Bertemu Pertama kali

1338 Words
Hampir sejam kemudian, akhirnya mobil yang membawa Kakek Dato dan Nina pun sampai ke sebuah rumah besar, dimana keluarga Mami Rose dan Papi Ray tinggal. Rumah besar itu hanya satu lantai tapi seolah dikelilingi oleh taman dan halaman yang luas di bagian depan sampai belakang. Saat memasuki gerbang, seorang satpam segera menyambut kehadiran Kakek Dato dengan membuka kan pintu mobil dan membantu kang Rahman mengangkat Kakek Dato ke kursi roda. Nina turun perlahan dengan enggan dari mobil lalu mengeluarkan kopernya dari bagasi. Belum sampai kedepan pintu utama, pintu besar itu telah terbuka dan terlihat ada Jo, mami Rose dan Papa Ray menyambut mereka semua. “Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat,” sambut mami Rose sambil mencium tangan mertuanya, disusul papi Ray dan Jo. “Apa kabar kamu Nin? Sehat?” tanya papi Ray sambil mengelus kepala Nina sayang. Nina pun hanya tersenyum dan mengangguk. “Ayo masuk, mami tahu kamu masih lelah tapi malam ini keluarga Prita akan datang berkunjung untuk makan malam bersama kita semua, sebelum pernikahan yang tinggal 2 hari lagi.” Mami Rose bergerak cepat masuk kedalam rumah dan meminta Nina untuk membersihkan tubuhnya. “Jo, aku boleh numpang mandi gak?” tanya Nina spontan saat memasuki rumah. Ia menyadari walau rumah ini sangat besar, kamar yang mereka miliki hanya ada tiga kamar utama dan satu kamar tamu, sedangkan kamar pembantu ada dibagian belakang rumah. Tentu saja kamar utama itu terdiri dari kamar orang tua Jo, kamar Jo dan juga kamar milik Ben. Biasanya jika datang berkunjung Nina akan menempati kamar tamu, sedangkan kakek Dato akan menempati kamar Ben. Tapi kali ini akan berbeda, karena Ben telah kembali, sehingga kakek Dato akan menempati kamar tamu bersama kang Rahman yang akan menjaganya. Sedangkan Nina tak tahu harus menginap dimana. Sebenarnya ia tak keberatan jika menginap bersama ceu Ipon di kamar belakang, tapi pasti mami Rose melarangnya. Nina pun berpikir cepat, ia hanya akan hadir untuk makan malam dan setelah itu ia akan mencari hotel yang tak jauh dari sini untuk tempatnya menginap. “Mandi di kamar Ben aja Nin … masa di kamar Jo? Bagaimanapun kalian bukan muhrim. Tenang saja, Ben sejak kembali jarang tidur dirumah, ia sudah memiliki apartemen sendiri. Ia hanya tinggal jika sedang bosan di apartemen atau kemalaman,” potong mami Rose saat mendengar permintaan Nina. “Ah, nggak ah mi … gak enak nanti kalau mas Ben datang, trus mau pake kamarnya gimana?” “Sudah, percaya sama mami, gak apa-apa kok. Ayo bawa koper kamu sana, cepat mandi dan pakai pakaian yang sudah mami siapkan ya.” Mami Rose melangkah pergi dan kembali sibuk memanggil asisten rumah tangga yang lain untuk mengecek persiapan makan malam mereka. Nina pun segera menuju kebagian sudut rumah dimana kamar Ben berada. Perlahan ia membuka pintu kamar itu dan melihat ruangan tidur yang begitu luas. Tentu saja Nina sudah masuk kedalam kamar itu berkali-kali untuk membantu Kakek Dato saat menempati kamar Ben ketika menginap. Tapi ia hanya memasukinya seperlunya dan tak ada keinginan untuknya memperhatikan lebih detail. Sama seperti saat ini. Nina melihat sudah ada sebuah kaftan cantik dengan design polos tergeletak diatas ranjang, menandakan ia harus mengenakan kaftan itu. Ia pun segera membuka kopernya terburu-buru untuk mengambil handuk dan peralatan mandinya. Lalu memasuki kamar mandi milik Ben. Nina baru saja selesai mandi saat ia mendengarkan perdebatan dibalik pintu. Perlahan Nina mendekati pintu dan mendengar suara bariton seorang pria yang tak pernah didengarnya tengah berdebat dengan mami Rose. “Kenapa ia harus ada disini hari ini sih mi?! Aku tak pernah bertemu dengannya! Apalagi malam ini aku mengundang Delia untuk ikut makan malam bersama agar bisa dikenalkan pada kakek Dato. Tapi kalau ada Nina, apa yang harus aku katakan pada Delia?!” “Ben! Bagaimanapun saat ini Nina masih anggota keluarga kita! Bagaimana mungkin ia tak ada disini, sedangkan Nina juga yang menjaga kakek!” “Ya sudah, kalau gitu biar aku tak perlu hadir di acara makan malam nanti!” “Gak bisa Ben! Bagaimanapun kamu kakaknya Jo! Dia akan menikah lusa nanti, jangan bikin malu mami ya! Kamu harus hadir! Kalau kamu ingin Delia ada, ya datang saja! Nanti mami suruh orang untuk berikan tambahan kursi dimeja makan. Tolong saat ini pikirkan kepentingan Jo dulu.” Dada Nina terasa sesak, ternyata kehadirannya tak diharapkan Ben. Jangankan untuk menyapanya, untuk melihatnya hadir saja Ben sudah tidak mau. Pernikahan ini hanyalah sekedar formalitas. Nina menatap dirinya serba salah, ada perasaan takut dan canggung saat ia keluar dari kamar nanti. Nina tengah mengemas barang-barangnya dan memasukannya kembali ke dalam koper dengan terburu-buru saat seseorang membuka pintu kamar. Nina yang tengah berjongkok di lantai menatap takut sosok pria dengan tubuh tinggi yang mengenakan kemeja dan jas tanpa dasi yang menatapnya tajam. Pria itu berwajah tampan, tapi terlihat lebih keras karena hidung dan alisnya yang tajam dengan bentuk mata yang dalam. Kulitnya pun terlihat lebih gelap karena sering terkena sinar matahari dibandingkan Jo yang berwajah tampan, berkulit halus dan bersih terawat. Rambutnya yang lurus tanpa pomade membuat poninya terjatuh di kening menambah kesan dingin. Pria itu adalah Ben. “Maaf, saya numpang mandi … nanti lantainya saya keringkan lagi.” Nina tampak sangat gugup sehingga ia berkata patah-patah. Pria itu hanya menatap Nina yang terburu-buru berdiri dan menyeret kopernya hendak keluar kamar. “Kamu Nina?” tanya Ben saat Nina berjalan melewatinya. Nina langsung mengangguk sambil menunduk takut. “Tunggu!” panggil Ben saat Nina hendak meninggalkan dirinya. Nina pun berdiri mematung tanpa berani menatap kearah pria yang berjalan mendekatinya. Ben menatap Nina dalam-dalam, seolah mencari tahu bekas luka dan memar yang dulu ia lihat saat menikahinya. Tapi bekas luka itu seolah tak pernah ada dan membuat Ben merasa bersyukur bahwa Nina kini kondisinya baik-baik saja. Melihat Nina membuatnya mengingat kembali raut wajah cantik perawat sang kakek, Vivian. Vivian yang memiliki darah blasteran Indonesia - Belanda dari sang ayah membuat wajahnya sangat cantik. Kecantikan darah blasteran itu masih menurun pada Nina walau tak seperti Vivian. Nina masih mendapatkan hidung yang ramping dan mancung, muka yang tirus , mata besar dengan bola mata kecoklatan dan begitu terang juga kulit yang putih bersih walau tak seputih Vivian. Ben menghela nafas panjang, ia yakin Nina pasti mendengarkan pembicaraan dirinya dan sang ibu dibalik pintu tadi. “Koper nya mau dibawa kemana?” tanya Ben sambil menatap kearah koper yang sedari tadi digenggam erat oleh Nina. “Oh, kedepan, Mas … sebentar lagi aku pesen taksi online kok,” jawab Nina gugup. “Taksi online? Mau kemana? Bukannya kamu ikut makan malam?” “Mau ke hotel, Mas … mungkin ikut makan malamnya hanya sebentar karena masih ada yang harus dikerjakan.” Nina menyesali jawabannya yang tak karuan saat melihat Ben mengerutkan kening. Ia merasa bodoh sekali karena terlihat salah tingkah. “Sudah, tinggal saja di kamarku. Aku tak tinggal dirumah ini lagi. Aku tahu, sikap kita terasa canggung saat ini, tapi mau bagaimana lagi, kita tak pernah benar-benar jadi suami istri. Semoga kamu juga tidak keberatan jika malam ini kekasihku datang dan ikut bergabung,” Ben berbicara dengan lugas tanpa basa-basi. “Oh gak apa-apa kok, Mas … silahkan, karena memang seharusnya aku tidak berada disini dan bikin keadaan jadi rancu,” jawab Nina mulai merasa tenang karena Ben membuka pembicaraan tentang status mereka. Ben pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada Nina lalu beranjak pergi. “Mas Ben!” panggil Nina tiba-tiba. Ben pun menoleh. “Terimakasih sudah melindungiku dengan status ini … aku tak ingin menghalangi masa depan mas Ben. Aku tak pernah keberatan jika mas Ben mau memberikan talak. Silahkan talak aku mas…,” ucap Nina perlahan dan menatap Ben dengan tatapan yakin. Ben terdiam. “Hmm, mari kita bicarakan itu setelah acara pernikahan Jo selesai ya. Bersabarlah beberapa hari lagi. Aku berterimakasih karena kamu memikirkan hal itu,” jawab Ben sambil mengangguk dan tampak lega lalu pergi meninggalkan Nina sendiri. Nina berdiri mematung. Ada rasa lega di hatinya tapi juga ada sedikit rasa takut, karena bagaimanapun selama ini kehidupannya begitu nyaman dengan semua fasilitas yang ada, jika ia bercerai dengan Ben nanti, tandanya ia harus bisa berdiri sendiri. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD