Dari pesawat mendarat di London, sampai Gery mengantarnya ke rumah pun tak ada pembicaraan berarti. Hanya ada pembicaraan singkat. Setelah itu hening kembali menyapa bahkan tawaran Gery untuk makan di salah satu restauran pun Lucy tolak. Lucy cuma ingin tiba di rumah dan tenggelam kembali dalam selimut.
Pagi ini pun, Lucy hanya duduk di balkon dengan secangkir teh hangat. Perutnya masih tidak enak. Terasa kaku. Tadi ia juga muntah-muntah. Tubuhnya lemas. Seakan tidak memiliki tenaga.
Tok...tok...tok..
Lucy menyandarkan kepalanya di sandaran kursi kayu dengan sedikit memajukan tubuhnya. Jujur ia tak ingin menemui siapapun sekarang. Tapi ketukan pintu berulang itu cukup mengganggunya.
"Masuk!" teriaknya.
Lucy mendengar pintu terbuka dan tertutup. Dan langkah kaki kian mendekat. Lucy tidak tahu siapa yang mendatanginya sampai...
"Bibi menelponku. Kau sakit?"
Tahu akan suara milik siapa itu, Lucy tetap bergeming.
Kemudian sebuah tangan mendarat di dahinya. "Badanmu panas."
"Hmm." Lucy hanya bergumam.
"Aku akan menelpon dokter."
"Tidak perlu, Gery. Aku baik-baik saja," ujar Lucy sembari menegakkan tubuhnya lalu menyambar teh hangat di meja untuk ia minum. Rasa mual itu datang kembali.
"Terlambat. Sebelum kemari aku sudah menghubungi dokter."
"Tsk." Lucy mendengus tak suka.
"Kau pucat. Kau lebih butuh dokter daripada teh hangat."
"Terse--" belum selesai dengan ucapannya, Lucy lebih dulu berlari ke dalam kamar mandi.
Lagi dan lagi ia muntah. Dan hanya cairan bening yang keluar.
"Kau tidak apa?" tanya Gery, ia mengumpulkan rambut Lucy, ia bawa dalam satu genggamannya sementara tangan yang lainnya memijat tengkuk Lucy.
Lucy membasuh mulutnya dengan air, ia lalu berpegangan pada pinggiran westafel. Spontan Gery melepaskan genggamannya pada rambut Lucy.
"A--aku..."
"Lucy!" panggil Gery, begitu sang empunya nama hilang kesadarannya. Gery pun membawa Lucy dalam gendongannya, ia letakkan Lucy di atas ranjang.
Setelah itu, tangannya bergerak mengambil ponsel di saku. Menghubungi kembali yang ia perintahkan untuk datang kemari tadi.
"Halo," sahut suara dibalik telpon.
"Kau di mana?"
"Aku di depan rumah, sesuai alamat yang kau beri," jawab si penerima telpon.
"Cepat masuk, dia pingsan!"
"O--oke," jawab penerima telpon. Sedikit terbata. Wajar. Ia kaget di teriaki seperti itu.
Gery memandang Lucy sesaat. Ia kemudian menyelimuti Lucy. Hingga pintu terbuka, memunculkan sosok yang ia tunggu.
"Hai," sapa seseorang yang tadi dihubungi oleh Gery yang berprofesi sebagai Dokter.
"Aku tidak butuh basa-basimu. Lebih baik kau cepat periksa dia!" Gery mundur, memberi jalan untuk dokter tersebut memeriksa.
"Kau ini, aku tahu tugasku tanpa kau suruh. Menyapamu sesaat tidak akan membuatku melalaikan tugasku tau," gerutu dokter itu. Ia tak terima.
"Hmm ... aku tidak peduli."
"Ck, ringan sekali jawabanmu."
"Sebagai Dokter, harusnya kau fokus memeriksa pasienmu."
"Ck." Dokter itu berdecak untuk kedua kalinya. Kali ini ia tidak membalas perkataan Gery padanya. Memang benar, ia harus fokus memeriksa pasien.
Dokter tersebut terkesiap. Ia cukup terkejut dengan hasil pemeriksaannya. Ia melepas stetoskop hingga tergantung di lehernya, ia langsung berbalik ke arah Gery.
"Kau menghamili anak orang!" teriak dokter di depan wajah Gery setelah selesai memeriksa Lucy.
"Apa maksudmu?" tanya Gery tanpa ekspresi meski begitu dirinya bingung.
"Wanita itu hamil. Kau menghamilinya?"
"Ha--hamil?"
"Ck. Iya Gery. Wanita kau suruh aku periksa itu sedang hamil, ha-mil," tekan sang dokter di kata terakhir.
Gery mengusap wajahnya. "Kau serius, Lion?" tanyanya sekali lagi. Memastikan.
"Ya" jawab tegas dokter tersebut yang ternyata bernama Lion. "Kau--"
"Bukan," sanggah Gery, memotong perkataan Lion yang sekiranya tuduhan terhadapnya. "Aku tidak pernah menyentuhnya. Dia anak kolegaku. Aku baru mengenalnya tiga bulan yang lalu. Dan baru kemarin di Indonesia ia di putuskan bercerai dari suaminya oleh pengadilan di sana. Di sini, aku di minta untuk menjaganya."
"Kau yakin?"
"Kau tahu aku tidak mungkin melakukannya," balas Gery meyakinkan.
Lion memperosotkan bahunya, ia lega atas jawaban teman sejawatnya itu. "Syukurlah," desahnya.
"Wanita yang malang. Cerai di saat tidak tahu dia sedang hamil. Kau harus memberitahu orang tuanya."
"Hmm."
***
Lucy keluar dari kamar mandi usai membersihkan diri. Hangat sinar matahari membangunkannya dan ia tidak menemukan siapapun di kamarnya. Ia sendirian.
Lucy pun turun ke lantai dua. Perutnya lapar. Ia ingat, ia belum makan apapun tadi pagi.
"Non, anda sudah sadar?"
"Sadar kenapa?" bingung Lucy, begitu turun ia ditanya seperti itu oleh asisten rumah tangganya.
"Tadi Non Lucy sempat pingsan. Tuan Gery memanggil dokter memeriksa anda," jelas asisten rumah tangga tersebut sembari mengambil sesuatu di lemari kecil yang menempel di dinding dapur. "Dan Tuan Gery menitipkan ini untuk anda. Obat yang harus anda minum agar Nona sehat, sesuai pesan dokter anda harus banyak istirahat."
Lucy melirik bungkusan kertas berwarna coklat itu dalam diam tanpa berniat membuka isinya.
"Tuan Gery juga berpesan, beliau tidak bisa menjaga Nona sekarang. Pekerjaan menunggunya. Non, mau makan apa? akan Bibi buatkan."
Lucy mengubah raut wajahnya, setidaknya ia harus bersikap ramah pada orang yang telah bersikap ramah padanya juga.
"Bibi tolong buatkan minuman hangat ya, apa saja, sekalian aku ingin makan sup wortel."
"Baik, Non."
Lucy mengangguk, ia menjauh dari dapur menuju ruang keluarga untuk menonton siaran televisi.
Tak berselang lama Lucy menunggu. Makanannya kini sudah tersaji di depannya. Lengkap dengan obat dan s**u. Lucy tidak mengerti mengapa asisten rumah tangga Gery menyediakan s**u untuknya. Mungkin karena akhir-akhir ini ia malas makan kali ya? Tak ambil pusing. Lucy menyantap makanannya.
Baru beberapa kali suapan. Ia tersedak, kaget dengan bunyi bel. Lucy pun meminum segelas s**u tersebut hingga tandas.
"Bibi!" teriak Lucy, memanggil asisten rumah tangga Gery. Tetapi tidak ada sahutan.
"Bibi ... Ada tamu."
Sama, tidak ada tanda-tanda asisten rumah tangga itu keluar dari dapur. Lucy pun memilih untuk membuka pintu sendiri, untuk menerima tamu yang entah siapa itu.
"Kau!"
Lucy terkejut. Begitu melihat sosok yang berdiri diambang pintu rumahnya. Spontan Lucy langsung menutup pintu rumahnya. Menghiraukan teriakan memanggil namanya..
"Lucy buka pintunya, Lucy!"
"Lucy!"
Tok ... tok ... tok.
Gedoran pintu tak membuat Lucy iba. Ia mengunci pintu rumahnya dan pergi. Ditambah perut yang bergejolak lagi. Ia mau muntah.
"Non--"
Lucy menutup mulutnya dengan tangan, ia menahan muntahannya sekaligus meminta agar Asisten rumah tangga di depannya diam.
"Jangan bukakan pintu untuknya, Bi. Sampai kapanpun jangan."
"Tapi--"
"Suruh satpam mengusirnya bibi!" perintah Lucy sambil berlari menuju kamar mandi dekat dapur.
Sampai kapan pun ia tak sudi bertemu pria itu lagi. Pria licik yang suka memanfaatkan keadaan.
Lucy membasuh mulutnya. Ia menatap cermin yang menampilkan wajah pucatnya. Namun matanya menyorot tajam.
"Aku benci padamu, Tian."
.
.
.
TBC
Jangan Lupa tekan ♥️ dan beri komentar ya. Terimakasih ?