Bab 2: Just a firend? No, you're my Best friend

1205 Words
Troy malam ini belajar seperti biasa. Ia membaca lagi materi yang dibahas hari ini. Troy memang giat belajar, karena ingin masuk perguruan tinggi negeri yang berada di Bandung. Alasannya cuma satu, yaitu memulai hidup baru tanpa menyimpan rahasia kalau dirinya adalah gay. Saat kuliah, ia tidak ingin menyimpan rahasia itu lagi. Di saat Troy sedang sibuk belajar Sejarah, jendela kamarnya ada yang mengetuk dengan tidak sabar. Troy menghela napas dan sudah yakin siapa orang yang mengetuk jendela kamarnya itu. Pasti Disa. "Dis, ini udah malem." Troy membuka jendela dan memandang Disa bingung, sekaligus cemas. Walau gelap, Troy bisa melihat mata Disa yang sembab seperti habis menangis. "Gue tau. Gue nggak buta, Troy. Bantuin gue masuk, dong!" Disa mengulurkan tangannya, meminta bantuan Troy. Dengan senang hati Troy membantunya masuk. "What happened?" Troy mengangkat satu alisnya sambil sedikit memiringkan kepalanya, menatap Disa. "Gue ... nggak tahan di rumah. Biasa, bokap nyokap bertengkar lagi. Dan gue bingung mau ke mana, sori kalo gue ganggu lo—" "It's okay. Lo bisa tidur di sini." Troy dengan santai menuntun Disa ke tempat tidur besarnya. "Lo haus? Mau gue buatin teh atau s**u?" Disa tersenyum, lalu menggeleng pelan. "Thanks. Tapi, gue cuma mau lo ada di sini dan ngucapin kata-kata ajaib seperti biasanya." Kata-kata ajaib? Troy terkekeh, lalu menggenggam tangan Disa, "Everything will be okay," ucap Troy terdengar tulus. Tentu saja dia tulus. Hatinya terlalu baik. Hingga terkadang, ia tidak peka dengan apa yang ada di sekitarnya. "Yeah, I hope so." Disa tertarik saat melihat banyak buku bertebaran di tempat tidur Troy. "Lo lagi belajar?" "Yea, kind of." "Gue juga mau belajar, dong." Disa duduk bersila di tengah tempat tidur Troy. "Kenapa lo masih diem di situ, Troy? Ayo!" Troy mengerjap lalu duduk bersila di sebelah Disa. "Serius lo mau belajar? Ini rasanya kayak keajaiban." Troy terkekeh geli, membuat Disa gemas meninju lengan 'sahabatnya' itu dengan pelan. "Gue nggak sepemalas itu, Troy." "Oke, kita mulai belajarnya?" tanya Troy masih terkekeh geli. Disa menyengir. "Siap, Boss! Ayo, mulai!" Troy mulai menjelaskan sejarah penjajahan Jepang dan Belanda di Indonesia, tapi Disa hanya tersenyum memandangi wajah manis Troy yang terlihat serius. Perempuan itu sama sekali tidak mengerti apa yang Troy bicarakan. Tapi, suara lelaki itu adalah suara paling merdu yang pernah ia dengar. Ia tidak pernah bosan setiap mendengar Troy berbicara panjang lebar. Ia bahkan sangat bahagia mendengarnya. Disa bahkan sering menelepon Troy setiap sebelum tidur, agar ia bermimpi indah. Yah, secandu itu suara Troy bagi Disa. "Ngerti, Dis?" Disa masih tersenyum bodoh memandang Troy yang sedang mengernyit menatapnya. "Disa? Lo ngerti, nggak? Mau gue ulang?" Disa mengangguk polos. "Ulang aja, sampai seratus kali juga pasti gue dengerin, kok." "What?" Troy sedikit bingung dan geli dengan ucapan Disa. "Lo nyimak nggak, sih?" "Eh? Erm ... yea, sedikit." Disa menyengir lalu menggaruk tengkuknya. "Sori, gue kurang fokus. Gue masih kepikiran sama bokap gue." Disa tidak sepenuhnya berbohong. Ia masih sedikit khawatir ayahnya akan menyakiti bunda tersayangnya saat ia tidak ada. Troy tersenyum tipis lalu menepuk puncak kepala Disa. "Jangan dipikirin, mereka akan baik-baik aja." Disa menunduk. "Gue takut mereka cerai. Mereka udah nggak saling cinta, Troy." "Kok lo bilang gitu?" Disa menahan air matanya saat mengingat, ia pernah mendengar ayahnya sedang bicara di telepon dengan mesra. Pasti dengan perempuan. "Ayah gue selingkuh. Gue tau itu," gumam Disa pelan, "gue takut, Troy." "You'll be fine." Troy menggenggam tangan Disa yang dingin. "Need a hug?" Disa tersenyum, lalu mengangguk dengan semangat. "Of course...." Disa memeluk Troy sangat erat dan menangis di pelukan Troy. Disa tidak pernah malu menangis di depan Troy. Bahkan, itu membuatnya merasa jauh lebih baik. Mungkin, Disa terlihat kuat di depan semua orang. Tapi, orang terkuat pun terkadang membutuhkan seseorang saat dirinya lemah. Troy mengusap punggung Disa dengan lembut. "Jangan sedih lagi, ya. Gue jadi ikutan sedih, kalau lo sedih." "Ah, lo manis banget." Disa terkekeh. "Thanks, karena lo selalu ada buat gue, Troy." "Itu gunanya sahabat." Disa menggigit bibir bawahnya. "Hanya sahabat?" "No. Lo sahabat, adik, sekaligus pajangan yang lucu. Gimana?" Troy berusaha melucu, namun itu sama sekali tidak lucu bagi Disa. "Receh. Dasar keriting." Disa berusaha terkekeh, sambil mengacak rambut Troy yang keriting. "Sori, gue lupa selera humor lo terlalu tinggi." Troy terkekeh, lalu melepas pelukannya. "Mau lanjut belajar atau tidur?" Disa menguap lebar. "Belajar sambil tidur." "Gue nanya serius, Dis." "Oke, tidur. Belajar membuat gue mual. Good night!" Disa langsung berbaring telentang di tempat tidur Troy. "Jangan macem-macem, ya. Gue 'kan seksi." Disa terkekeh pelan sambil memejamkan mata. Troy hanya diam. Lalu melihat Disa yang sudah mulai tertidur. Troy pun menyelimuti Disa dengan selimut biru tua kesayangannya. Tentu saja Troy tidak mungkin macam-macam pada Disa, karena ia tidak bisa tertarik pada Disa. Begitu pikirnya. Bahkan, Troy sama sekali tidak menyukai perempuan. *** Disa langsung berlari dan melompat ke luar lewat jendela kamar Troy. Ini sudah setengah tujuh, dan dia belum bersiap-siap. Disa sempat mengutuk Troy tadi karena tidak mau membangunkannya lebih pagi. Bukannya tidak mau, tapi, Troy sengaja membiarkan Disa tidur. Suhu tubuh Disa cukup panas saat Troy menyentuh dahinya, jadi Troy mengira Disa sakit dan lebih baik tidak usah berangkat sekolah saja. Eh, ternyata Troy lupa kalau Disa adalah gadis yang nekad. Disa paling rajin berangkat sekolah dan tidak mengenal kata sakit. Setelah mandi dan memakai seragam, Disa terkejut melihat Troy sedang memegang tas Disa. "Lo ngapain?" "Lo belom nyiapin buku pelajaran hari ini. Dasar pemalas." Troy terkekeh. "Untung gue periksa tadi, jadi gue masukin deh buku pelajaran hari ini ke tas lo." Disa tersenyum takjub. "Lo baik banget!" pekik Disa lalu memakai tas ranselnya. "Udah siap?" "Astaga, rambut gue belom disisir! Mana sisir gue, ya?!" Disa mengacak meja riasnya, mencari sisir. Tapi, tidak bisa dia temukan. "Sini, deh...." Troy membalik tubuh Disa agar berhadapan dengannya. "Udah cantik, kok." Tangan Troy merapikan rambut Disa yang sedikit berantakan. Sayangnya, Troy tidak tahu secepat apa jantung Disa berdetak saat ini. "Udah, ayo! Kita hampir terlambat, Dis!" Troy menarik tangan Disa dan mengajaknya keluar kamar. Troy memang sudah menganggap rumah Disa seperti rumahnya sendiri, begitu juga sebaliknya. "Pagi, Tante," sapa Troy pada Julia—Ibunda Disa. "Eh, Troy. Ayo, sarapan dulu." Julia sedang mengoles selai cokelat di roti tawarnya. "Nggak deh, Bun! Kita udah hampir terlambat. Assalamualaikum!" Disa mencium tangan Julia lalu berlari untuk memakai sepatu dan keluar dari rumah. Troy mendengus geli melihat Disa yang sangat terburu-buru, "Assalamualaikum, Tante. Troy sama Disa berangkat dulu, ya." Troy ikut mencium tangan Julia. Membuat Julia tersenyum senang karena Troy sangat sopan. Bahkan lebih sopan dari putrinya sendiri. "Hati-hati ya, Troy. Jaga Disa." Julia tersenyum tenang sambil menepuk pundak Troy. "Pasti, Tan. Troy akan jagain Disa terus. Tante nggak perlu khawatir." Troy tersenyum lalu berjalan ke luar saat Disa memanggil namanya berkali-kali dengan kencang. Julia sangat yakin Troy bisa menjaga putrinya. Tapi, Julia takut kalau cinta putrinya bertepuk sebelah tangan. Troy terlalu baik, itulah yang membuat Julia takut Troy tidak bisa mengetahui perasaan Disa yang sebenarnya. "Lama banget!" gerutu Disa saat Troy baru keluar dari rumahnya. "Iya, sori." Troy pun naik ke atas motornya. "Ayo naik, Dis." Disa pun naik ke atas motor Troy lalu memeluk Troy dari belakang. Mungkin, siapa pun yang melihat mereka berdua saat ini akan berpikir kalau mereka adalah sepasang kekasih. Tapi, kenyataannya, Troy hanyalah sahabat gue. Sahabat terbaik gue yang gue cinta....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD