Dunia itu sempit

2075 Words
Nina baru saja kembali dari kantor dimana ia bekerja saat ini. Mendengar Pak Willy mendapatkan project besar di Jakarta membuatnya menawarkan diri untuk membantu tim yang ditunjuk pak Willy disana. “Kamu yakin Nin? Kalau kamu ingin bantu untuk handle project ini, tandanya kamu harus pindah ke Jakarta selama beberapa bulan, karena kita akan menjadi salah satu sub vendor perusahaan kontraktor disana. Kakek kamu gimana?” “Gak apa-apa kok pak, kakek itu orangnya fleksibel. Tidak akan ada masalah kalau saya harus pindah ke Jakarta, biar dapat pengalaman baru.” bujuk Nina mencoba meyakinkan atasannya. “Tapi gajimu gak bisa saya tambah loh, tapi nanti saya berikan komisi jika project ini selesai. Biaya hidup di Jakarta cukup mahal Nin.” “Gak apa-apa pak Will, percaya sama Nina,..” “Ya sudah kalau kamu mau begitu, minggu depan kita akan berangkat untuk meeting dengan holding, setelah itu kita lihat nanti apa perlu kamu sampai pindah ke Jakarta atau tidak.” Nina pun mengangguk senang. Dengan ditugaskan ke Jakarta, kini ia memiliki alasan untuk keluar dari rumah kakek Dato. Setelah hampir satu bulan diberikan talak oleh Ben, Nina masih tinggal bersama kakek Dato. Agak sulit untuknya untuk keluar dari rumah itu, apalagi kakek Dato belum mengetahui perpisahan Nina dan Ben. Walau kakek Dato tahu bahwa pernikahan itu hanya karena menolong Nina, baginya pernikahan tetap pernikahan, tak ada pernikahan kontrak atau formalitas, tapi adalah sebuah janji sakral yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan. Nina merasa sudah saatnya ia meninggalkan keluarga Ben dan memulai hidup baru. Tinggal lebih lama bersama kakek Dato hanya akan membuatnya semakin sedih, karena pria tua itu begitu sayang padanya seperti cucunya sendiri. Kini, hanya satu orang yang bisa ia mintakan bantuan untuk membantunya memberikan alasan. Ben. Mengingat bahwa ia tak bisa menggunakan alasan pekerjaan untuk keluar dari rumah karena kakek Dato pasti tidak akan mengijinkan. Setelah mendapatkan lampu hijau dari pak Willy, Nina tak menyia-nyiakan waktunya. Malam sebelum tidur, ia segera mengirimkan pesan pendek pada Ben bahwa ia meminta waktu untuk menghubunginya. Membaca pesan singkat Nina, tak lama kemudian Ben balik menghubunginya. Nina pun langsung menjelaskan maksudnya. “Jadi kamu mau minta tolong sama aku, untuk bilang kalau aku memintamu untuk pindah ke Jakarta, begitu?” tanya Ben saat mendengarkan cerita Nina. “Iya, Mas….kalau mas Ben gak keberatan, aku mau minta tolong mas Ben untuk memintakan ijin pada kakek. Bagaimanapun kakek belum tahu perpisahan kita. Jika aku bilang pindah karena pekerjaan, dia pasti tak akan mengijinkan, tapi kalau mas Ben yang minta aku pindah, pasti ia mengijinkan.” “Kapan kamu akan pindah ke Jakarta?” “Minggu depan aku baru akan meeting dengan perusahaan holdingnya, jika semuanya lancar, aku akan segera pindah. Jika tidak jadi dipindahkan ke Jakarta sekalipun, aku harus keluar dari rumah itu mas. Semakin lama aku disana, semakin berat untukku untuk meninggalkan kakek.” Tak ada jawaban. Lalu terdengar suara Ben di ujung sana. “Baiklah, besok aku hubungi kakek. Tapi kita tak bisa menutupi terlalu lama dari kakek bahwa kita sudah berpisah Nin, aku butuh restu dari kakek juga untuk menikahi Delia.” “Iya mas, aku mengerti, maka dari itu semakin cepat aku keluar, semakin baik.” Tak lama percakapan itu berakhir. Nina pun meletakkan handphonenya dan keluar dari kamarnya untuk menjenguk kakek yang tengah berdzikir sambil tiduran. Ia hanya menatap dari balik pintu dan berdoa semoga kakek selalu diberikan kesehatan dan umur panjang karena pria itu sudah terlalu baik kepadanya. *** Minggu sore yang cerah. Nina tengah membereskan barang-barangnya di kamar, saat ceu Ipon mengetuk pintu dan memberitahu bahwa ada seseorang datang untuk bertemu dengannya. Ben. “Mas Ben?” tanya Nina saat ia melihat Ben masuk ke dalam rumah. “Aku datang untuk menjemput kamu Nin,” ucap Ben setengah berbisik. “Kenapa mesti menjemput aku?” tanya Nina balik setengah berbisik. “Kakek tak mengijinkan kamu pergi, kalau bukan aku sendiri yang menjemput.” Ben terlihat tak nyaman. Nina hanya bisa menundukan kepalanya, ia menjadi merasa tak enak hati karena merepotkan Ben. “Jadi kamu pindah hari ini?” tanya Ben cepat. Nina pun mengangguk. “Iya mas, aku sudah menyewa tempat kost-kost an untuk satu bulan. Bisa diperpanjang jika memang tak jadi ditugaskan ke Jakarta.” “Baiklah, mana barangmu? Sudah siap semua?” tanya Ben seolah tak ingin membuang waktu. “Aku bisa berangkat sendiri kok mas, barangku juga gak banyak.” “Tak apa, biar aku yang antar kamu sampai kost-an. Tapi kalau bisa sebelum magrib kita sudah harus berangkat, karena Delia tengah menungguku di hotel.” Ada perasaan tak enak dihati Nina mendengar penuturan Ben. Ia memang tak memiliki perasaan pada Ben, tapi entah mengapa mendengarkan mantan suaminya datang bersama kekasihnya membuat hatinya tak nyaman. Ia tak bisa membayangkan jika suatu hari nanti ia menikah lagi dan mengetahui bahwa suaminya memiliki kekasih, pasti rasanya sangat menyakitkan. Nina hanya mengangguk dan kembali ke kamar untuk mengemas barangnya. Untungnya barangnya tak banyak. Ia hanya membawa 2 buah koper besar. Nina memeluk kakek Dato begitu erat dan mencoba untuk tidak menangis saat berpamitan, tapi tak bisa, air matanya menetes deras. “Kenapa menangis? Seperti tidak akan bertemu kakek lagi saja,” hibur kakek Dato saat melihat Nina menangis sesegukan dan Nina semakin menangis. Andai kakek tahu, setelah hari ini ia mungkin tak bisa bertemu kakek Dato lagi, karena mereka sudah tak memiliki hubungan. “Hati-hati dijalan Ben, jaga istrimu, dia anak baik,” pesan kakek Dato pada Ben. Mendengar hal itu Ben hanya bisa mengangguk dan mencium punggung tangan sang kakek. Ia merasa akan berat untuknya bisa mendekatkan Delia pada sang kakek, karena kesan yang ditinggalkan Nina begitu dalam. Nina pun memeluk ceu Ipon dan menyalami kang Rahman sebelum menaiki mobil Ben dan meninggalkan kediaman kakek Dato. Rumah besar itu kini hanya akan jadi kenangan untuk Nina, dan kenangan itu akan sangat indah. Ben pun segera mengantar Nina ketempat kostnya. “Biar aku bawa sendiri saja, Mas.” Nina segera menurunkan koper-kopernya dari bagasi. “Sudah bisa aku tinggal Nin?” tanya Ben sambil menutup bagasi, Nina pun mengangguk. “Kalau begitu aku pamit ya, jaga diri kamu baik-baik. Kabari aku jika butuh sesuatu,” ucap Ben berpamitan lalu segera pergi meninggalkan Nina tanpa menoleh lagi. Nina pun menghembuskan nafasnya, lalu mengucap doa karena hari barunya telah dimulai. *** Nina segera mengikuti langkah pak Willy yang berjalan cepat memasuki salah satu gedung perkantoran. Matanya terbelalak saat membaca logo besar saat memasuki lobby PT. Bangun Sentosa Konstruksi. “Kantor Holding nya disini pak?!” tanya Nina tampak kaget dan ragu. “Iya betul. Kenapa Nin? Ayo cepat, kita sudah ditunggu meeting jam 10!” ajak Pak Willy tak menanggapi pertanyaan Nina dan segera melangkah menuju lift setelah menukarkan ktp di resepsionis. Nina diam, tiba-tiba kakinya terasa gemetar. Mengapa tempat ini yang menjadi holding untuk project besar pak Willy? Tentu saja, Nina tahu siapa pemilik saham terbesar di perusahaan ini. Kakek Dato. Ini adalah perusahaan yang kakek Dato rintis sejak ia muda. Kini ada Ben dan Jo di dalamnya. Menurut Jo, Ben yang berprofesi sebagai arsitek lebih suka menerapkan ilmunya dan terjun langsung menghandle project. Sedangkan Jo yang lulusan ekonomi dan bisnis, tengah membantu di dalam manajerial. Nina menelan ludah, ia bertanya-tanya mengapa Tuhan seperti bercanda padanya. Di dalam hatinya Nina hanya berharap untuk tak bertemu Ben. Tapi hari itu ternyata tak berjalan seperti yang Nina harapkan. Ia segera duduk bersembunyi di belakang pak Willy dan dua rekan kantornya mas Sayid juga mas Wisnu, tim desain interior saat ada tiga orang pria yang masuk kedalam ruang meeting dan salah satunya adalah Ben. Ben berdiri terpaku sesaat saat melihat Nina ketika hendak menyalami semua anggota tim pak Willy. Nina hanya berdiri menunduk dan menyalami Ben tanpa melihat ke arah wajahnya. Ben pun segera memulai meeting seolah tak mengenal Nina. Selama meeting berjalan Nina hanya berkonsentrasi pada pekerjaannya dan diam seribu bahasa. Tak terasa meeting itu berlangsung begitu lama dan intens selama tiga jam penuh. Waktu menunjukan pukul 1.30 siang saat mereka memutuskan untuk menyelesaikan meeting. “Mungkin mulai minggu depan, saya dan tim akan berada di Jakarta untuk survey dan preliminary design,“ ucap Pak Willy sambil merenggangkan tubuh dengan menyandarkan punggungnya. “Siap, mohon dikabari saja, sekarang mari kita makan siang dulu. Mohon maaf sudah lewat waktu makan siang,” ajak Pak Dave salah satu orang dari tim Ben sambil menatap Nina yang tampak sedikit lemas. Nina ikut berdiri dan mengikuti langkah 5 orang laki-laki yang ada di hadapannya keluar dari ruangan. Mereka semua menuju sebuah foodcourt dan restoran di lantai 5. Nina memandang takjub saat memasuki lantai 5 yang lebih mirip restoran di mall, hampir semua merk makanan terkenal dan siap saji ada disana. Ben memutuskan untuk menjamu tamu mereka di sebuah restoran chinese food. Mereka duduk di sebuah ruangan VIP dengan meja bundar yang bisa diputar membuat Nina yang sudah sangat kelaparan sibuk dan asik menikmati makan siangnya dengan mencoba semua sajian sedangkan yang lain sibuk makan sambil membahas pekerjaan. Nina menyadari bahwa Ben memperhatikannya makan dan membuatnya tersedak karena menelan terlalu cepat. Spontan Ben memanggil pelayan dan meminta untuk diberikan air mineral tambahan untuk Nina. d**a Nina terasa sangat sakit karena seolah ada yang menutup jalur nafasnya. Melihat Nina tampak sesak nafas, pak Willy segera mengambilkan inhaler dan memberikannya pada Nina untuk ia hisap. “Makan pelan-pelan Nin,” tegur pak Willy cemas. “Kamu kaya gak pernah dikasih makan aja,” goda mas Wisnu sambil menepuk-nepuk punggung Nina agar lebih tenang. “Maklum mas Ben, Nina ini seperti adik kecil kalau di kantor kami. Selain paling muda, ia juga perempuan kedua yang bekerja di kantor kita.” Pak Willy seolah menjelaskan mengapa mereka begitu tahu kebiasaan Nina. Ben pun hanya mengangguk dan tersenyum tipis sambil mencuri pandang pada Nina yang membuang mukanya ke arah jendela karena masih sedikit merasa sesak. “Minggu depan kami akan kembali, “ pamit pak Willy saat mereka semua selesai makan siang. “Kami tunggu pak, di lantai 7 sudah kami siapkan kantor untuk kalian bekerja, dilantai itu memang kami khususkan untuk digunakan oleh sub-sub yang ada dibawah kita, agar koordinasinya cepat dan lancar,” ucap pak Dave cepat. Mereka pun akhirnya berpisah. Nina pun segera mengikuti langkah pak Willy tanpa berani melihat ke arah Ben. Siang pun berganti malam. Nina baru saja selesai mandi dan sudah menguap beberapa kali karena lelah. Setelah meeting dikantor Ben, tim pak Willy mencari tempat untuk kembali meeting untuk koordinasi dan baru selesai sebelum makan malam. Kini perutnya sudah kenyang dan tubuhnya lelah, Nina tak sabar untuk segera membaringkan tubuhnya di ranjang, agar besok ia kembali segar saat pulang ke Bandung. Belum sempat ia membaringkan tubuh handphonenya berdering dari Ben yang menanyakan dimana ia menginap karena Ben ingin menemuinya sebentar. Nina pun menyebutkan nama hotel dan segera mengganti pakaian. “Ayo turun! Aku di lobby, langsung masuk mobil saja,” suruh Ben saat menghubungi Nina untuk kedua kalinya. Nina segera turun dengan terburu-buru, ia tak menyangka Ben cepat sampai, ia bahkan belum sempat mengeringkan rambutnya. Ben segera mengendarai mobilnya dan membawanya berputar-putar di jalanan sepanjang Sudirman-Thamrin. Sudah seperti yang Nina duga, Ben pasti menanyakan mengapa ia bisa bersama pak Willy dan satu tim dengannya dan apakah ia sudah mengetahui pak Willy akan mengerjakan project ini bersama. “Aku gak tahu, Mas… sungguh,” jawab Nina sedikit takut. Ben diam. “Jadi rencana kamu untuk pindah ke Jakarta untuk mengerjakan sebuah project dari kantor, adalah project ini?” tanya Ben lagi. Nina pun hanya mengangguk pelan “Kamu gak keberatan kan, kalau saat di kantor nanti kita bersikap profesional?” tanya Ben lagi. Nina pun mengangguk kembali. “Maafkan aku Nin, kalau aku tampak bawel agar tak terlihat bahwa kita pernah memiliki hubungan. Aku hanya tak ingin orang-orang tahu saja dan juga agar kita bisa bebas bersikap profesional. Jika kamu memang akan pindah, nanti aku carikan apartemen untukmu.” Ben mencoba menjelaskan maksudnya dan Nina bisa merasakan Ben sebenarnya cemas. Nina hanya diam dan melirik kearah Ben sesaat, ada sedikit rasa rendah diri di hatinya saat Ben seolah berusaha menutupi keberadaan dirinya. Apa ia terlalu buruk? Sehingga Ben seperti tak ingin memiliki hubungan dengannya? “Besok kamu kembali ke Bandung kan? Hati-hati dijalan,” ucap Ben sebelum menurunkan Nina di lobby hotel. Nina hanya mengangguk dan segera membuka safety beltnya. “Nin… maafkan aku, ” bisik Ben tiba-tiba sambil menggenggam jari tangan Nina sesaat. Nina terdiam. Ada rasa hangat yang mengalir ke sekujur tubuhnya saat Ben menggenggam tangannya. Gadis itu menarik tangannya dan segera turun dari mobil tanpa berbicara apa-apa lagi. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD