"Aku…"
Dahi Juli berkerut. "Apa?"
"Lapar," sambung Rei polos.
Juli tertawa dan mencoba untuk bangkit setelah mendorong tubuh Rei. "Kenapa kamu gak bilang dari tadi, Rei. Aku punya cemilan pengganjal perut," ucap Juli mengambil tas dibawah ranjang dan mengeluarkan beberapa bungkus cemilan yang ia beli dari Sisil.
Keripik kentang, makaroni schotel dan bolu pandan. "Ini ayo kita makan, aku juga laper," ajak Juli yang juga menyetujui Rei dan mengajaknya untuk makan bersama.
Rei duduk dilantai bersama Juli lalu menyantap cemilan. Bukan tak mau memesan makanan via ojek online tapi karena Juli menolak. Diet adalah alasan Juli untuk tidak makan nasi di malam hari, ia tak mau bertubuh gemuk dan membiarkan tubuhnya langsing seperti supermodel.
Setelah memakan habis jatah cemilan untuk dua harinya, Juli menguap dan merasakan kantuk. Hari memang sudah larut tapi ia berusaha untuk tetap terjaga, karena mereka tidak sedang di rumah atau di kontrakan Rei. Tapi di hotel. Walaupun tak ada bedanya kontrakan Rei dengan hotel selama mereka berdua dalam ruangan sama, karena setan ada dimana-dimana tergantung Juli atau Rei mengendalikan hasrat mereka malam ini. Tapi bagi Juli hotel tempat yang bahaya untuk sepasang kekasih seperti mereka.
"Kenapa kamu gak pake lagi bajumu, Rei?" tanya Juli pada Rei yang masih memakai handuk.
Rei menggeleng, "Sebenarnya aku biasa tidur dalam keadaan bugil, Jul," jawabnya sambil cengengesan.
"Apa?!" Juli kaget dan spontan pikirannya melayang membayangkan Rei tidur keadaan bugil. Tiba-tiba wajahnya merah padam seperti udang rebus. "Kamu gak takut di gigit semut apa?" tanyanya lagi.
Rei duduk di bibir ranjang dengan kedua lengan terjulur kebelakang lalu menggeleng. "Gak. Kenapa? Kamu gak nyaman liat aku begini?" tanya Rei melihat Juli yang sejak tadi melihat ke arah handuknya.
Juli kaget lalu menggeleng. "Bukan gitu. Boleh aku nanya?" Ia meminta ijin ke Rei.
"Boleh. Nanya apa?"
Juli mendekatkan mulut ketelinga Rei. "Kamu masih perjaka gak?" tanyanya sambil berbisik.
Rei tertawa mendengar pertanyaan Juli walau terdengar normal. "Menurut kamu?" Ia balik bertanya tapi Juli menggeleng.
Rei mengusap pipi Juli dan pandangannya ke arah bibir. "Kamu memang cewek pertama yang aku suka. Walaupun aku pernah menyukai Anton tapi aku masih bisa jaga diri. Kamu paham?" tanya Rei, menatap serius.
Juli terdiam. "Pernah ciuman sama Anton?"
"Gak."
"Sama yang lain?"
"Gak, gak pernah dekat sama cewek kecuali kamu."
"Masih perjaka?"
"Ya." Jawab Rei lugas.
Senyum Juli mengembang, Bersyukur Rei belum jauh melangkah seperti Lucky, yang sudah melakukan semua bahkan akan menikah di Aussie dengan pasangan sejenisnya. "Syukurlah, Rei. Kirain aku kamu tidur sama tante-tante atau--"
"Gak, Jul." potong Rei. "Mereka gak menarik dan aku cuma suka kamu," Rei mendekati wajah Juli lalu mengulum bibir dan mendorongnya hingga Juli terbaring di ranjang lagi.
Entah mengapa Juli berhasrat membalas kuluman Rei yang mulai nakal, lidahnya yang menyusuri penuh kedalam mulutnya dan mengajaknya bermain lidah. Selain kuluman Rei yang nakal, mungkin suasana hotel yang menunjang membuat hasrat Juli memuncak dan tak menyadari jika tangannya sudah hinggap pada Rei junior.
Juli yang nakal sudah bangkit. Terbawa suasana romantis dan erotis seperti film kamasutra membuat jari jemari Juli mengusap pelan Rei junior yang sudah menegang keras seperti batu cobek.
Handuk Rei tersingkap kena gesekan saat menindih Juli. Ia memejamkan dan mendongak menikmati usapan lembut tangan Juli yang memegang Rei juniornya yang menegang hingga membuatnya mengerang.
"Aaah...enak, Jul," desis Rei dengan nafas cepat. Tak pernah seumur hidupnya merasakan sentuhan lembut pada Rei juniornya yang berukuran lumayan besar dan panjang seperti pria bule. Karena banyak orang menduga jika ayah Rei pria bule latin dikarenakan ibunya pernah bertugas di Jakarta. Di sebuah kawasan lokalisasi yang kerap dikunjungi para wisatawan asing.
Juli terus mengusap pelan walau berusaha untuk tidak kehilangan kendali. Bagaimanapun juga ia tak ingin melakukan s*x sebelum nikah. Ia mengakui jika pacaran memang agresif. Kissing, diraba, meraba dan hal paling ekstrim pernah ia lakukan adalah oral s*x. Tapi ia lakukan pada pacar terakhirnya, itupun baru dua kali ia lakukan.
Tapi Juli hanya ingin melakukan s*x bersama suaminya, bukan pada pacar. Karena keperawanan mudah dihilangkan tapi takkan bisa di kembalikan.
'Drrt...drrt...drrt…'
"Heh?!" Juli tertegun mendengar getaran handphone yang ia taruh di meja rias.
Rei yang kaget mendengar ujaran Juli membuka mata dan bangkit. "Angkatlah, Jul. Mungkin itu penting," pinta Rei.
Juli mengangkat tanpa melihat nama penelpon nya.
"Juliiiiii!!!"
❤❤❤
"Maaf ya, Rei. Aku harus ninggalin kamu di hotel sendiri. Dari pada aku dilaporin sama ayahku jadi anak hilang, mendingan aku ambil jalan aman aja," ujar Juli berbaring di ranjang kamarnya sambil bicara bersama Rei di handphone.
Karena takut ayahnya melapor ke kantor polisi dan sudah meminta untuk pulang, Juli terpaksa meninggalkan Rei di hotel. Cowok ganteng itu memang memilih bermalam di hotel. Selain membuktikan sesuatu pada Juli, kipas angin di kontrakannya rusak dan ia tak bisa tidur dalam keadaan kepanasan alias tanpa kipas angin.
"Iya, gak apa-apa, Jul. Itu lebih baik dari pada nyuruh satpol PP buat razia hotel cuma karena cari kamu. Kalau ketahuan kita di hotel, nanti langsung di kawinin," sahut Rei lalu terkekeh. "Emang mau kamu aku kawinin?" tanya Rei yang membuat Juli terkenang kejadian beberapa menit yang lalu saat mengusap pelan p***s Rei.
Spontan Juli menggigit bibir bawahnya lalu mengangguk. "Mau.." ujar Juli pelan lalu tertegun. "Eh? Bukan kawin tapi di nikahin," terang Juli.
Rei tertawa mendengar Juli yang kaget. "Kalau aku kerja di Jepang kamu mau nunggu aku?" tanyanya lagi tapi kali ini Rei serius.
"Ya, Rei. Tapi jangan lama-lama..aku pasti kangen kamu.." Suara Juli lemah membayangkan Rei tinggal di tempat jauh dan jauh juga dari jangkauannya. Tinggal di negara asing belum tentu senyaman negara sendiri, begitu juga perasaan Rei yang Juli takutkan akan berubah.
Membayangkan gadis Jepang yang cantik dan mempesona membuat Juli takut Rei terpesona dan melupakan dirinya di Indonesia. Belum lagi mereka tak bisa bertemu dalam waktu yang tak tentu.
Rei menghela nafas ragu. Ia juga tak tahu berapa lama akan tinggal disana dan yang pasti Juli selalu ia rindukan. "Aku juga gak tahu. Tapi bisa kerja disana salah satu cita-cita aku, Jul. Yang pasti aku usahain kita ketemuan setahun sekali dan telponan. Kamu mau kan?"
"Ya, Rei," Jawab Juli yang lemah bukan karena kurang ikhlas Rei meninggalkannya tiga bulan lagi tapi ia sangat mengantuk. "Tentu, Rei. Aku mau nunggu kamu.."
"Jul?...Jul?" Rei memanggilnya berulangkali lalu melirik jam. "Dia pasti ketiduran," Gumam Rei yang langsung menutup panggilannya.
❤❤❤
Tiga bulan kemudian, Bandara Soekarno-Hatta
Juli melepas Rei didepan pintu keberangkatan setelah memeluknya erat. Rei tak sendiri, dua teman lainnya juga turut pergi bersama Rei yang akan bekerja pada perusahaan yang sama di Jepang.
Berat buat Juli untuk berpisah dengan Rei, kekasihnya yang paling terbaik dari kekasih sebelumnya. Selama beberapa bulan pacaran, cuma Rei yang bisa sabar menghadapi keegoisan dan sikap manja Juli. Tapi bukan berarti mereka tak pernah bertengkar. Bahkan pernah seminggu lamanya mereka tak melakukan komunikasi cuma karena saling egois walau akhirnya Rei menyerah dan memulai melakukan komunikasi.
Untuk sementara waktu mereka harus berpisah. Dan Juli sudah siap dengan hubungan yang mungkin tak seindah cerita Romeo dengan Juliet yang selalu bersama walau sad ending atau Teletubbies yang selalu berpelukan. Tapi Juli yakin akan happy ending bersama Rei setelah kembali dari Jepang.
Setelah bayangan tubuh Rei menghilang, Juli pun beranjak untuk meninggalkan Bandara dan tak mau berlama-lama disana karena memang tak ada lagi urusan yang harus ia kerjakan.
"Aduh," Juli meringis merasakan sakit ketika bahu bersenggolan dengan cowok bule ganteng.
"Maaf," ujar si Bule, minta maaf. "Are you okay?" tanyanya. Bule itu berpakaian casual, hanya kemeja kotak berwana biru putih, celana jeans yang terpasang di kakinya yang panjang dan sneaker. Di tangannya sudah menggenggam buket bunga Krisan dan mawar putih.
Juli mengusap bahunya yang sakit, "Ya," jawabnya singkat. Sebenarnya Juli mau berkata kasar karena bahunya masih terasa sakit, berhubung hatinya lagi melow, tak ada hasrat Juli untuk memaki bule ganteng di keramaian.
Juli terus melangkah dan meninggalkan bule yang cuma terdiam.
"Hei kamu!" panggil si Bule setengah berteriak.
Juli menoleh sambil mengerutkan dahi. "Aku?" tanya Juli menunjuk wajahnya.
Si Bule mengangguk dan tersenyum. "Iya, kamu. Bisa bantu aku?" tanyanya lalu berjalan mendekati Juli.
"Apa?" Juli balik bertanya.
Si Bule menghentikan langkah tepat dua jengkal dari tubuh Juli sambil tersenyum lebar.
"Jadilah pacarku."