Bertemu Pertama kali

1382 Words
Hampir satu jam kemudian, akhirnya mobil yang membawa Kakek Dato dan Nina pun sampai ke sebuah rumah besar, dimana keluarga Mami Rose dan Papi Ray tinggal. Rumah besar itu hanya satu lantai tapi dikelilingi oleh taman dan halaman yang luas di bagian depan sampai belakang. Saat memasuki gerbang, seorang satpam segera menyambut kehadiran Kakek Dato dengan membuka kan pintu mobil dan membantu kang Rahman mengangkat Kakek Dato ke kursi roda. Nina turun perlahan dengan enggan dari mobil lalu mengeluarkan kopernya dari bagasi. Belum sampai kedepan pintu utama, pintu besar itu telah terbuka dan terlihat ada Jo, mami Rose dan Papi Ray menyambut mereka semua. “Alhamdulilah sudah sampai dengan selamat,” sambut mami Rose sambil mencium tangan mertuanya, disusul papi Ray dan Jo. “Apa kabar kamu Nin? Sehat?” tanya papi Ray sambil mengelus kepala Nina sayang. Nina pun hanya tersenyum dan mengangguk. “Ayo masuk, mami tahu kamu masih lelah tapi malam ini keluarga Prita akan datang berkunjung untuk makan malam bersama kita semua, sebelum pernikahan yang tinggal 2 hari lagi.” Mami Rose bergerak cepat masuk kedalam rumah dan meminta Nina untuk membersihkan tubuhnya. “Jo, aku boleh numpang mandi gak?” tanya Nina spontan saat memasuki rumah. Rumah besar itu hanya memiliki 3 kamar utama dan satu kamar tamu, sedangkan kamar pembantu berada dibagian belakang rumah. Tentu saja kamar utama itu terdiri dari kamar orang tua Jo, kamar milik jo dan kamar untuk Ben. Biasanya jika datang berkunjung, Nina akan menempati kamar tamu, sedangkan kakek Dato akan menempati kamar Ben. Tetapi kali ini berbeda karena Ben telah kembali, kakek Dato akan menempati kamar tamu bersama kang Rahman yang akan menjaganya, sedangkan Nina tak tahu harus menginap dimana. Sebenarnya Nina tak keberatan jika menginap bersama ceu Ipon di kamar belakang, tetapi mami Rose pasti melarangnya. Nina pun berpikir cepat dan memutuskan ia hanya akan hadir untuk makan malam dan setelah itu ia akan mencari hotel yang tak jauh dari sini untuk tempatnya menginap. “Mandi di kamar Ben aja Nin, masa di kamar Jo?! Bagaimanapun kalian bukan muhrim. Tenang saja, Ben sejak kembali jarang tidur dirumah, ia sudah memiliki apartemen sendiri. Ia hanya tinggal jika sedang bosan di apartemen atau kemalaman,” potong mami Rose saat mendengar permintaan Nina. “Ah, nggak ah, Mi … gak enak nanti kalau mas Ben datang dan mau pakai kamarnya gimana?” “Sudah, percaya sama mami, gak apa-apa kok! Ayo bawa koper kamu sana, cepat mandi dan pakai pakaian yang sudah mami siapkan ya.” Mami Rose melangkah pergi dan kembali sibuk memanggil asisten rumah tangga yang lain untuk mengecek persiapan makan malam mereka. Nina pun segera menuju kebagian sudut rumah dimana kamar Ben berada. Perlahan ia membuka pintu kamar itu dan melihat ruangan tidur yang begitu luas. Tentu saja Nina sudah masuk kedalam kamar itu berkali-kali untuk membantu Kakek Dato saat menempati kamar Ben ketika menginap. Tapi ia hanya memasukinya seperlunya dan tak ada keinginan untuknya memperhatikan lebih detail. Sama seperti saat ini. Nina melihat sudah ada sebuah kaftan cantik tergeletak diatas ranjang yang menandakan ia harus mengenakan kaftan itu malam ini. Ia pun segera membuka kopernya dengan terburu-buru untuk mengambil handuk dan peralatan mandinya sebelum memasuki kamar mandi milik Ben. Gadis itu baru saja selesai mandi saat ia mendengarkan perdebatan dibalik pintu. Perlahan Nina mendekati pintu dan mendengar suara bariton seorang pria yang tak pernah ia dengar sebelumnya tengah berdebat dengan mami Rose. “Kenapa ia harus ada disini hari ini sih mi?! Aku tak pernah bertemu dengannya! Apalagi malam ini aku mengundang Delia untuk ikut makan malam bersama agar bisa dikenalkan pada kakek Dato. Tapi kalau ada Nina, apa yang harus aku katakan pada Delia?!” “Ben! Bagaimanapun saat ini Nina masih anggota keluarga kita! Bagaimana mungkin ia tak ada disini, sedangkan Nina juga yang menjaga kakek!” “Kalau begitu aku tak perlu hadir di acara makan malam nanti!” “Gak bisa Ben! Bagaimanapun kamu kakaknya Jo! Dia akan menikah lusa, jangan bikin malu mami ya! Kamu harus hadir! Kalau kamu ingin Delia ada, ya datang saja! Nanti mami suruh orang untuk berikan tambahan kursi dimeja makan. Tolong saat ini pikirkan kepentingan Jo dulu!” Dada Nina terasa sesak, ternyata kehadirannya tak diharapkan Ben. Jangankan untuk menyapanya, untuk melihatnya hadir saja Ben sudah tidak mau. Pernikahan ini hanyalah sekedar formalitas. Nina menatap dirinya serba salah, ada perasaan takut dan canggung jika ia keluar dari kamar dan bertemu dengan Ben. Nina tengah mengemas barang-barangnya dan memasukannya kembali ke dalam koper dengan terburu-buru saat seseorang membuka pintu kamar dengan gusar. Nina yang tengah berjongkok di lantai menatap takut sosok pria dengan tubuh tinggi yang mengenakan kemeja dan jas tanpa dasi yang menatapnya tajam. Pria itu berwajah tampan, tapi wajahnya terlihat keras karena hidung dan alisnya yang tajam dengan bentuk mata yang dalam. Kulitnya pun terlihat lebih gelap dibandingkan Jo yang berwajah tampan, berkulit halus dan bersih terawat. Rambutnya yang lurus tanpa pomade membuat poninya yang terjatuh menyentuh kening menambah kesan dingin. “Maaf, saya hanya numpang mandi, nanti lantainya saya keringkan kembali,” ucap Nina gugup dan canggung sambil menutup kopernya terburu-buru. Pria itu hanya menatap Nina dalam yang tengah tergesa-gesa berdiri dan menyeret kopernya menuju pintu. “Nina? Kamu Nina?” tanya Ben ketika Nina hendak berjalan melewatinya. Nina menghentikan langkahnya lalu mengangguk dan menunduk takut lalu kembali berjalan. “Tunggu!” panggil Ben cepat. Nina pun berhenti dan berdiri mematung tanpa berani menatap kearah pria yang berjalan mendekatinya. Ben menatap Nina dalam-dalam, seolah mencari tahu bekas luka dan memar yang dulu ia lihat saat menikahinya. Tapi bekas luka itu seolah tak pernah ada dan membuat Ben merasa bersyukur bahwa Nina kini kondisinya baik-baik saja. Melihat Nina membuatnya mengingat kembali raut wajah cantik perawat sang kakek, Vivian. Vivian yang memiliki darah blasteran Indonesia - Belanda dari ayahnya yang membuat wajahnya sangat cantik. Kecantikan darah blasteran itu masih menurun pada Nina walau tak seperti Vivian. Nina masih mendapatkan hidung yang ramping dan mancung, muka yang tirus, mata besar dengan bola mata kecoklatan dan begitu terang juga kulit yang putih bersih walau tak seputih Vivian. Ben menghela nafas panjang, ia yakin Nina pasti mendengarkan pembicaraan dirinya dan sang ibu dibalik pintu tadi. “Kopernya mau dibawa kemana?” tanya Ben menatap ke arah koper yang sedari tadi digenggam erat oleh Nina. “Kopernya mau saya simpan di depan, Mas. Biar gampang bawanya kalau nanti taxinya datang.” “Taksi? Bukannya kamu ikut makan malam? Mau kemana?” “Ke hotel mas, saya mau ikut makan malamnya sebentar saja biar gak kemalaman sampai hotel,” jawab Nina gugup dan menyesali jawabannya ketika melihat Ben mengerutkan kening. Ia merasa bodoh sekali karena salah tingkah. “Kamu tahu siapa aku?” tanya Ben tiba-tiba. Nina hanya mengangguk cepat dan menundukan wajahnya. “Tinggal saja di kamarku, aku sudah tak tinggal dirumah ini lagi. Aku tahu sikap kita terasa canggung saat ini, tapi mau bagaimana lagi? Kita tak pernah benar-benar menjadi suami istri. Semoga kamu juga tak keberatan jika malam ini kekasihku datang dan ikut bergabung makan malam bersama kita.” Nina hanya bisa diam mendengar ucapan Ben yang berbicara dengan lugas tanpa basa-basi. “Gak apa-apa kok, Mas. Saya yang minta maaf karena yang seharusnya saya tidak berada disini dan bikin situasi jadi canggung untuk mas Ben,” jawab Nina mulai merasa tenang karena Ben membuka pembicaraan tentang status mereka dengan terbuka. Ben pun mengangguk dan mengucapkan terimakasih pada Nina karena telah mau mengerti lalu beranjak pergi. “Mas Ben!” panggil Nina tiba-tiba. Ben pun menoleh. “Terimakasih sudah melindungi dengan status ini, tetapi aku juga tak ingin menghalangi masa depan mas Ben. Aku tak pernah keberatan jika mas Ben mau mengakhiri status ini. Silahkan talak aku mas,” ucap Nina perlahan dan menatap Ben dengan pandangan yakin walau dia merasa sangat gugup. Ben terdiam. “Lebih baik kita bicarakan hal itu setelah pernikahan Jo selesai tetapi aku sangat berterimakasih karena kamu mau memikirkan hal ini. Bersabarlah beberapa hari lagi,” jawab Ben pelan. Dari raut wajahnya terlihat lega, ia pun tersenyum lalu meninggalkan Nina sendirian. Nina berdiri mematung. Ada rasa lega di hatinya tapi juga ada sedikit rasa takut, karena bagaimanapun selama ini kehidupannya sudah begitu nyaman dengan semua fasilitas yang ada. Jika ia bercerai dengan Ben, tandanya ia harus bisa berdiri sendiri dan harus menyiapkan dirinya sejak kini. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD