Sembilan

1111 Words
"Lucy, kau baik-baik saja?" Elvina dan Karsa sampai dari bandara tadi pagi. Keduanya tidak bisa langsung ke rumah sakit, belum waktunya jam besuk. Ini bukan negara kelahiran mereka, mereka tidak punya kuasa untuk bebas melakukan apapun tanpa aturan. "Baik," singkat Lucy. "Mama khawatir--" "Tidak perlu. Aku tidak butuh kalian mengkhawatirkan ku," potong Lucy, terdengar cukup sarkas di telinga tiga orang yang berada dalam ruang rawat Lucy. "Mamamu benar mengkhawatirkan mu, hargai dia Lucy." Lucy menatap sang ayah. "Buat apa aku menghargai kalian, kalau kalian saja tidak perduli padaku! Kalian lebih sibuk mencari wanita jalang itu!" Plakkk... "Mama menamparku." Lucy memandang ibunya dengan linang air mata di matanya. "Demi wanita tidak tahu diri itu... Mama menamparku." "Lucy." Elvina mengepalkan tangan yang ia gunakan untuk menampar Lucy, tindakannya tadi di luar kendali. Elvina tahu, di kondisi seperti sekarang ini posisi dirinya dan suami menjadi serba salah. Membela anak yang satu anak yang lainnya akan tersakiti, begitu pun sebaliknya. "Gery, bilang pada mereka untuk segera pergi dari sini. Aku tidak ingin diganggu," tekan Lucy sebelum menyembunyikan dirinya dalam selimut. Gery memandang datar orang tua Lucy. bukan karena dirinya tidak memiliki hati, yah..wajahnya memang seperti ini. Melalui isyarat, Gery meminta orang tua Lucy keluar ruangan. Gery pun ikut keluar, ada hal yang harus dibicarakan juga. Tentang hal terpenting mengenai kondisi Lucy. "Ada yang ingin saya sampaikan--" Gery memulai obrolan.. "Lucy baik-baik saja kan, Nak Gery," sela Elvina, firasatnya tidak baik. Ia takut terjadi apa-apa dengan anaknya itu. "Baik." kelegaan tampak di wajah Catherina dan Karsa. "Tapi batinnya tidak." "Maksudnya?" Karsa menimpali. "Lucy..." Gery menjeda perkataannya, "saat ini dia tengah mengandung." "Me-mengandung?" "Berapa usia kandungannya?" Tanya Karsa, pria paruh baya itu nampak tidak terkejut sama sekali. "12 Minggu." Kedua tangan Karsa mengepal. "Aku harus mencari pria itu?" "Apa anda akan mencari mantan suami, Lucy?" "Kau mengira begitu?" tanya Karsa balik, Karsa memalingkan muka dan menatap pintu ruangan anaknya yang tertutup. "Bukan dia. Tapi pria lain yang sama b******n nya dengan pria itu." "Siapa? Saya akan membantu anda mencari." sungguh jauh dalam lubuk hati Gery ada sesuatu yang tidak bisa di jelaskan, saat mendengar penuturan Karsa. Bukan perasaan tidak suka. Tapi lebih ke berdebar karena penasaran. Kondisi yang ia sendiri tak bisa jelaskan. "Tidak perlu. Kalian tidak perlu mencari pria itu!" Tolak Elvina. "kita tidak butuh dia untuk membesarkan anak dalam kandungan Lucy dan mengurus Lucy..." "..Kalaupun Lucy harus menikah,.." pandangan Elvina tertuju kearah Gery. "..dia harus menikah dengan nak, Gery." Elvina menghampiri Gery, meraih tangan pria itu dan di genggamnya erat. "Nak Gery mau kan menikah dengan Lucy?" Wanita paruh baya itu menyiratkan permohonan disepasang matanya. "Nyonya..." "Haruskah aku bersujud di kakimu Nak Gery,.." "Tidak, Nyonya." Segera Gery mencegah Elvina yang ingin bersujud padanya. "Kau jangan bodoh, jangan memaksa orang lain menikahi putri kita." Karsa menarik tangan Elvina. "Lalu aku harus apa? Masa depan putri kita..hancur karena keinginanmu. Karena keegoisanku! Siapa disini yang patut untuk di salahkan, hah?!" Murka Elvina pada suaminya itu. "salahku juga, yang tidak bisa mencegah semua itu terjadi." Elvina terduduk, di kursi tunggu depan ruangan Lucy. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. "Lucy mencintainya. Aku pikir itu akan mudah. Mereka berdua akan saling mencintai seiring berjalannya waktu." "Tapi nyatanya pikiranmu itu salah!" Bentakan sang istri membuat Karsa diam, ia juga mendudukkan dirinya tak jauh dari Elvina. Pikirannya berkelana, mengandai yang sudah-sudah meski tak bisa lagi diulang. Andai pernikahan itu tak buru-buru dilaksanakan. Andai ia biarkan putri bungsunya tinggal dirumah miliknya sendiri tidak ikut tinggal bersama sang kakak. Andai ia biarkan Anne ikut serta ke London. Andai ia tidak memikirkan membuka bisnis baru di negara orang, yang membawanya tanpa sengaja menjauh dari anak-anaknya. Andai ia pantau kedua putrinya, tidak langsung mempercayakan pada orang lain untuk menjaga, Andai, andai dan Andai. Perandaian yang tidak menemukan ujungnya. Brakkk... Prang... "Pergi kalian!" "Jangan berisik di depan ruang rawat ku!" Gery mendekati orang tua Lucy. "Tuan, Nyonya, lebih baik kalian pulang ke rumah dan beristirahat. Takut mengganggu pasien lainnya." Karsa beranjak dari duduknya, ia memegang lengan sang istri untuk beranjak juga. "Titip Lucy. Jaga dia untuk kita." "Kalian bisa percaya padaku. Sampai kondisi Lucy baik, jangan kalian temui dulu. Saya akan mencoba memberi pengertian pada Lucy." "Kita berhutang banyak padamu, Nak Gery. Terimakasih." Gery masuk kembali ke kamar Lucy. Baru membuka pintu. Ia menemukan vas bunga yang telah hancur berkeping-keping. "Apa mereka sudah pergi?" "hmm." "Lihat.. bahkan mereka sungguh-sungguh meninggalkanku. Aku tidak ada artinya memang di mata mereka berdua." Gery menghembuskan nafas berat. "kau yang mengusir mereka Lucy." "Harusnya mereka bisa berusaha lebih keras membujukku. Bukan menamparku demi membela anak kesayangan mereka lalu pergi!" Gery mengusap wajahnya kasar. "kau terlalu kekanakkan Lucy. Kalau kau tidak ingin orang tuamu pergi. Kau tidak perlu mengusir mereka. Kau pecahkan vas bunga mengenai pintu, berteriak hanya untuk mengusir orang tuamu." "Kau bilang aku kekanakkan?" "Ya." tegas Gery. "Kau tidak pernah menjadi aku Gery. Kau tidak tahu apa yang aku rasakan," Geram Lucy, sembari menunjuk dirinya sendiri. "Aku menikahi pria yang dari awal aku tahu dia tidak mencintaiku. Aku sangat mempercayai cinta datang karena terbiasa. Aku berusaha mendapatkan hatinya. Sayangnya aku hanya berjuang seorang diri. Dan kau tahu itu. Dan kau juga tahu, siapa yang harusnya di salahkan pada kondisiku ini. Tapi apa? Mereka berdua lebih membelanya daripada diriku yang jelas-jelas korban di sini." "Kau yakin dirimu korban? Kau yakin tidak sengaja menjadikan dirimu sendiri korban dalam permasalahan itu?" Keduanya saling bersitatap. "Kau tahu Lucy. Aku bukanlah orang baik. Orang tidak baik bisa saling membaca orang yang tidak baik juga." "Omong kosong apa yang kau ucapkan Gery?" "Kalian berdua, kau dan adikmu sama-sama korban di sini. Pernikahan yang kau jalani dari awal sudah tidak sehat. Kau sendiri tahu itu. Tapi kau.." Gery menunjuk Lucy. "menutup mata akan hal itu. Kau membuat dirimu terlihat paling tersakiti. Nyatanya, ada permainan yang kau jalani Lucy." Sepersekian detik, sepasang mata Lucy menunjukkan keterkejutan. "Kau bersaing dengan temanmu untuk mendapatkan mantan suamimu itu. Hanya persaingan. Bukan karena kau benar-benar menginginkannya. Kau tidak mencintainya Lucy." Lucy mengepalkan kedua tangannya. Ia lalu menyambar gelas di samping nakas mendorongnya hingga jatuh tepat di depan Gery berdiri. "Kau tidak tahu apa-apa, Gery!" "Ya, sayangnya aku punya telinga untuk mendengar pembicaraanmu dengan temanmu. Indonesia, rumah sakit. Pergi. Kau tidak jadi memeriksa kondisimu." Nafas Lucy naik turun. Pandangannya tak teralih menatap Gery. "Usai berbicara dengan orang tuamu. Aku bisa merangkai semuanya. Bersikaplah dewasa Lucy. Kesabaran ku telah habis, aku...bisa lebih keras kepala daripada dirimu. Berhentilah bersandiwara." "Maaf juga untuk semalam. Aku tidak bisa mengendalikan diriku. Aku bukanlah orang baik. Jangan memandangku...seolah aku malaikat." . . . TBC Terimakasih untuk kunjungannya... :) jangan lupa tekan ♥️ dan dukung aku terus ya ;)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD