3

1261 Words
Anin melangkahkan kakinya penuh percaya diri di sepanjang koridor penyambung antara gedung IPS dan IPA. Langkah kakinya begitu ringan, senyum di bibirnya pun tidak sedikitpun beranjak. Sesekali Anin melambai atau menyapa siswa atau siswi yang menegurnya. Oh, siapa sih memangnya yang tidak tau Aninda Putri Baniansyah? Putri dari pengusaha muda terkenal Baniansyah Hadianputra. Keponakan dari si pemilik yayasan sekolah. Dan kekasih dari si ketua OSIS yang merangkap pula sebagai murid terpintar di SMA Angkasa, Ksatria Adiswara. "Anin," sapa seorang gadis yang tengah duduk bergerombol dengan teman-temannya begitu Anin melintas. Anin tersenyum manis. "Hai, Dis!" Anin menyapa gadis yang bernama Gladys tersebut dengan ramah. Gladys dan gerombolannya pun mulai berbasa-basi sedikit dengan Anin sebelum akhirnya gadis itu pamit untuk menuju ke gedung IPS, di mana kelasnya berada. Selepas kepergian Anin, ekspresi wajah Gladys dan teman-temannya berubah. "Najis. Sok cantik!" ucap Gladys begitu yakin Anin sudah tidak dapat mendengarnya lagi. "Karena dia anak orang kaya aja, makanya dia eksis. Coba kalau enggak, dih!" sahut salah satu gadis yang ada di sana. "Lagian apa ya yang dilihat sama Ksatria dari dia? Mau-mauan sama cewek sok princess kayak dia?" "Tau. Cantik juga standar." Anin sudah terbiasa dengan segala perhatian yang terpusat kepadanya. Sekecil apapun hal yang dilakukannya, selalu mengundang mata untuk memperhatikannya. Terbiasa menjadi pusat perhatian dan dimanja sejak kecil membuat Anin tumbuh terbiasa dengan hal tersebut. Membuat pribadinya terbentuk bagai seorang tuan putri. Dan tentunya, Anin lebih dari tau bagaimana orang-orang membicarakannya dari belakang. Bersikap seolah-olah dia adalah sahabat namun langsung mencaci makinya begitu ia berbalik badan. Dan Anin sudah terbiasa dengan semua manusia muka dua semacam mereka. Karena baginya, dirinya sendiri tidak lebih dari tuan putri bermuka dua. Anin pun sama muaknya terhadap dirinya sendiri. Namun Anin tidak peduli hal tersebut. Karena semakin banyak ia dibicarakan, semakin pula ia menjadi pusat perhatian. Dan Anin suka saat dirinya menjadi pusat perhatian. "Anin!" Langkah Anin terhenti begitu namanya dipanggil. Anin menoleh dan menemukan sosok Ksatria yang baru saja keluar dari salah satu ruang kelas. Yang pasti bukan kelas Anin. "Satria?" Anin pun menghampiri kekasihnya tersebut. "Kamu ngapain di gedung IPS?" "Tadi aku abis nemuin sekretaris OSIS, terus sekalian mau ke kelas kamu, eh malah ketemu di sini." "Iya aku baru aja dari kantin." Ksatria melirik ke sekeliling, mencari keberadaan dua sahabat perempuan Anin yang biasanya setia kemanapun gadis itu pergi. "Kamu sendirian?" Anin mengangguk, "Kea sama Zeta tadi kayaknya udah istirahat duluan. Soalnya mereka kan abis pelajaran olahraga." Ksatria pun hanya mengangguk mengerti. "Besok kita jadi nonton?" tanyanya sambil melepaskan kacamata yang bertengger di matanya. Hal yang membedakan Ksatria dan Ksatrio secara penampilan pun lenyap. Kalau tidak diperhatikan dengan cermat, bisa-bisa tidak dapat dibedakan. Anin menggigit bibirnya. "Hmm...jadi," jawabnya dengan nada tidak pasti. Ksatria tentunya bisa dengan jelas menangkapnya. "Kok kamu gak yakin gitu? Nggak diizinin sama Ayah kamu?" tembaknya langsung. Anin akhirnya mengangguk pasrah. Percuma juga disembunyikan, toh Ksatria pasti akan tau juga. Sejak awal hubungan mereka, Ayah Anin memang menjadi semacam tembok penghalang. Bukannya tidak memberi restu, hanya saja Ayah Anin terlalu protektif dan memberikan banyak larangan dalam hubungan mereka. Sejak awal jadian, mungkin hanya bisa dihitung jari berapa kali mereka kencan. "Bukan enggak, tapi belum. Aku belum sempet bilang." Ksatria menghela nafas. "Yaudah. Kalau kamu mau aku yang minta izin, aku—" "Jangan! Yang ada ribet. Biar aku aja yang izin, kamu tenang aja." Potong Anin cepat. Bel masukpun berbunyi membuat obrolan mereka harus terputus. Anin lalu memasang senyuman termanisnya untuk sang kekasih. "Udah masuk tuh, gih balik ke habitat kamu!" ujarnya bercanda. Ksatria pun terkekeh kecil, lalu ia mengusap lembut puncak kepala Anin yang hari itu tertutup kerudung putih karena kebetulan sekolah mereka mewajibkan siswi muslimnya mengenakan hijab di hari Jumat. "Yaudah aku balik ke kelas ya." Lalu Ksatria pun meninggalkan Anin dengan pipi bersemu. Tentunya pemandangan tersebut tertangkap beberapa pasang mata yang kebetulan melintasi koridor atau memang sedang berada di sana. Sebagian berdecak iri, sebagian lagi ada yang menyumpah serapah dalam hati atas ketidak adilan tersebut. Cewek sempurna bersanding dengan cowok sempurna. Benar-benar bukan perpaduan yang baik. Anin pun kembali ke kelasnya dengan senyuman kecil. Lagi-lagi dirinya berhasil menjadi pusat perhatian. *** "Nggak boleh!" ucap Ayah dengan tegas begitu Anin menyampaikan rencananya untuk nonton di akhir pekan bersama Ksatria. Anin memasang wajah cemberut. "Ih kenapa sih, Yah? Kan ayah juga udah kenal sama Satriaaa!" rengek Anin dengan nada manja. Ayah yang semula sedang berkutat dengan tablet di tangannya pun akhirnya mengalihkan perhatiannya kepada putrinya yang tengah merajuk. "Ya ayah memang kenal. Tapi bukan berarti ayah udah sepenuhnya percaya sama dia. Kenapa sih harus pake nonton-nonton bioskop segala?" Ayah kini sepenuhnya menumpukan perhatiannya kepada Anin. "Bioskop tuh rawan, kak. Banyak banget hal-hal nggak senonoh yang bisa dilakuin dalem bioskop." "But I'm not that kind of person, Yah!" seru Anin tidak terima. "Aku udah gede, udah bisa jaga diri! Lagian Satria nggak bakal macem-macem!" "Kamu tau nggak, dulu itu pernah ada orang-orang yang sengaja naruh jarum suntikan yang udah tercemar virus HIV di kursi bioskop? Ada yang diperkosa di dalam toilet bioskop? Ada yang—" "Yah!" Anin memutus ceramah ayah sebelum hal itu berlangsung lebih lama lagi. "Besok tuh aku lima bulanan sama Satria. Masa aku batal nge-date?" Anin mencoba lagi cara terakhirnya untuk merengek izin dari ayah dengan menggelayut manja di lengannya. Dan biasanya, Ayah tidak akan bisa menolak jika Anin sudah seperti itu. Ayah menghela nafas. "Fine!" Ayah pun akhirnya menyerah. Dia benar-benar tidak pernah bisa menolak keinginan putrinya. "Dengan satu syarat!" tambah Ayah sebelum Anin sempat berteriak kesenangan. Anin langsung merasakan firasat tidak enak. Karena biasanya syarat yang diajukan Ayah justru akan menyusahkan. Malahan Anin berpikir kalau Ayah sengaja membuat syarat agar Anin membatalkan keinginannya. "Apa, Yah?" "Ayah ikut kalian." Tuh kan! Anin melepas rangkulan tangannya dari lengan Ayah. "Yah, jangan bercanda lah!" "Ikut atau kalian nggak nonton sama sekali. Silahkan dipilih." Anin langsung melipat tangan di d**a. Ekspresinya menunjukkan kalau dirinya sudah super kesal. Ayah memang memanjakannya, tetapi ayah juga terlalu protektif dan posesif! Itu yang Anin tidak suka. Mata Anin langsung berbinar begitu melihat Devandra, adik laki-lakinya yang duduk di bangku kelas dua SMP melintasi sofa tempat ia dan Ayah berada. Bocah SMP itu tampak baru bangun tidur karena terlihat dari rambutnya yang berantakan dan matanya yang masih agak sipit. "Yah, gimana kalau Devan aja yang ikut aku nonton?" Devandra yang mendengar namanya disebut pun lantas menoleh. "Apaan nyebut-nyebut nama aku?" sahutnya sambil terus berjalan ke arah pantry untuk mengambil minum di kulkas. Anin langsung memberikan kode lewat mata ketika adik laki-lakinya itu tidak sengaja melihat ke arahnya. Untungnya Devandra cukup cepat tanggap dengan kode yang dilemparkan sang kakak. Namun tentunya Devandra tidak akan langsung setuju. Harus ada kesepakatan yang menguntungkannya tentu saja. Anin yang bisa melihat alis adik lelakinya yang bergerak-gerak dan bibirnya yang tersenyum licik. Kampret ini bocah! Batinnya. Anin pun memberikan kode lewat mata kalau dia akan menuruti apapun yang Devandra pinta. Devandra pun tersenyum puas. "Iya, Yah, biar aku aja yang jagain kakak. Kalau perlu nanti aku duduk di tengah-tengahnya mereka biar Kak Ksatria juga nggak bisa macem-macem." Ayah menyipitkan mata, mencoba menimang tawaran tersebut. Melihat Ayah yang masih belum yakin, Devandra pun menambahi. "Tenang Yah, aku bakalan langsung lapor kalau kakak sama pacarnya macem-macem. Aku videoin kalo perlu!" Ayah pun akhirnya mengangguk. "Oke. Tapi Ayah tetep anter kamu ke sana." Anin menghela nafas pasrah. Setidaknya hal ini lebih baik daripada tidak sama sekali. Soal Devandra pun, Anin akan membuat kesepakatan dengan adik laki-lakinya itu untuk tidak betul-betul ikut dengannya menonton. "Makasih, Yah." Anin pun memeluk Ayah dan melayangkan kecupan ringan di pipinya. Begitulah Anin, si tuan putri yang keinginannya harus selalu terpenuhi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD