Dua

1405 Words
Gery menghentikan mobilnya di sebuah rumah kecil bergaya klasik dengan satu lantai. Rumah yang memiliki halaman tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Ukurannya sedang namun cukup untuk ditumbuhi macam-macam bunga mawar, ditambah satu ayunan dan juga kolam ikan. Rumah itu cukup terawat meski telah ditinggal selama dua puluh tahun lebih oleh penghuninya. Ia tahu adik dan Papanya pasti menyuruh orang menjaga dan merawat rumah ini. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Kenangan sang adik dengan orang tercinta. Gery turun dari mobil, ia memutari mobil, membukakan pintu untuk Lucy. "Ayo, turun. Ini rumahku dulu," ajaknya. Sembari membantu Lucy turun dari mobil. "Kau pasti suka, di rumah ini banyak bunga mawar.” "Aku tidak suka mawar," lirih Lucy. Bagaimana pun gejolak hatinya. Lucy tidak bisa begitu saja mengabaikan pria sebaik Gery. Pria itu terlalu baik untuk ia acuhkan. "Sayang sekali. Ibu adikku sangat suka bunga mawar. Papa menghadiahi rumah ini dan kebun bunga mawar untuknya sebagai hadiah ulang tahun pernikahan mereka--“ saat Gery ingin melanjutkan ceritanya, seorang pria paruh baya menghampirinya. "Anda siapa?" tanyanya pada Gery. "Saya Gery. Dulu saya pernah tinggal di sini. Saya boleh masuk?" Izin Gery, pria gagah itu terlihat begitu sopan. Meski ini dulu rumahnya, tidak banyak orang mengenal dirinya di sini. "Tapi tidak ada yang boleh masuk ke rumah ini kecuali--" "Saya kakaknya,” potong Gery. Ia mengutak-atik ponselnya dan menunjukkan sebuah foto. "Dia Papa saya, bapak mengenalnya." Pria paruh baya itu mengangguk. "Dia majikan saya. Maafkan saya, Den. Saya akan membukakan pintu untuk, Aden." Gery mengukir senyum tipis. "Terimakasih, Pak. Saya hanya melihat-lihat saja. Bapak berapa lama bekerja untuk Papa?" "25 tahun, Den." "Mungkin Bapak lupa dengan saya atau bahkan tidak mengenali saya karena dulu sewaktu Mama saya menikah dengan Papa, saya lebih memilih mengurung diri dari dunia luar. Keluar pun hanya ketika pergi sekolah, pulang pun saya ke dalam kamar. Mama yang selalu membawa makanan ke kamar saya." Itu benar, 6 bulan setelah pernikahan Mama dan Papanya. Sebelum pindah ke London. "Astaga, saya lupa. Maafkan saya, Den. Saya dulu memang jarang melihat Aden berkeliaran di rumah ini. Apalagi saya hanya datang setiap pagi saja tapi saya ada waktu Mama Aden menikah dengan majikan saya,” ujar pria itu cepat seraya menepuk keningnya, merasa tak enak juga telah melupakan anak majikannya. "Tidak apa-apa, Pak.” "Kalau begitu saya permisi dulu, Den. Kalau Aden mau menginap, menginap saja. Sore hari biasanya saya datang lagi untuk menyalakan lampu." Gery mengangguk. "Permisi, Pak," pamitnya. Kemudian masuk ke dalam rumah dengan menggandeng Lucy. Kondisi rumah ini tetap sama. Semua tetap pada tempatnya, ia ingat betul. Ternyata memang sesuatu yang bersejarah tidak bisa dilupakan begitu saja. Tidak akan pernah tergantikan. Lucy mengamati segala interior di rumah ini. Tidak ada yang menarik bahkan terkesan biasa. Namun termasuk rumah yang nyaman untuk satu keluarga kecil. Ia lalu menghampiri Gery yang berdiri di dekat lemari setinggi d**a dan cukup panjang. Banyak pigora terpajang di sana. Lucy berdiri di samping Gery, mengamati foto-foto itu satu persatu. Dimulai dari foto yang berada dalam pigora cukup besar. Seorang wanita menggendong bayi bersama seorang pria. Di bawahnya berukuran sedang dari atasnya, seorang wanita yang berbeda dari foto pertama dengan pria yang sama dan kedua anak laki-laki yang memiliki tinggi berbeda. Kalau Lucy bisa menebak, anak laki-laki tanpa senyum itu Gery dan anak laki-laki yang tersenyum itu.. Deg. Jantung Lucy berdegub cukup kencang. Ia meletakkan tangannya tepat di atas jantungnya. Entah kenapa jantungnya berdegub tak biasa setelah melihat foto itu. "Ini adikku." Suara Gery memecah pikiran Lucy, ia menoleh kearah pria itu yang memegang sebuah pigora kecil, Gery menyodorkan pigora itu padanya. "Lihat, dia lucu ya tersenyum lebar dengan gigi yang belum tumbuh semua diusia lima tahun. Saat tahu aku menjadi kakaknya. Dia selalu menggangguku, selalu mengajakku bermain meski aku bersikap tak perduli. Ganteng ya?" Jantung Lucy semakin berdegub cepat. Ia tidak tahu apa salah foto ini, apa salah dirinya juga. Ia hanya melihat saja, tidak berpikiran atau berbuat aneh-aneh, tapi, ada apa dengan dirinya? Lama dirinya menatap foto tersebut membuat perutnya bergejolak, darahnya berdesir, tubuhnya bergetar. Ia pun tidak terlalu mendengar cerita yang keluar dari mulut Gery, ia hanya berkonsentrasi dengan dirinya sendiri. Hueekk.. "Lucy, kau kenapa?" panik Gery. Ia meraih pigora dari tangan Lucy dan meletakkannya sembarangan di atas lemari. Lalu menyusul Lucy yang berlari keluar rumah. Gery memijit tengkuk Lucy, membantu Lucy mengeluarkan muntahannya, yang berupa cairan bening di tong sampah dekat pagar rumah. "Mi-num." Mendengar suara pelan Lucy, Gery langsung menuju mobilnya dan mengambil air mineral dari sana. "Ini," sodornya pada Lucy. Lucy menerima air tersebut meminumnya dan ia gunakan untuk membasuh mulutnya. "Kau baik-baik saja?" tanya Gery. Ia khawatir, sungguh. "Le--mas." Satu kata keluar dari mulut Lucy mampu menambah kekhawatiran Gery. "Kalau begitu kita ke rumah sakit saja." Gery pun menuntun Lucy menuju mobilnya, membantu wanita itu masuk kedalam mobil sebelum dirinya. Tak menunggu lama ia pun mengendarai mobilnya menuju rumah sakit terdekat. Tidak bisa dibilang dekat kalau membutuhkan waktu hampir satu jam dengan kemacetan ibu kota. Ia hanya bisa menggenggam tangan Lucy, menguatkan Lucy yang menutup matanya seraya bersandar di kursi selama perjalanan. Begitu sampai rumah sakit, penantian mereka belum juga berakhir. Mereka harus mengantri untuk diperiksa. Baru menunggu sekitar lima belas menit, ponsel Gery berdering. "Tidak apa-apa kalau ku tinggal sebentar Lucy. Aku harus mengangkat telepon." "Tidak apa-apa. Pergilah." Sejujurnya Gery merasa berat harus meninggalkan Lucy. Tapi kalau ia mengangkat telpon di sini takutnya ‘kan, mengganggu pasien lainnya yang ingin memeriksakan diri. Bukannya orang sakit setidaknya butuh ketenangan begitu pikirnya. Mau tidak mau ia meninggalkan Lucy, berjalan sedikit kearah tikungan koridor rumah sakit. Sepeninggal Gery, Lucy menyandarkan lagi tubuhnya. Ia mengelus perutnya yang merasa tidak enak. Ia tidak mengerti apa yang terjadi dengannya, kalau perkiraannya benar. Mungkin, asam lambungnya sedang naik. "Wah, Nyonya Calderon ada di sini?" Lucy langsung membuka mata begitu mendengar suara orang yang dikenalinya, matanya menatap tajam orang itu. "Opps, maaf-maaf. Maksudku mantan Nyonya Calderon," sambung orang itu seraya terkekeh. "Apa maumu, Bianca?" desis Lucy. "Ah tidak. Aku hanya menyapa musuh bebuyutanku saja. Apa kabarmu mantan Nyonya Calderon? Bagaimana rasanya dikalahkan oleh pesona adik sendiri, hmm? Akhirnya, kau kalah juga. Aku salut pada adikmu. Bisa mewakiliku menghancurkan kakaknya yang sok. Sudah kubilang, kau bukan apa-apa. Pria sepertinya yang kau banggakan karena telah jadi suamimu, yang kau sombongkan di depanku. Nyatanya bukan milikmu lagi. Kasihan.” Lucy mengepalkan kedua tangannya. "Akhirnya, kekalahanku darimu, karena tidak bisa mendapatkan seorang Darrel Calderon terbalaskan. Wow, betapa senangnya aku!" Tanpa aba-aba Lucy mendorong Bianca. "Pergi kau! Pergi!" "Hahaha, sttt." Bianca meletakkan telunjuknya di depan bibir, ia menggeleng. "Kau tak perlu mengusirku. Aku bisa pergi sendiri. Tapi sebelum aku pergi, aku ingin memberimu saran." Bianca bersendekap. "Lebih baik kau segera hubungi psikolog, ah atau mau ku kenalkan psikolog terbaik di sini, kau lebih membutuhkannya daripada pergi ke dokter umum. Aku hanya takut kau ... Depresi dan bunuh diri. Siapa dong orang yang akan bersaing denganku lagi kalau kau mati?" "Tutup mulutmu. Pergi kau dari sini! Pergi!" seru Lucy. Ia mendorong- dorong Bianca hingga wanita itu menjauhinya, cukup mengesalkan karena Bianca menertawai dirinya. Ia tidak pernah ditertawai seperti ini lagi kemarin-kemarin. Kalau saja wanita itu tidak merayu suaminya, pasti ia tidak akan dipermalukan begini. Bagaimana pun kondisinya seorang Lucy Sesyandra harus selalu menang dari Bianca Wijaya. Tidak boleh ada yang namanya kalah seperti dulu. Tapi kini … Sial! Ia kalah lagi. "Lepaskan aku!" Lucy menghempaskan kedua tangannya yang dipegangi oleh beberapa orang di sana -para pengantar keluarganya yang sakit-, mereka memintanya untuk tenang dan mengingatkannya jika ini di rumah sakit, tidak seharusnya membuat keributan. Mereka juga telah membantunya mengusir Bianca. Setelah melihat Lucy tenang, orang-orang yang mengerumuni Lucy kembali ke tempat. Di ujung sana Gery berjalan tergesah-gesah menghampiri Lucy. "Ada apa Lucy?" Lucy menggelengkan kepalanya. "Aku mau ke London sekarang juga," pintanya pada Gery, "Tapi kau harus diperiksa dulu. Jadwal keberangkatan ki--" "Gery, Please!" mohon Lucy, ia memotong perkataan Gery. Ia mau keberangkatannya ke London dipercepat, ia tidak mau disini dan bertemu orang-orang seperti Bianca lagi. "Baiklah." Gery mengalah, ia terkalahkan oleh wajah memohon Lucy. Wanita itu terlihat ada masalah. Namun, tak ia tanyakan lebih lanjut dan memilih menurut. Keberangkatan keduanya ke London nanti malam, akhirnya harus dipercepat. Membiarkan dirinya lagi dan lagi tidak datang dalam pertemuan dengan klientnya di sini. Terpaksa ia meminta asistennya mewakili dirinya. Lagi. . . . TBC Akan diUpdate setiap hari ya. Di jam berapa, itu semampuku ? Jangan lupa tekan ini ya ♥️. Terimakasih ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD