ucap Gavin.
Azura terdiam sejenak. Ada terlalu banyak hal yang masih diproses oleh otak. Segala sesuatu tentang hari ini cukup membuat Azura gagal memahami setiap kejadian yang terjadi.
"Kita memang belum saling mengenal. Tapi aku bisa dipercaya," lanjut Gavin.
Ada rasa ragu dalam diri Azura untuk mengungkapkan kebenaran. Namun, tatapan tulus dan penuh perhatian dari Gavin membuatnya merasa aman untuk berbicara. Terlebih lagi, Azura pun sudah sedikit tenang, sebab dirinya seperti sedang berhadapan dengan Mars.
"Apa yang terjadi padamu?"
Azura sejenak menelan ludah, lalu mulai memberanikan diri membuka suara. "Orang tuaku baru saja meninggal. Dibunuh. Dan aku... aku adalah satu-satunya saksi."
Gavin mengerutkan kening. "Dibunuh? Siapa yang melakukannya?"
"Keluargaku sendiri." Azura hampir berbisik. "Mereka menginginkan aku mati karena aku tahu terlalu banyak tentang kasus ini."
Sorot mata Gavin menggelap, menunjukkan kemarahan dan empati atas cerita kematian orang tua Azura yang cukup kelam. "Aku nggak tahu apakah aku akan bisa membantumu. Tapi yang jelas, untuk sementara waktu, kamu akan aman di sini."
Azura merasa air matanya mulai menggenang. Pilu dan kesedihan masih belum sepenuhnya hilang. Namun, ada sedikit rasa hangat yang mengalir saat mendengar kata-kata dari Gavin.
"Terima kasih," ucap Azura lirih.
Gavin mengangguk sekali lagi, lalu duduk di kursi di dekatnya. "Kamu harus beristirahat. Aku akan memastikan nggak ada yang mencarimu."
Saat Gavin berjalan menuju dapur, Azura kembali memperhatikan setiap gerakannya. Cara Gavin berbicara, berjalan, bahkan tatapan matanya sungguh tidak asing. Memori-memori lama mulai menyeruak di pikirannya, seolah mencoba mengungkap persamaan antara Gavin dengan sosok Mars.
Azura merasa seperti sedang mengalami de javu. Mulai dari saat dia berada di pemakaman, saat dikejar oleh beberapa orang, hingga saat dia berhadapan dengan Gavin. Semua ini terasa seperti bukan yang pertama kali terjadi.
Ya. Kejadian ini memang pernah Azura alami. Bedanya, kemarin-kemarin hanya sekadar mimpi. Sedangkan sekarang, semua nyata terjadi.
"Ya Tuhan," lirih Azura pelan.
Azura memejamkan mata sejenak, mencoba menyatukan setiap potongan-potongan memori. Wajah Gavin, matanya, suaranya... semua itu bukanlah kebetulan. Ingatan-ingatan dari mimpi-mimpinya mulai terangkai menjadi satu kesatuan yang jelas.
"Bagaimana bisa?" Azura berbisik pada dirinya sendiri, lalu membuka matanya dan menatap Gavin yang ternyata sudah kembali dengan sepiring makanan.
"Apa kamu mengatakan sesuatu?" tanya Gavin sambil meletakkan piring pada meja kecil di samping sofa.
Azura menggeleng, meskipun hatinya masih dipenuhi dengan kebingungan. "Nggak, bukan apa-apa. Terima kasih untuk makanannya."
Mereka berdua terdiam sejenak. Kalau diamati, keduanya sama-sama sedang menyelami sesuatu di otak mereka sendiri. Tangan kanan mulai menyuapkan sepotong makan, tapi benak mereka masih penuh dengan pertanyaan.
"Gavin," panggil Azura akhirnya.
Gavin mendongak menatap mata Azura. "Hm?"
"Apa kamu pernah ... " Azura menjeda ucapannya selama beberapa detik. "Apa kamu pernah bermimpi tentang seseorang yang nggak kamu kenal?"
Gavin mengangkat alisnya, tampak terkejut dengan pertanyaan itu. "Mimpi tentang seseorang yang nggak aku kenal? Apa maksudmu?"
Azura menatapnya dalam-dalam, mencari tanda-tanda bahwa Gavin mungkin merasakan hal yang sama.
"Selama bertahun-tahun, sejak usia 19 tahun, aku sering bermimpi tentang seseorang. Nyaris setiap malam aku memimpikan orang yang sama. Dan kamu ... sangat mirip dengan orang itu,” terang Azura.
Gavin terdiam, tampak memikirkan sesuatu yang dalam. Bibirnya bergerak seperti akan mengatakan sesuatu. Namun, detik selanjutnya kepalanya menggeleng cepat.
"Mungkin itu hanya kebetulan," ucap Gavin pada akhirnya.
"Tapi... rasanya lebih dari sekadar kebetulan," balas Azura. "Lalu, beberapa minggu terakhir, aku bermimpi tentang kejadian bahaya yang menimpaku. Setting mimpi itu selalu sama. Selalu mengerikan. Dan orang yang menyelamatkan aku juga selalu sama."
"Itu aku?" tanya Gavin.
Azura mengangguk.
"Mungkin ... dia hanya mirip denganku," balas Gavin, meskipun ada keraguan di suaranya.
Azura mendesahkan napas. "Aku tahu kalau ini nggak masuk akal. Tapi apa yang baru saja terjadi padaku tadi adalah hal yang selama ini ada di mimpiku."
Gavin ikut menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan. Ada sedikit ekspresi bingung. Meski begitu, dia berusaha agar tetap terlihat tenang.
"Mungkin terdengar konyol, tapi aku merasa kalau kamu adalah orang yang selama ini ada di mimpiku," lanjut Azura.
Gavin terdiam sejenak, lalu menatap mata Azura dalam-dalam. "Sebenarnya, aku juga merasakan ada sesuatu yang berbeda. Saat melihatmu tadi, aku merasa seperti sudah pernah mengenalmu. Alhasil, alih-alih membawamu ke pihak berwajib, aku justru memilih membawamu ke sini."
Azura menatapnya dengan bola mata membulat. "Jadi, kamu juga merasakan hal yang ... 'aneh'?"
Gavin mengangguk perlahan. "Ya. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya, tapi mungkin ada alasan mengapa kita dipertemukan dalam situasi ini."
Mereka berdua terdiam, membiarkan kata-kata itu mengendap dalam pikiran masing-masing. Rasa familiar yang menggelayut di hati mereka semakin kuat, seolah-olah takdir sedang memainkan perannya.
Azura merasa sedikit lega mengetahui bahwa Gavin juga merasakan hal yang serupa. Namun, banyak pertanyaan masih belum terjawab. Siapa sebenarnya Gavin? Mengapa dia muncul di mimpinya selama bertahun-tahun? Dan yang terpenting, apa yang akan terjadi setelah ini?