Tiga

1155 Words
Tian berdiam diri di balkon tempat ia menginap. Ia telah menyelesaikan tugasnya. Mengantar teman bodohnya menuju tempat yang sesungguhnya. Mungkin, orang lain akan menyalahkannya karena telah mendukung hubungan terlarang tersebut. Tapi untuknya, tidak ada hubungan terlarang selain hubungan cinta menjijikkan antar sedarah. Bukan membenarkan perselingkuhan, dari awal pernikahan itu dibangun di atas kata memanfaatkan. Jadi begitulah akhirnya, bukan berusaha saling cinta tapi memilih cinta yang lain yang hadir tanpa diundang di dalam hati. Andai Darrel dulu bisa merontokkan egonya. Menyadari cintanya lebih awal. Mungkin pernikahan itu tidak akan terjadi. Lucy mungkin akan tetap membenci, namun tidak akan separah ini. Tiga bulan sudah Tian bersembunyi dan menyembunyikan. Tak ia hiraukan pesan singkat, telpon, e-mail dari orang tua Anne. Keduanya tengah mencari anak yang mereka hancurkan sendiri tanpa tahu sebab akibatnya. Setidaknya membuat mereka dihantui rasa bersalah itu lebih baik. Ya, hukuman kecil untuk mereka. Selama itu pula, Tian hanya bisa memantau Lucy dari jauh. Semua informasi tentang wanita itu ia dapat dari Atha. Ia bersyukur, Lucy-nya baik-baik saja. Tian memilih meninggalkan Indonesia. Tempatnya bekerja pada teman lamanya sewaktu kecil. Teman yang ia temui tanpa sengaja, saat dirinya telah kehilangan arah. Ikut membantu temannya mendirikan usaha dan mensupport nya. Sekarang ia disibukkan oleh berbagai macam hal tentang perusahaan. Perusahaan peninggalan ibunya di London, warisan sang kakek. Perusahaan yang ia tinggalkan karena suatu hal. Hal yang tak ingin ia ingat sekarang. Itu hanya masa lalu. Di depannya, sudah ada masa depannya menunggu. Kini Tian memiliki banyak waktu senggang. Setelah pulang dari tempatnya kini dan kembali ke London ia akan menemui wanitanya yang juga telah kembali ke London setelah menetap selama tiga bulan lebih di Indonesia untuk mengurus perceraiannya. Tok... Tok ... Tok. Bunyi ketukan berulang kali terdengar sangat brutal, membuat kernyitan muncul di dahi Tian. Waktu hampir menunjukkan tengah malam, siapa yang berani berkunjung di kamar hotelnya? Atha? Asisten sekaligus sekretaris pribadinya itu tak mungkin melakukan hal itu. Jadi siapa? Daripada menerka-nerka dan membuang cukup banyak waktu, Tian memilih berjalan dengan langkah lebar menuju pintu masuk kamar hotelnya. Ia cukup terkejut melihat sosok di depannya. Terlebih sosok itu, seenak jidatnya masuk kedalam kamar hotelnya tanpa di persilahkan dengan berjalan kaki. Di mana kursi rodanya? "Kau ... Kaki ... Bagaimana kau bisa berjalan Darrel Calderon?!" syok Tian. Ia menutup pintu kemudian berbalik menatap Darrel yang bersandar duduk di sofa di depan ranjang seraya menutup matanya. "Bagaimana bisa Darrel?" tanya Tian sekali lagi. "Kau membohongiku?" "Diamlah, Tian." Tian mengusap wajahnya kasar. "Apa gunanya kebohongan mu Darrel? Membuat dirimu tersiksa?" Tian mendengus menatap Darrel, bukannya menjawab pria itu malah menengadahkan kepalanya keatas dengan mata terpejam. Tian menghela nafasnya kemudian ikut bersandar pada sofa. "Dan sekarang kau ada di sini? Sebenarnya apa yang ada di otak pintar mu itu Darrel, sungguh aku tidak mengerti sama sekali jalan pikiranmu." "Aku menyerah." "K-kau a-pa?" sontak Tian menegakkan tubuhnya begitu mendengar gumaman Darrel. "Menyerah." Bugh.. Sebuah pukulan keras di pipi sebelah kanan mendarat mulus di wajah Darrel. "Setelah semua kebodohan yang kita lakukan, kau dengan segampang itu menyerah. Sial, Darrel! Kau membuatku ingin mengubur mu hidup-hidup" Darrel menatap Tian datar. Menerima respon seperti itu semakin membuat Tian berang, ia melepas kerah kemeja Darrel begitu saja sehingga membuat tubuh Darrel terhempas ke sandaran sofa. "Aku jadi curiga, kau tidak benar-benar mencintai Anne." Darrel membuka mata, giginya bergemeletuk sembari menatap tajam Tian. "Kau mengejarnya hanya untuk menuntaskan nafsumu. Sekarang ketika hubungan saudara itu hancur dan dunia membenci Anne, kau dengan mudah meninggalkannya. Sebatas mana cintamu itu?" Tian menggeleng, ia berniat meninggalkan Darrel sebelum suara itu mencegahnya. "Aku tidak akan bertahan sampai detik kalau aku tidak mencintainya, bodoh! Dia berulang kali memintaku pergi, tapi aku kembali. Aku tidak pernah menurutinya sekalipun. Dan sekarang, dia memintaku pergi lagi, akan kuturuti, kesabaranku sudah habis. Aku pergi! Aku menyerah!" bentak Darrel. Nadanya tinggi syarat akan keputusasaan. "Sebatas itu. Dengar Darrel, rasa sakitnya jauh lebih besar daripada rasa sakit mu. Harusnya, kau bisa lebih sabar lagi. Jalan pikiran wanita tidak pernah sejalan dengan hati dan mulutnya, Darrel. Kalau kau benar-benar mencintainya, kejar dia. Berjuang dengan cara yang benar. Jangan jadi pengecut hanya karena di tolak berkali-kali. Hanya karena kau merasa harga dirimu diinjak-injak." Darrel diam, ia memilih lantai menjadi titik fokusnya. Memikirkan semua perkataan Tian. "Aku akan tetap di sini," putus Darrel yang mampu mengukir senyum di wajah Tian, pria itu lega, temannya tidak jadi menyia-nyiakan yang memang tidak seharusnya di sia-siakan, ternyata satu pukulannya ampuh juga. "Aku hanya butuh sedikit bantuanmu." "Aku tidak pernah menolak membantumu. Apalagi untuk mengejar wanita yang ada di hati dan fikiran mu" balas Tian. Terdengar sedikit lebay di akhir kalimatnya. Darrel menggeleng. "Aku tidak akan mengejarnya." "Kk-kau apa?" Secara otomatis ucapan Darrel mengejutkan Tian lagi, baru saja senang. Eh, di jatuhkan lagi. "Aku tidak akan mengejarnya. Aku di sini akan menjaganya dari jauh dan pasti untuk menunggunya. Menunggu dia kembali dan sadar kalau dia merasakan hal yang sama." "Kau bukan orang yang sabar menunggu." "Kalau begitu jangan buat aku menunggu lama." Kerutan tercetak di dahi Tian. "Maksudnya?" "Anne akan terus mengelak hatinya sampai Lucy memaafkannya. Kau mencintai Lucy. Aku tahu kau akan mengejarnya ..." Darrel memandang serius mata Tian. "Hubunganku dan Anne tergantung, Maaf dari Lucy. Begitu pun denganmu. Kau tentu tahu maksudku, Tian." "Maaf dari Lucy, ya." Tian tertawa, tawa yang jelas sekali terlihat dipaksakan. "Pasti tidak semudah itu aku dapatkan." "Itu karena dirimu yang bodoh!" "Kau bilang apa?!" teriak Tian tak Terima. "See, orang bodoh pasti suka berteriak." "Kau ..." Tunjuk Tian pada Darrel, sedikit kesal dirinya ini. Darrel memang teman yang tidak tahu diuntung. "Aku tidak pernah memintamu menyentuhnya." Tian menurunkan telunjuk tangannya. Ia memutar kejadian saat Darrel datang ke apartemennya. "Kau akan menyentuh Lucy juga?" "Kau tidak perlu panik. Membuat Anne cemburu dan mengira aku telah berhubungan intim dengan Lucy itu sudah cukup. Kau hanya perlu membantuku mengontrol Lucy jika ia mabuk. Pastikan ia tidur setelah itu. Beri dia obat tidur. Jangan terpancing atau berpikir menyentuhnya, Tian. Kau bisa memperumit semuanya." "Kau selalu memanfaatkan Lucy." "Dia salah berada di tempat yang salah." Bugh... "Bukan dia yang salah! Kau yang egois! Kau yang memikirkan dirimu terlalu sempurna! Kau tidak bisa tegas Darrel Calderon! Lepaskan saja dia kalau kau tidak mau!" Darrel memegangi rahangnya. "Aku akan melepasnya saat aku meyakini perasaan Anne." "Berengsek!" *** Tian tahu, kini ia menyesali perbuatannya. Kebodohannya akibat tidak bisa mengendalikan nafsunya sendiri. Andai bisa, semuanya pasti tidak akan serumit ini. "Bagaimanapun caranya, aku akan meminta maaf pada Lucy sampai dia memaafkan ku."Keyakinan Tian begitu besar. Ia berharap Lucy bisa memaafkannya. Jika tidak, tidak ada alasan baginya untuk berhenti berjuang. Ia akan tetap memperjuangkan yang harus ia perjuangkan. "Dan aku melakukannya bukan atas permintaanmu, ini karena kemauanku sendiri," sambung Tian. "Ya, kuharap kau berhasil. keberhasilan mu, keberhasilan ku juga." "Sekali berengsek, kau tetap berengsek Darrel Calderon!" "Ya, aku tahu." "Cih, pria berengsek yang menyedihkan. Kau bangga?" "Kita sama. Kau bangga?" "Berisik!" . . . TBC Jangan lupa tekan ♥️ dan berkomentar yaa ? Terimakasih ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD