Enam

1069 Words
Tian tidak ingin lagi menjadi orang yang gampang menyerah. Dalam hidupnya ia pernah seperti ini. Sayangnya, ia tidak berjuang untuk mendapatkan cintanya. Kala itu dirinya harus berakhir kalah. Ia memilih hal bodoh, merelakan seseorang untuk orang lain dengan dalih agar yang ia cintai bahagia, munafik bukan? sekarang tidak lagi. Mendapatkan Lucy, tantangan bagi Tian. Tidak seperti pertaruhan, ini murni karena ia menginginkan wanita itu, yang telah jadikan sebagai penghuni di hatinya hingga dirinya tak habis memikirkan tentang sosok itu. "Anda benar ingin menemui Nona Lucy, Tuan?" tanya Atha. "Ya." Tian menjawab singkat. "Anda tidak ingin ke kantor dulu. Ada berkas yang harus anda lihat," kata Atha. "Kau ini kenapa? Dari tadi memintaku ke kantor. Kalian 'kan bisa menanganinya sendiri. Dulu sebelum aku di sini juga begitu." Tian sedikit heran pada bawahannya, namun tidak berpikiran macam-macam, hanya curiga saja. "Itu karena anda kabur, Tuan." Tian menghentikan gerakannya membuka pintu mobil. "Aku tidak kabur ya. Hanya menenangkan diri." "Ayolah, Tuan. Anda harus pergi ke kantor dulu. Hanya perkenalan saja kok. Eh, bukan. Sekedar memberitahukan kedatangan anda, sebentar saja. Mau ya?" Atha menaik turunkan alisnya, memohon pada Tuannya itu. "Ayo, Tuan! Datang saja, sepuluh menit lalu pergi. Anda boleh begitu, janji." Atha terus saja membujuk Tian, yang pasti ia harus berhasil membawa Tuannya datang ke kantor. "Tidak ada yang kau tutupi dariku 'kan?" awalnya curiga sedikit, lama-lama semakin dibuat curiga, pasalnya orang kepercayaannya ini sangat memaksa dirinya sekali. Biasanya tidak pernah. Iya-iya saja jika ia menolak. Atha menggeleng kepalanya cepat seraya mengendalikan wajahnya untuk tidak terlihat mencurigakan. "Tidak ada, Tuan." "Baiklah. Sepuluh menit." Akhirnya Tian menyetujui setelah berperang dengan batin serta pikirannya sendiri. Sekedar ingin tahu, memang ada apa di kantornya. Janji tidak sesuai kenyataan, inilah kenyataannya. Ternyata ada pesta kecil-kecilan di kantor menyambut dirinya. Dan pula Tian harus terjebak dalam lembaran pekerjaan. Kalau tidak kabur dengan menggunakan otak pintarnya. Ia tidak akan berada disini sekarang. Walau panas matahari tampak terasa terik sekali. Satu kali memencet bel. Tidak ada yang membuka pintu. Dua kali. Sama. Tiga kali. Cklek.. "Kau!" Brak ... Tok ... tok ... tok. "Lucy buka pintunya, aku ingin berbicara denganmu. Lucy!" Tok ... tok ... tok. "Lucy, Lucy kita harus bicara!" "b******k!" Tian menendang pintu tersebut karena tak kunjung mendapat jawaban. Drrrtt ... Drrrtt, ponselnya bergetar, dengan kesal Tian mengangkatnya. "Halo!" bentaknya. "Tuan, anda di mana? Tuan besar mencari anda. Anda harus segera ke sini. Ini permintaan Tuan besar," balas orang itu cepat. Satu, karena takut sudah di bentak. Dua, di satu ruangan dengannya ada seseorang yang tengah menatapnya intens. Meski tahu tuan besar orang yang ramah. Tapi tetap saja, suka deg-degan. Takut salah-salah. "Atha sialan!" Teriak Tian kemudian memutus sambungan telpon. Tian menatap pintu yang tertutup rapat tak jauh di depannya ini, sebelum memasuki kendaraannya lagi. "Tuan Tian akan segera datang, Tuan besar." "Baiklah, lanjutkan pekerjaanmu Atha." "Ya. Permisi Tuan." Tidak sampai tiga puluh menit. Tian kembali ke kantornya. Ia langsung menuju ke ruangannya. Di mana ada seseorang yang kini tengah memunggungi pintu masuk. Orang bertubuh tinggi, tegap dan rambutnya sebagian telah beruban. "Dad." Orang itu menoleh. "Kau ingat Daddy mu, Son ." Walau tinggal lama di luar negeri, pria yang di panggil Tian 'Dad' ini masih fasih berbahasa Indonesia dengan baik. "Maafkan aku, Dad." "Pulanglah, Nak. Mommymu mencarimu. Dia pasti senang melihatmu. Dad belum memberitahunya jika kau sudah kembali." Tian diam. Tak membalas ucapan Daddynya lagi. "Di rumah hanya ada Dad dan Mommymu. Kami kesepian, Nak. Tetaplah di sini dan Jenguk kami selagi kau ada waktu." Tian tertegun, mata syarat akan kerinduan itu menatapnya tulus. Ia pun mendekati pria paruh baya tersebut lalu memeluknya. rasa bersalah menyergap benaknya. Ya, salah. Selama berada nan jauh di sana, dirinya tidak mengabari kedua orang tuanya sama sekali. "Aku merindukanmu, Dad." Ayahnya tidak menjawabnya. Namun memeluknya dengan erat. Sesekali menepuk punggungnya. "Kau baik-baik saja?" "Ya, Dad." Tuan Endru melepas pelukan anaknya. Ia tatap wajah itu dengan seksama. "Bukan dirimu tapi hatimu." "Aku tidak lagi memikirkannya. Tapi aku tetap tidak bisa menerimanya. Jangan larang aku membencinya Dad." Endru tak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tidak ingin merusak mood anaknya ini. Anaknya yang masih labil di usianya yang tidak lagi muda. Bukan salahnya, hanya saja butuh waktu dan kondisi untuk mendewasakan diri. Suatu saat nanti. Ia yakin anaknya ini pasti akan mengerti. Jika menanggapi masalah harus dengan pemikiran dewasa. "Ya." Ia terpaksa mengiyakan yang bukan keinginannya. "Pulanglah, Nak. Beri Mommymu kejutan," pinta Endru. Ia rindu berkumpul dengan anaknya ini lagi. Kumpul dan bercengkrama seperti dulu. "Nanti malam, aku akan pulang Dad." jawabnya di tengah kebimbangan hatinya. Tian hanya tidak ingin melihat kekecewaan di mata sang ayah lagi. Orang tuanya yang tidak pernah ia hubungi bertahun-tahun lalu karena keegoisan dirinya. Yang ingin lari dari masalahnya. Dan melupakan semuanya. Ia memang tidak bisa melupakan masa lalunya. Bukan berarti hatinya menetap. Ia telah menemukan orang baru. Orang yang kini harus ia perjuangkan lebih keras untuk mendapatkannya. Tidak lagi menyerah dan mengalah. "Dad senang mendengarnya. Kau disini sesaat atau..." "Aku tidak tahu ." Sebelah alis Endru terangkat. "Maksudnya?" Tian memberikan senyumnya. "Jika memang diharuskan, aku akan berada di sini lama. Kalau memang tidak. Aku tidak tahu akan berapa lama disini." Endru mengangguk. "Padahal Dad berharap kau akan berada di dekat kami terus." "Maafkan aku Dad." Endru menepuk lengan atas putranya. "Tidak apa. Buat dirimu senyaman mungkin di mana pun kau berpijak nantinya." Tian mengangguk mantap. Untuk saat ini orang tuanya tidak boleh tahu apa yang ia perbuat. Apa yang saat ini tengah ia perjuangkan. Ia akan buat mata-mata ayah dan ibunya itu untuk tutup mulut. Siapa lagi kalau bukan, Atha. Orang kepercayaannya, asistennya sekaligus tangan kanannya. Orang Indonesia yang berkuliah di sini dan ingin bekerja di sini juga, karena itu, dirinya berusaha membantu agar Atha mendapat pekerjaan sesuai ijazahnya. Ia hanya kasihan, sih sebenarnya. Lulusan dengan nilai tinggi, pintar tapi susah dapat kerja. Kakak tingkat yang kurang beruntung memang. Makanya ia ajak bekerja di perusahaannya, bahkan sempat merasakan jadi bos lagi. Kurang apa dirinya ini? Awas aja nanti kalau tidak bisa di ajak kerja sama. "Kalau begitu, Dad pulang dulu." "Hati-hati, Dad." Sebelum membuka pintu. Endru menoleh ke arah Tian dan mengucapkan sesuatu yang membuat Tian terdiam membisu. "Kunjungi juga mama dan kakekmu. Majukan perusahaan ini, Tian. Buat mereka bangga padamu." Mama dan kakek ya.. Benar, sudah lama ia tidak ke makam kedua orang tersayangnya itu. Ia jadi rindu. Ingatkan ia berkunjung nanti. . . . TBC Jangan lupa tekan ♥️ dan beri komentar ya. Terimakasih :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD