Empat

1055 Words
15 jam lebih, lama perjalanan yang harus Lucy tempuh untuk kembali ke London. Rumah orang tuanya yang ada di sana. Ia lebih memilih menjauh dari negara yang membuat hatinya terluka. Menjauh dari orang-orang yang tidak mengerti akan dirinya. Akan perasaannya. Ya, tidak akan ada yang perduli selain dirinya sendiri. Baik orang tuanya sekalipun. Lucy merasa, dunia terlalu kejam padanya. Pada hati dan jiwanya. "Perjalanan ini menempuh waktu sangat lama. Kau ingin tidur?" Lucy menganggukkan kepalanya, tapi pandangannya tetap ke arah luar jendela. Ya, pesawat pribadi milik Gery ini baru lepas landas. "Kau bisa menggunakan kamar pribadi di sini.” Lucy menutup matanya sejenak. "Aku ingin minum yang hangat. Kau punya teh, coklat atau jahe?" "Kau sakit?" Gery menunjukkan kekhawatirannya. Lucy menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan Gery. "Tidak, perutku terasa tidak enak." Gery mengangguk paham. "Aku akan meminta pada pramugari di sini. Pergilah ke kamar. Kau butuh istirahat. Nanti, aku akan mengantarnya padamu." Menyetujuinya, Lucy beranjak dari tempat duduknya guna menuju kamar pribadi yang sempat Gery tunjukkan padanya tadi. Lucy lalu merebahkan dirinya di sana, meringkuk dalam selimut di atas kasur yang empuk, yang siap membawanya ke alam mimpi yang indah bukan dunia nyata yang kejam ini. *** "Ngghh." Seorang wanita melenguh ketika pria di atasnya, membasahi leher jenjangnya secara sensual. Sesekali hisapan kuat dan gigitan kecil sanggup meluluh lantakkan dunianya, membawanya melayang. Tubuhnya menggelinjang begitu rasa dingin menyergap kulit atasnya. Lidah itu begitu mudah membuai dirinya, menyesap hampir seluruh permukaan kulitnya. "Aku sudah tidak sanggup lagi, Sayang," rintih si wanita memohon, meminta pria di atasnya untuk langsung pada intinya. Bukannya menuruti, Pria itu malah semakin mempermainkannya. Tidak pada tubuhnya melainkan pada bagian bawah tubuhnya. "Aku sudah tidak tahan, panas sekali." Hawa panas menguat dari tubuh kedua insan itu. Yang saling memberi tak hanya menerima. Keduanya cukup mengimbangi satu sama lain. Hingga dinginnya AC dan angin malam dari celah jendela balkon, pasti tak bisa dirasakan. "Kenapa lama sekali?" tanya si wanita, tak sabaran. Padahal mungkin si pria ingin bermain lembut. "Ayo!" rengeknya lagi seraya bergerak tak tentu arah. Merasa tak punya banyak waktu. Si pria tergesa melepas semua pakaiannya, kemudian membuka lebar kaki perempuan yang sudah tidak berdaya. Puncak tubuh bagian atas perempuan itu menjadi mainannya sesaat sebelum beralih kearah bibir yang setengah terbuka, merintih. Mencecap bibir itu dalam seraya membawa miliknya masuk ke dalam tempat yang menurutnya sangat cocok dengan miliknya, ia lakukan secara perlahan meski agak susah. "Hmmm." Ciuman itu terlepas. Sang pria menatap dalam wajah wanita di bawahnya, yang tengah menutup mata dan tak jarang mengernyit. Mungkin karena menahan sakit akibat benda asing memasuki dirinya. "Maafkan aku, Lucy." Mata si wanita terbuka, begitu mendengar pria di atasnya meminta maaf. "Kenapa minta maaf kau sua--" Dalam sekali hentakan pria itu memasukkan dirinya lebih dalam, menyobek selaput tipis di dalam sana sekaligus memotong ucapan sang wanita terganti dengan teriakan sakit. "Akkhhh!" *** Lucy terperanjat dari tidurnya hingga terduduk. Nafasnya terengah-engah. Baru sesaat ia tidur tapi... Menyentuh dadanya yang berdetak kencang, Lucy menarik selimut dengan tangannya yang nganggur. Ia perlahan melihat ke bawah. Pusat dari tubuhnya. Basah. Bersamaan dengan itu Gery masuk ke dalam kamar. Membawa cangkir di tangannya. Secepat kilat Lucy meraih selimut yang tadi ia singkap, ia gunakan untuk menutupi tubuh bawahnya. "Ada apa?" Lucy tidak menjawab sampai Gery berdiri di dekatnya. "Kau tampak gugup dan berkeringat." "A--aku ba—ik," jawab Lucy sembari menyugar rambutnya yang sedikit basah di depan, kemudian mengelap keringat di dahinya. "Kau tidak nyaman aku di sini." Lucy menggeleng cepat. "Tidak. Aku--" "Tak apa. Aku membawa pesanan mu. Segera kau minum. Tubuhmu akan membaik nanti." Lucy menerima cangkir yang di sodorkan Gery padanya. "Terima kasih," ucapnya pelan. "Aku di depan. Kalau kau membutuhkan sesuatu kau bisa menekan tombol di atas nakas. Pramugari akan mendatangimu atau kau bisa gunakan ponselmu, hubungi aku." Setelah mengucapkan hal tersebut, Gery berbalik pergi. Tidak berniat bertanya lebih lanjut mengenai kegugupan wanita itu. Gery tahu akan batasan. Sepeninggal Gery, Lucy mengumpat. "Sial! Kenapa aku memimpikannya?!" Lucy menangis sambil memukul kasur dengan satu tangannya. Ia marah ingatannya membawanya pada hal yang sama sekali tak ingin ia ingat. Dirinya di tipu! Wajah pria dalam mimpi itu buram, tapi dirinya tahu kenyataannya. *** "Lucy, wanita-wanita yang kubawa ke rumah. Mereka tidak benar-benar ku sentuh. Aku mengajak mereka kerja sama untuk bersandiwara demi keinginanku, agar Anne memohon dan kembali padaku." Lucy terhenyak. "A--apa? Kau pasti bohong. Kau juga menyentuhku, kalau kau lupa!" teriak Lucy histeris, dengan air mata yang tiada henti mengalir. Darrel menatap Tian, meminta persetujuan pria itu. Tapi yang Darrel dapat, Tian memalingkan muka darinya. Dan itu pertanda jika Tian hanya bisa pasrah. Semua sudah terlanjur dibongkar jika begitu tidak perlu ada yang ditutup-tutupi lagi. "Aku tidak pernah menyentuhmu, Lucy." "Tidak! Kau menyentuhku. Aku telanjang sa--" "Kau dalam pengaruh obat sehingga kau berhalusinasi jika aku yang menyentuhmu. Kenyataannya tidak. Bukan aku tetapi..." Darrel menjeda ucapannya sejenak, ia menatap Lucy penuh keyakinan. Keyakinan supaya Lucy percaya pada ucapannya. "...Tian." *** "Berengsek!" maki Lucy tanpa sadar membanting cangkir di tangannya hingga pecah.Tangisan berderai, akibat sesak yang mendera dadanya. "Mereka semua, berengsek! Aku tidak akan memaafkan mereka semua. Karena mereka, Bianca jadi menginjak-injak harga diriku. Di mana hati nurani mereka semua, terbuat dari batu kah?" Jerit Lucy dalam hatinya. Sadar akan hal yang diperbuatnya Lucy menekan tombol di atas nakas. Tak berapa seorang pramugari menghampirinya dan bertanya padanya. "Tolong bersihkan." Pramugari itu mengangguk, ia pergi setelah sebelumnya meminta izin pada Lucy untuk mengambil alat kebersihan. Pramugari tersebut hilang dari pandangan Lucy, dan dirinya sedikit terkejut mendapati Gery berdiri di depan pintu kamarnya. Menatapnya intens. Lucy langsung merebahkan dirinya, menutup tubuhnya dengan selimut membelakangi Gery. Ia hanya berharap Gery bisa mengerti, kalau saat ini ia tidak ingin diganggu. Ia ingin sendiri. Semoga. Bunyi pintu tertutup sampai ke telinga Lucy. Membuat dirinya lega. Ia mencengkram kuat selimut yang menutupi tubuhnya. Lagi ia menangis. Menangisi semua yang terjadi padanya. Apa niat buruk akan selalu berakhir buruk? Inikah balasan dari niat balas dendam? Dendam mungkin terpenuhi, tapi, kenapa begini akhirnya? Semua seolah berbalik pada diri sendiri dan tak ada baik. Inikah tabur tuai sesungguhnya? Sepertinya iya, Tuhan sedang menunjukkan pada dirinya, jika balas dendam terhadap orang yang telah menyakiti, tidak akan membuat hati tenang. Malah sesakit ini. Tangis Lucy semakin kencang. Harusnya dia tetap diam walau telah di permalukan waktu itu. . . . TBC Dukung aku ya, Jangan lupa tekan ♥️ Terimakasih ?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD