Tujuh

1231 Words
Sesuai ucapannya tadi. Sore ini Tian mengunjungi makam Nenek, Kakek dan Ibu kandungnya. Terutama makan Mamanya yang sangat ia rindukan. "Maafin Tian ya Ma. Tian tidak bisa menjadi anak yang baik. Tian nakal, Tian sudah jadi orang Jahat." Tian duduk di samping Pusara ibunya. "Padahal Mama dulu bilang ke Tian supaya Tian jadi anak yang baik. Anak kebanggaan Mama dan Papa. Nyatanya sekarang tidak begitu, Tian sudah menghancurkan hati seorang wanita. Menjadi laki-laki b******k yang tidak mampu mengendalikan nafsunya sendiri. Sekarang wanita itu membenci Tian, Ma. Sangat membenci Tian..." Mata Tian berkaca-kaca, sudah lama ia tidak bercerita di makam sang Mama mengenai wanita. "...Tian bodoh Ma. Tapi Tian tidak akan berhenti mengejarnya. Tian tidak akan menyerah seperti dulu lagi. Karena Tian yakin, di perut wanita yang saat ini Tian Cintai ada buah hati kami. Ada anak Tian Ma. Meski Tian tidak tahu benar atau tidak, tapi keyakinan dalam hati Tian tidak pudar. Tian sama sekali tidak pernah meragukan keberadaan anak itu." Tian mengusap batu nisan sang Mama. "Dari sana do'akan kebahagiaan Tian ya, Ma. Tian Janji Tian gak bakalan ngecewain Mama lagi. Tian sayang, cinta dan rindu Mama. Tenang-tenang disana ya, Ma." Beralih ke sebelah kirinya, Tian tersenyum memandang sang kakek. Pria kolot yang tidak pernah ramah pada daddynya. Namun, sikapnya lembut ketika berhadapan dengannya dan sang ibu. Walau saat itu dirinya masih kecil. Ia dapat membedakan raut muka marah, sedih dan bahagia. "Kakek, maaf telah melalaikan tugas yang kau berikan padaku. Tian janji, Tian akan bekerja keras lebih lagi agar perusahaan peninggalan kakek semakin berkembang pesat. Tidak akan Tian biarkan seorang pun dapat menghancurkannya." Tian mengelus keramik yang mengelilingi makam sang kakek. "Salam buat Nenek ya, Kek. Tian di sini pasti akan mendo'akan kalian semua. Tian pergi dulu." Keluar area pemakaman, rencana selanjutnya Tian akan mengunjungi daddy dan Mommy nya. Dua orang yang sangat Tian sayangi juga. Sebelum itu, ia akan berkunjung ke toko kue dahulu. Membelikan kue untuk Mommynya tersayang. Setelah kue di tangan, butuh waktu dua puluh lima menit untuk sampai ke rumah orang tuanya. Tian memandangi rumah yang berukuran cukup besar itu. Pernah ada tawa dan tangis disini. Tian menggelengkan kepalanya, ia tidak ingin mengingat masa lalu. Tujuannya kesini bukanlah untuk masa lalu melainkan untuk mengejar masa depannya. Ingin buat kejutan, Tian langsung masuk kedalam rumah. Di ruang keluarga, ia mendapati Daddynya dengan acara beritanya. Tian menempatkan telunjuknya di depan bibir, meminta sang Daddy untuk diam. Karena tak jauh dari mereka, setelah meja makan yang panjang dan meja bar ada seorang wanita paruh baya berdiri membelakanginya. Berjalan tanpa suara, Tian menghampiri wanita paruh baya itu. Ditangannya sudah ada kue dan satu tangkai bunga mawar yang ia petik di depan rumah tadi sebelum masuk. "I miss you ,Mom!" Seru Tian sembari mengulurkan setangkai bunga mawar merah. Wanita paruh baya itu menoleh kesamping, raut mukanya menunjukkan keterkejutan. "Tian ." "Ya, ini aku Mom." "Tian..Oh Tuhan.." Tak kuasa menahan haru wanita paruh baya tersebut membawa Tian dalam dekapannya. "Mom sangat merindukanmu. Jangan jauh dari kami lagi." "Akan Tian usahakan Mom." "Mom tidak mau jawaban selain 'iya'. " Tian mengukir senyum simpul. "Iya,Mom." "Terimakasih sudah kembali, Nak." *** Lucy merasa kepalanya ingin meledak. Ia tidak tahan berada di rumah. Sendiri tanpa siapapun. Memang tidak ada yang perduli dengan dirinya. Semua orang terdekatnya membuatnya kecewa. Dirinya benci itu. Karena itulah, Lucy mengunjungi tempat ini. Tempat yang tidak pernah ia kunjungi seumur hidupnya selama di Indonesia. Klub malam. Biarkan ia lepas, dan bebas. Melupakan segala macam sakit, luka dan kecewa. "Mau minum apa?" Tanya bartender dengan aksen bahasa Inggris nya yang kental. Mungkin bartender itu tahu jika dirinya bukan asli orang Belanda hingga sedikit mengeja pengucapan kata-katanya. "Berikan aku satu minuman apapun. Aku ingin melupakan sejenak masalahku," jawab Lucy dengan bahasa Inggris juga. "Tentu. Asia?" Pria itu bertanya lagi. Sembari menyajikan minuman untuk Lucy. "Ya.." "Satu gelas spesial untuk wanita Asia tercantik di sini." "Terimakasih." Lucy mengambil gelas tersebut. Baru meminum beberapa teguk, minuman itu tiba-tiba di renggut darinya. "Hey!" Lucy berdiri dengan tubuh setengah oleng. "Kau menggangguku!" Serunya. "Aku Gery.." Dahi Lucy mengernyit. Ternyata beberapa teguk alkohol membuatnya kehilangan kesadaran. Dirinya bukan peminum yang baik ternyata. "Ah..kau Gery yang itu," ujar Lucy, ia cekikikan sendiri. "Kau di sini juga? Wah aku punya teman. Mau berdansa denganku?" "Tidak. Kita pulang," ucap Gery dengan penekanan di setiap katanya. "Aku tidak mau." Lucy menolak. "Ayo kita bersenang-senang. Bersenang-senanglah denganku Gery," ajak Lucy, wanita itu mendekati Gery. Menempelkan tubuhnya dan mulai bergoyang. "Jangan gila,Lucy!" Geram Gery, Lucy mengalungkan tangannya di leher Gery. "Mari kita nikmati ini, Gery." "Lu.." Cup.. Dalam kondisi mungkin tidak sadar, Lucy dengan beraninya mencium bibir Gery. Dan perlahan mulai melumat. Kepala Gery mulai pening, tangannya terkepal erat. Lucy benar-benar menggodanya. Wanita itu berani sekali menggesek lutut tepat di atas miliknya. Grep ... Tak kuasa menahan godaan setelah sekian lama hasratnya tak tersalurkan, Gery mencengkram erat pinggang Lucy. Ia balas ciuman Lucy dengan agresif sedikit ke arah kasar. "Benar katamu, mari kita nikmati ini Lucy." Gery menuntun Lucy ke salah-satu kamar dalam klub. Ciuman keduanya bahkan tidak lepas. Bahkan tangan Gery tidak lagi berada di tempat yang benar melainkan meremas p****t Lucy. Wanita yang saat ini berpenampilan berbeda dari biasanya. Cukup terbuka. Gery menjatuhkan tubuh Lucy ke ranjang. Wanita itu tertawa dan meraih belakang kepala Gery untuk kembali memulai ciuman yang sempat terlepas. Keduanya seolah kehilangan akal mereka. Benar, saat nafsu telah menguasai, segala macam hal bisa terlupakan. "Ge...ry." "Lucy!" Lucy mendadak diam, kelopak matanya menutup membuat air yang menggenangi matanya jatuh melalui sudut mata dan membasahi bulu matanya. Lucy mengangkat tangan kanannya di udara, bergerak keatas dan kebawah. Seperti ingin menggapai yang entah apa, sedangkan tangan lain wanita itu berada di atas perutnya sendiri, sembari berucap lirih, "Maafkan aku." sebelum kesadarannya menghilang. Gery panik melihatnya. Ia menepuk-nepuk pipi Lucy tapi tak kunjung dapat jawaban. dirinya turun dari kasur begitu saja saat satu ingatan menghampirinya. b******k! Ia lupa. Ia lupa yang dokter informasikan padanya tadi pagi. Nafsu sialan! Dengan gerakan cepat ia ambil ponselnya untuk menghubungi seseorang yang akan di mintai nya bantuan. Ia sangat mengharapkan kondisi Lucy baik-baik saja. Namun perasaannya tidak enak. Ia seolah tidak nyaman dengan kondisi ini. Ada sesuatu seperti menghantam dadanya. Membuatnya sesak dan tak bisa berkata-kata. "Kenapa ini?" *** "Tian, Mom pikir siapa? Kenapa kamu gelap-gelap an begini?" Liandra nama Ibu tiri Tian. Wanita yang tidak lagi mudah itu heran melihat sang anak duduk di meja dapur sembari mencengkram gelas. "Tian." Liandra mendekati anaknya, ia rangkul bahu sang anak kemudian mengelusnya pelan. "Ada apa Nak? Cerita sama Mom." "Tian kebangun, Mom. Perasaan Tian tidak tenang. Hati Tian mendadak sakit. Tian tidak tahu kenapa? Tidur lagi, percuma." Liandra memeluk anaknya itu, "Tenangkan dirimu, Sayang." "Sakit sekali Mom, sampai kaki Tian lemas," adu Tian, ia balas memeluk sang ibu. Walau ibu tiri, Tian sangat menyayangi ibunya ini. Tidak seperti dalam dongeng. Ibunya ini wanita yang baik. Sangat baik malah. "Berpikirlah positif. Mom yakin itu hanya kegelisahan. Yang semakin di pikirkan malah menjadi semakin membuat dirimu tidak tenang. Berdo'a lah, Nak. Serahkan semua pada Tuhan." "Iya, Mom. Peluk Tian Mom. Jangan lepas." Ya, setidaknya pelukan dan ucapan sang ibu mampu sedikit menenangkannya. Liandra ikut merasakan kegelisahan sang anak, ia elus rambut anaknya ini. Pandangannya tertuju kearah kelambu jendela dapur yang berterbangan. Dalam kegelapan ia membatin, "Semoga firasatnya bukan firasat yang buruk." . . . TBC Jangan lupa tekan ♥️ dan beri komentar :) Terimakasih yang udah baca dan mampir ;)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD