Delapan

1061 Words
Lucy mengerjabkan matanya, hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah sosok Gery. Pria itu memandangnya dalam diam. Lebih ke arah melamun tepatnya. "Gery." Gery tidak akan sadar, jika Lucy tidak memanggilnya. "Lucy." Pria itu bergegas ke samping ranjang Lucy. Sedikit menunduk Gery bertanya, "Kau baik-baik saja?" "Aku…kenapa?" Tanya Lucy lemah. Gery tidak langsung menjawab. Beberapa saat ia memilih diam, berpikir. "Kau...pingsan." "Aku…pingsan." "Ya dan maafkan aku Lucy." Gery menatap Lucy dengan pandangan serius. "Maaf untuk apa?" "Tidak seharusnya aku melakukan itu di saat kau sedang hamil," jawab Gery cepat. Dalam satu nafas. "Hamil?" Kaget Lucy. "Kau bercanda." Gery menggelengkan kepalanya. "Kau hamil Lucy, kemarin pagi dokter memberitahukannya padaku." "Aku kemarin hanya muntah biasa Gery." Gery menegakkan tubuhnya, ia berdiri dan mengusap wajahnya kasar. "Aku belum sempat memberitahumu jika kau hamil. Aku akan memberitahumu sepulang dari kantor. Tapi klienku memintaku menemaninya ke club. Aku tidak bisa menolak dan aku menemukanmu di sana. Karena itu, aku melarang mu meminum alkohol." Dari ujung mata, air mata Lucy jatuh. "Tidak mungkin." "Aku tidak mungkin berbohong padamu, Lucy. 12 minggu usia kehamilan mu." "b******k! Pria itu b******k! Aku tidak akan pernah memaafkannya!" histeris Lucy sembari memukul-mukul ranjangnya dan tangannya yang lain mencengkram perutnya. "Jangan bodoh, Lucy!" Gery menyentak tangan Lucy, supaya berhenti mencengkram perutnya. "Anak ini harus mati!" Bentak Lucy, air matanya keluar. Namun tak berapa lama kemudian wajahnya berubah ceria. "Anak ini pasti sudah mati. Aku minum alkohol tadi malam. Benarkan Gery?" Gery menggelengkan kepalanya. "Dia masih selamat." *** Tian masih setia duduk di dalam mobilnya. Pagi ini ia kembali menemui Lucy. Tetapi, kata Asisten rumah tangganya, Lucy tidak ada di rumah dan tidak pulang sejak semalaman. Hal itulah yang membuat Tian khawatir. Dan Atha asisten pribadinya itu juga tidak bisa diandalkan sama sekali. Padahal dirinya sudah meminta agar mengirim satu orang untuk menjaga di sekitaran rumah Lucy ini. Tapi apa, dengan mudahnya pria itu bilang orang suruhannya tidak mengirimkan informasi. Benar-benar tidak bisa dipercaya. "Tuan." Atha langsung berdiri dari duduknya begitu Tian masuk ke dalam ruangannya. "Kau--" "Apa, bos?" Terlihat sekali kegugupan Atta. Meski mulutnya tidak berbicara tapi keringat sebesar biji jagung di dahinya mampu mengartikan semuanya. "Aku menyuruhmu memata-matai rumah Lucy." "Ya, dia ada di sekitaran sana." "Tidak ada hasil apapun hari ini?" "Y--ya mungkin Nona Lucy tidak keluar rumah sama sekali, Tuan." "Kau yakin?" Atha mengepalkan tangannya, dengan keyakinan ia berujar, "Ya." Sepersekian detik, Tian menatap dalam diam Atha. Ia kemudian membalikkan badannya berniat untuk pergi. Namun sebelum itu... "Pagi ini, aku pergi ke rumah Lucy. Dia tidak ada di rumah dari semalam." Tian berbicara dengan tenang meski setiap perkataan dari mulutnya seakan tengah mengintimidasi. Atha sadar akan itu. "Aku tahu ada yang kau sembunyikan Atha. Apapun itu, aku harap mendengar dari mulutmu sendiri. Bukan dari orang lain. Aku percaya padamu. Jangan kau hancurkan kepercayaanku." Wajah Atha pias, ia mengusap kasar wajahnya setelah Tian keluar dari ruangannya. Atha tidak tahu, apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia hanya tidak ingin kisah lama terulang kembali. Dirinya tidak mau melihat Tuannya itu, jatuh kembali. "Aku memang tidak pandai berbohong!" *** Lucy bersandar pada kepala ranjang. Ia melamun, meratapi nasibnya. Baru saja ia bercerai. Kini dalam perutnya ada janin yang kemungkinan besar sudah terbentuk. Bukan dari benih mantan suaminya, tetapi benih orang lain. "Aku sudah menghubungi kedua orang tuamu. Nanti malam kalau tidak besok pagi, mereka akan sampai." Masih dalam posisi yang sama, Lucy sama sekali tak bergeming. Pandangannya kosong menatap ke depan. "Kau harus memakan makananmu, akan ku bantu kau makan." Gery menyendok nasi, ikan beserta sayur -yang sudah di siapkan oleh pihak rumah sakit- dalam satu sendok. Gery angsurkan sendok tersebut di depan mulut Lucy tapi wanita itu malah memalingkan muka. "Lucy." "Aku tidak mau makan." Ada tekanan disetiap perkataan Lucy. "Ingat anak dalam kandungan mu, Lucy." Gery berusaha sabar menanggapi betapa keras kepalanya Lucy. "Aku bahkan tidak perduli kalau anak ini mati," sarkas Lucy. "Anak itu tidak salah apa-apa!" Lucy menatap Gery tajam. "Dia salah karena hadir di perutku!" Gery menghembuskan nafasnya. "Setidaknya anak itu bagian dalam dirimu. Jangan jadi pembunuh hanya karena ketidaksukaanmu terhadap ayah dari anak dalam kandunganmu itu, Lucy" Air mata Lucy luruh. Lagi. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Anak ini, bukan harapanku sama sekali. Kehadirannya...semakin membuatku jatuh ke dalam jurang, Gery. Aku..aku.." Membawa Lucy dalam dekapannya, Gery memeluk wanita itu erat. Menguatkan, ia hanya tidak mau Lucy berbuat lebih dari batas wajar. Anak ini tidak berdosa. Tidak salah apapun. Dan berhak mendapatkan kasih sayang. "Tenanglah, Lucy." "Mana bisa aku tenang. Kepalaku seakan mau meledak memikirkannya!" Dalam dekapan Gery, Lucy mengeluarkan keluh kesahnya. "Berat sekali hidup yang harus aku jalani, Gery. Aku...tidak sanggup." Deg... Perasaan Gery tidak enak. Membawa ingatannya akan pertama kali dirinya bertemu Lucy. Percobaan bunuh diri. Ia semakin erat mendekap Lucy. "Jangan lakukan hal bodoh lagi, Lucy. Kau tidak lagi satu. Ada nyawa dalam dirimu yang harus kau jaga. Dia pasti tidak ingin kau melukainya. Bayangkan saja dia menangis di depanmu. Menangisi ibunya, yang akan mengakhiri hidupnya bahkan sebelum dia melihat dunia. Andai kau mengakhiri hidupmu juga, kalian tidak akan bisa bertemu di tempat paling baik sesudah kehidupan di dunia ini." "Itu lebih baik daripada dia lahir dan dunia membencinya." "Ada dirimu. Anak ini akan baik-baik saja, jika ada ibu yang melindunginya." Gery membawa tangan Lucy menyentuh perut wanita itu sendiri. "Rasakan kehadirannya, Lucy. Rasakan di dalam sana, seirama dengan detak jantungmu, dia memanggil namamu. Dia menginginkan ibunya tetap kuat untuk dirinya juga." Tangis Lucy semakin pecah, Gery tersenyum tipis. Lucy masih memiliki hati nurani dan sekarang mulai tergerak. Gery sangat berharap untuk itu. Lucy mempertahankan janin dalam perutnya. "Kami semua akan membantumu melewati semua ini, orang tuamu pasti--" "Tidak. Mereka tidak peduli padaku. Yang mereka pedulikan hanya wanita perusak itu. Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka, jelas-jelas aku yang terluka disini. Aku korban, aku yang dihancurkan--" Gery mengelus bagian belakang kepala Lucy. "Kalau begitu aku yang akan membantumu. Selalu ada buatmu dan anak ini. Menjaga kalian sebisaku." "Gery." "Pertahankan dia Lucy. Hanya itu permintaanku padamu," ujar Gery mantap. Ia sama sekali tidak mengerti. Selain karena kemanusiaan, ada hal lain dalam hatinya yang menginginkan anak dalam kandungan Lucy ini untuk tetap ada. Tetap hidup dan lahir di dunia. Setiap ia cari alasannya kenapa? Dirinya sama sekali tidak mendapatkan jawaban. Mungkin nanti, ia hanya bisa membiarkan waktu yang menjawab semuanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD