Cucu Tuan Besar

2364 Words
Hari ini adalah hari pertama Nina dan tim untuk bekerja sebagai sub kontraktor di perusahaan PT. Bangun Sentosa Konstruksi. Ia mengikuti langkah mas Sayid, mas Wisnu dan Pak Willy menuju lobby lantai 15 dimana mereka akan dibuatkan akses khusus sehingga tak perlu setiap hari menukar ktp agar bisa naik ke lantai 7. Setelah mendapatkan aksesnya, mereka berempat menuju lantai 7 diantar oleh pak Fikri salah satu Tim General Affair gedung tersebut. Saat sampai, mereka langsung bertemu lobby dan resepsionis lagi dan pak Fikri pun memperkenalkan tim pak Willy sebagai tim vendor baru yang akan menempati kantor 007. Dari resepsionis mereka berjalan menuju lorong yang di kanan kirinya beberapa pintu kaca dengan plang nama kantor beberapa vendor. Menurut pak Fikri, satu ruangan bisa muat 10 - 15 orang. Sebelum masuk kedalam ruangan, pak Fikri juga mengajak mereka terlebih dahulu ke ujung koridor yang ternyata sebuah ruangan besar untuk bersantai dan bisa digunakan untuk makan siang karena banyak bangku juga meja disana. Nina memandang dengan perasaan senang, karena ruangan besar itu tertata begitu apik sehingga terasa begitu nyaman. Ada pantry yang besar, meja bilyar, dart game, juga ada bean bag untuknya merebahkan diri. Bahkan di toiletnya pun ada kamar mandi khusus yang luas. Menurut Pak Fikri banyak vendor yang sering begadang dan tak pulang kerumah, sehingga mereka sengaja merenovasi toilet agar para karyawan bisa membersihkan dirinya. Nina pun mengintip ke dalam mushola yang terletak di sudut ruangan. Saat masuk posisi Kiblat tepat menghadap jendela kaca besar yang menampakan langit kota Jakarta yang luas. Akhirnya mereka pun masuk kedalam ruangan yang dituju. Ruangan itu menjadi sangat luas untuk mereka ber empat, dan tentu saja dengan 3 meja gambar di dalamnya kantor untuk tim pak Willy hanya cukup 6 orang saja. Didalam ruangan itu juga terdapat ruangan kecil sendiri. Mungkin ruangan itu ditujukan untuk posisi paling atas. “Kamu bekerja di dalam ruangan itu saja, Nin…,” suruh pak Willy tiba-tiba. “Loh, bukannya ini untuk ruangannya pak Willy?” “Gak usah, dalam seminggu saya hanya 2 atau 3 kali ke Jakarta. Kamu perempuan satu-satunya di ruangan ini, pasti butuh tempat untuk sholat dan istirahat. Sudah pakai saja.” Nina pun mengangguk senang dan membawa tas juga laptop nya kedalam ruangan. Setelah membereskan barang bawaan mereka, Nina ijin untuk mengambil air mineral sambil membawa tumbler. Nina pun menuju pantry dan melihat air galon di dispenser itu terlihat kosong. Tak sengaja seorang pria yang bertugas sebagai ob melewati Nina. “Mas, maaf dispensernya di mana lagi ya?” “Oalah mbak, airnya habis ya? Maaf,mbak kalau di lantai 7 ini biasanya karyawannya pada patungan untuk beli air galon. Holding jarang isiin.” ucap pria itu sambil mencari galon lain yang masih terisi di balik lemari besar. Tapi semuanya kosong. “Ya sudah kalau begitu, tunggu sebentar ya mas, biar saya ambil uang dulu untuk isi galon.” jawab Nina cepat dan segera kembali ke ruangannya. Tak lama ia kembali sambil memberikan uang 100 ribuan kepada pria itu. “Tolong isi saja beberapa galon, sisanya buat mas saja,” ucap Nina cepat. Pria itu tampak senang dan segera membawa galon-galon kosong. Ia pun masih sempat bertanya pada Nina, “Mbak kayanya orang baru ya? Mbak siapa namanya? Di ruang mana ya?” “Saya Nina, Mas… dari diruangan 007.” Sedangkan di lantai yang berbeda, Jo memasuki ruangan kerja Ben saat sang kakak tengah sibuk melihat-lihat sesuatu. “Apartemen? Bukannya kamu sudah punya apartemen?” tanya Jo bingung. “Untuk Delia? Bukannya rumahnya lebih nyaman dari pada sebuah apartemen?” tanya Jo cerewet saat sang kakak tetap sibuk browsing. “Bukan untukku,” jawab Ben singkat dan segera menutup laptopnya. “Apartemen itu untuk Nina.” “Nina?” “Iya, walau pernikahan kami berakhir, aku berniat memberikannya sebuah apartemen dan mobil agar ia tidak kerepotan tinggal di kota ini.” “Nina ada di Jakarta?” “Kamu tidak tahu? Bukannya kalian teman dekat? Nina bekerja untuk salah satu vendor kita dan mulai hari ini mereka berkantor di lantai 7” jawab Ben santai dan mengambil berkas yang diantar Jo untuk ia cek dan tandatangani. Tadi pagi Ben sempat papasan dengan pak Willy dan bercerita bahwa timnya tinggal di satu apartemen yang sama. Ben sedikit mengerutkan keningnya saat nama Nina disebut. Ia merasa tak nyaman membayangkan Nina bermalam dengan tiga laki-laki dewasa di sebuah apartemen. Di dalam hati Ben ia harus segera mencarikan tempat tinggal untuk Nina, bagaimanapun gadis itu pernah jadi bagian dari keluarganya dan ia belum pernah memberikan apapun pada mantan istrinya itu. Tanpa Ben sadari, Jo tengah terkesiap dan matanya berbinar senang. “Kamu tidak bohong kan?!” tanya Jo masih tak percaya dan kembali mengkonfirmasi ucapan sang kakak. “Untuk apa aku bohong? Kamu kok tampaknya senang sekali? Ingat ya, tak boleh ada yang tahu tentang hubunganku dengan Nina. Aku harus menjaga perasaan Delia,” pinta Ben mencoba mengingatkan adiknya. “Andai Delia tahu memangnya kenapa? Kalian tidak melakukan kesalahan.” “Akh, pokoknya tak boleh ada yang tahu. Biarkan semua ini hanya menjadi urusan keluarga kita saja!” Jo hanya diam, lalu ia segera mengambil berkas yang sudah Ben tandatangani dan segera menuju lantai 7 dimana Nina berkantor. Keluar dari lift di lantai 7 para resepsionis langsung berdiri dan menyapa Jo hormat. “Ada vendor baru ya? Di ruangan berapa mereka?” “007 pak.” Jo pun segera berjalan menuju koridor dan bertemu Nina dari ujung yang lain dengan menenteng tumbler. “Jo?” sapa Nina kaget. Jo segera menghampiri Nina dan memeluknya senang lalu mencium keningnya sayang. “Jo, apa-apaan kamu?! Ini kantor loh! Nanti dilihatin orang gak enak!” ucap Nina sambil melepaskan dirinya dari pelukan Jo. Yang dimarahi malah tampak acuh, malah mencium pipi Nina gemas. “Kamu sedang apa?” tanya Jo melihat Nina membawa tumbler kosong. “Tadi mau isi air minum, tapi galonnya kosong.” “Apa? Masa gak ada galon lain?” “Tenang saja, tadi aku sudah minta tolong ob untuk membeli air isi ulangnya. “ jawab Nina polos. Wajah Jo berubah masam, ia segera menggenggam tangan Nina dan menariknya menuju resepsionis. Nina melangkah hampir berlari mengikuti langkah Jo yang cepat dan segera melepaskan tangannya saat mereka dilihat para resepsionis. Jo mengeluarkan handphonenya dan menyuruh seseorang bernama pak Radi untuk turun ke lantai 7. Nina tak tahu apa yang terjadi tapi wajah para resepsionis yang berjumlah 3 orang itu tampak pucat. Tak lama kemudian datanglah beberapa orang berpakaian rapi dan langsung mengerumuni Jo. Jo segera bergerak kesana kemari, memasuki tiap kantor dan menanyakan apa saja yang kantor itu butuhkan. Nina hanya mengikuti dari belakang dan diam dengan perasaan bingung. Selesai inspeksi, beberapa pria itu berpamitan pada Jo dan juga Nina. Pria itu segera merangkul Nina seraya berkata, “Mbak Nina ini cucu mantu kesayangan kakek Dato, tolong semua kebutuhannya dipenuhi selama ia bekerja di kantor ini,” ucap Jo cepat. Nina segera mendelik kaget kearah Jo, tapi Jo tak peduli. “Baik bu Nina, jika ada hal lain yang dibutuhkan silahkan menghubungi saya,” ucap seseorang yang bernama pak Radi sambil mengeluarkan kartu namanya. Nina terbelalak saat melihat statusnya sebagai direktur GA Holding untuk perusahaan itu. “Kamu kok semena-mena gitu sih Jo?” tanya Nina saat mereka semua meninggalkan Jo dan Nina. “Loh, kenapa? Memang itu tugasnya mereka! Tak ada yang salah dengan sikapku,” jawab Jo santai. “Idih, baru jadi manager aja gayanya belagu.” ejek Nina sambil duduk di samping Jo. “Tapi kan, aku managernya para manager. “ “Tetap saja buatku, kamu belagu. Lagian ngapain sih pake bilang cucu mantu segala. Aku sudah bukan bagian dari keluarga kalian. Kalau mereka mencari tahu gimana? Cucu kakek Dato hanya 2, jadi…,” “Pilihannya kalau bukan istri Ben, pasti Istri aku… kayanya kamu lebih cocok jadi istriku,” “Idihhh, ngawur! kamu pikir Prita itu siapa?” “Kan bisa 2…,” “Jo, ah! Bercandaan kamu gak lucu. Sudah ah, aku kembali kerja dulu. Sudah terlalu lama aku disini,” pamit Nina mulai tak nyaman dengan ucapan Jo. “Nin,...” panggil Jo, tiba-tiba menahan tangan Nina untuk tak berdiri. “Ya?” “Kamu sudah benar-benar ditalak oleh mas Ben?” tanya Jo pelan. Nina pun hanya mengangguk perlahan. “Kamu gak apa-apakan? Tenang Nin, masih ada aku…,” ujar Jo. Nina hanya mengangguk lalu pamit dan kembali ke ruangannya. Tak sampai satu jam, banyak sekali OB yang mondar mandir di lantai 7. Mereka langsung sibuk membersihkan seluruh ruangan. Pak Willy dan yang lainnya tampak heran saat seorang OB kantor mengantarkan beberapa gelas minuman hangat dan cemilan ke ruangan. “Dari siapa mas?” tanya Pak Willy heran. “Disuruh pak Radi, untuk tim nya ibu Nina,” ucap OB tersebut dan segera keluar ruangan. Tanpa disuruh Mas Wisnu dan Mas Sayid segera menyantap hidangan yang tersedia. Sedangkan pak Willy menatap dalam ke arah ruangan Nina. “Nin…sini, banyak makanan nih,” panggil mas Sayid. Nina pun segera keluar dari ruangan dan menatap heran minuman dan makanan diatas meja itu. “Siapa yang beli, Mas? Kapan belinya?” tanya Nina heran. “Lah, katanya buat timnya mbak Nina dari pak Radi. Siapa tho Nin?” tanya mas Wisnu. “Ooo, udah makan aja…,” suruh Nina tak ingin menjelaskan. Pak Willy hanya mengambil segelas kopi panas dan kembali ke meja sambil menatap Nina dalam. Masih ingat di benaknya saat 3 tahun yang lalu, ketika pak Dato Ismail, mantan dosennya saat kuliah dulu datang ke kantornya yang kecil. Kini sang dosen telah memiliki sebuah perusahaan konstruksi besar. Dia bercerita punya cucu perempuan yang baru lulus kuliah dan membutuhkan pekerjaan. Kebetulan Pak Willy membutuhkan seseorang untuk membantunya di bidang marketing dan sales juga admin dan menawarkan posisi itu untuk cucu pak Dato. Nina pun menjadi bagian dari perusahaan kecil pak Willy. Kehadiran Nina, seolah membantu pak Willy meluaskan usahanya. Sejak saat itu banyak sekali project kecil hingga menengah yang didapatnya melalui rekomendasi pak Dato. Tentu saja pak Willy tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bekerja sebaik mungkin agar memuaskan clientnya. Sekaligus sebagai tanda terimakasih kepada pak Dato yang selalu percaya padanya sejak jaman kuliah dulu. Pak Willy selalu bertanya-tanya, siapakah Nina di dalam keluarga itu. Pertanyaannya semakin berkembang saat menghadiri pesta pernikahan Jo dan melihat Nina berdiri bersanding diantara anggota keluarga inti. Tentu saja Nina tak akan menyadari kehadiran pak Willy diantara begitu banyaknya orang yang hadir. Gadis pendiam itu begitu istimewa. *** Nina baru saja masuk kedalam apartemen miliki pak Willy bersama beberapa rekannya saat handphonenya berdering. Dari Ben. “Di mana kamu?” tanya Ben tanpa basa-basi. “Di apartemen pak Willy, Mas…,” jawab Nina sedikit berbisik takut ada yang mendengar. “Bereskan barang-barangmu segera dan pergi ke alamat yang aku kirim sekarang. Aku tunggu disana,” suruh Ben lalu memutuskan komunikasi dan segera mengirimkan sebuah alamat pada Nina. Nina menatap alamat yang Ben berikan dengan perasaan ragu. Haruskah ia pergi malam itu juga, sedangkan waktu telah menunjukan pukul 9 malam. Tak lama kemudian Nina segera berdiri dan bergegas membereskan barang-barangnya. Ben mematikan handphonenya segera setelah memberikan alamat pada Nina. Ia tengah menjemput Delia di kantornya. Wajah Delia begitu ceria saat melihat Ben, ia segera masuk kedalam mobil dan mereka berciuman sesaat. “Ayo aku antar pulang,” ucap Ben sambil mengelus wajah kekasihnya. “Aku masih ingin bersamamu. Bagaimana kalau malam ini aku menginap di tempatmu Ben?” rengek Delia manja. “Maafkan aku sayang, tapi malam ini ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Gimana kalau besok saja?” ucap Ben sambil mengecup bibir kekasihnya. Delia pun mengangguk setuju lalu sepasang sejoli itu pun segera meninggalkan basement kantor. Selesai mengantar Delia, Ben segera melajukan mobilnya untuk bertemu dengan Nina. Alamat itu adalah sebuah apartemen yang terletak tak jauh dari kantor mereka. Ben sengaja menyewakan apartemen untuk Nina disana agar gadis itu tinggal jalan kaki menuju kantor. Setelah memarkirkan mobil, Ben segera menuju lobby apartemen. Gadis itu sudah sampai dan menunggu diluar lobby sambil berdiri dengan 2 koper dihadapannya. Wajah Nina tampak bingung dan canggung saat beberapa penghuni apartemen melirik ke arahnya. Ia seperti anak hilang yang mencari tempat untuk tinggal. “Nina,” panggil Ben menghampiri Nina terburu-buru lalu segera mengambil kedua koper Nina dan mengajaknya ke dalam. Ia segera membuka lift dan menempelkan keycard dan menuju lantai yang dituju. “Mau kemana kita mas?” tanya Nina masih bingung. “Apartemenmu,” ucap Ben singkat lalu lift pun berhenti. Nina berjalan terburu-buru mengikuti langkah Ben yang cepat dengan langkah yang panjang. Ben segera membuka pintu apartemen dan menyuruh Nina untuk masuk. Nina pun menurut ia masuk kedalam dan melihat sebuah ruangan apartemen yang besar. Terdapat dua kamar tidur dan ruangan lain yang luas yang menyatu dengan dapur sederhana. Semua furniture telah tersedia. Sehingga Nina tinggal menggunakannya saja. Bahkan isi kulkasnya pun penuh. “Aku sudah menyewanya untuk satu tahun, kita belum tahu project itu selesai sampai kapan. Minimal setahun ini kamu sudah punya tempat tinggal yang nyaman dan dekat dari kantor,” ucap Ben sambil membuka jas nya dan meletakkannya di sofa, lalu dengan cepat ia mengecek semua kamar tidur, lemari juga kulkas. Nina masih berdiri mematung di sudut saat Ben selesai melakukan inspeksi. “Ngapain kamu berdiri disitu? Kamar sebelah sana adalah kamar utama. Kamu bisa tidur disitu. Sedangkan yang satu ini isinya lemari, sehingga kamu bisa meletakan semua pakaianmu dikamar yang lebih kecil,” suruh Ben. “Mas, aku…,” “Apa? Membayarnya? Tak perlu. Bagaimanapun kamu mantan istriku dan siapapun yang pernah bersamaku pasti tahu, bahwa aku mengurus wanitaku dengan baik,” “Ada yang kamu butuhkan lagi?” tanya Ben sambil kembali mengenakan Jasnya. Nina menggelengkan kepalanya cepat tanpa berkata apa-apa. Ben pun mengangguk lalu berpamitan pada Nina. “Mas…,” panggil Nina sebelum Ben membuka pintu. Ben pun menoleh dan berdiri menunggu ucapan Nina selanjutnya. Nina berjalan menghampiri Ben, dengan bingung hendak ia mengulurkan tangan sambil mengucapkan terimakasih. Tapi Ben menyangka Nina ingin memeluknya, sehingga ia segera memeluk Nina dan dengan spontan mengecup pipinya sebagai tanda bahwa ia menghargai ucapan terimakasih Nina. Nina hanya berdiri mematung. Yang biasa mengecup pipinya seperti itu hanyalah Jo, kini ada pria lain yang melakukan hal yang sama. Jantungnya berdebar kencang sampai tak sanggup berkata apa-apa lagi saat Ben akhirnya pergi meninggalkannya sendiri. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD