Ilona meletakkan ponselnya di sembarang tempat. Mendadak dia merasa pusing dengan berita yang baru saja dibacanya. Rasanya... seperti dijatuhkan dari rollercoaster. Melodi, Dion dan Sheila berada dalam satu meja di sebuah kafe. Dan judul berita yang—tentu saja tidak benar. Bagaimana bisa Dion berubah status menjadi duda beranak satu? Jangan-jangan sebenarnya Melodi memang anak Dion?
Rezz mengeong meminta ikan tuna.
Ilona mengambil ikan tuna di kulkas dan memberikannya pada Rezz yang tampak kelaparan. Dia ingin menghubungi Dion dan meminta penjelasan padanya tentang apa maksud dari berita dengan judul yang menyudutkan itu.
Ia menelisik ke masa lalu dimana dirinya begitu membenci Erick tapi tak pernah menampik pesona Erick. Rasanya dia merindukan suaminya itu. Erick sekarang sedang berada di luar negeri tepatnya di Singapura untuk keperluan bisnis. Dia membuka cabang perusahaan baru. Dia merindukan Erick.
Ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk. Seperti sebuah insting kalau istrinya merindukannya, Erick mengirimkan sebuah pesan.
Aku rindu. Kamu juga kan?
Kurva senyuman terbentuk begitu saja di bibir Ilona.
Ya.
Hanya kata ‘ya’ yang diketik Ilona di ponselnya meskipun sebenarnya dia sangat merindukan suaminya itu. Bahkan mungkin kerinduan Ilona pada Erick lebih besar daripada Erick merindukannya. Tapi dia selalu begitu. Selalu berhasil menyembunyikan perasaannya meskipun semua sudah tidak ada yang ditutup-tutupi.
Dion secara tiba-tiba masuk ke dalam rumah. Dia melemparkan jasnya di sembarang tempat lalu dia melemparkan tubuhnya di atas sofa. Ilona menatapnya dengan tatapan menyipit sekaligus menyelidik.
“Tidak ke kantor?” tanyanya seraya melipat kedua tangan di atas perutnya.
Dion menampilkan ekspresi yang tampak lelah. Arrabella benar-benar membuatnya kelelahan dengan berita miring yang menyudutkannya. Dia memijat pelipisnya.
“Buatkan aku teh, gulanya sedikit jangan banyak-banyak takut tensi naik gara-gara wanita aneh itu.” titahnya yang mirip gerutuan.
“Wanita aneh?” sebelah alis Ilona melengkung.
Dion mengangguk. Dia memejamkan mata. “Arrabella.”
“Siapa Arrabella?” tanya Ilona penasaran.
“Buatkan aku teh dulu nanti aku cerita. Tolong, gulanya sedikit saja.”
Ilona menggeleng-gelengkan kepala tak percaya. Dion hari ini tampak seperti anjing yang sensitif. Dia melangkah ke dapur. Teh dengan sedikit gula.
Ponselnya kembali berdering. Sebuah pesan dari Erick kembali menyita perhatiannya.
Minggu depan aku pulang, Sayang. Dion tidak membuat masalah di kantor kan?
Ilona memutar bola mata jengah. Tidak. Dion tidak membuat masalah di kantor, tapi dia membuat masalah dengan membawa-bawa Melodi bertemu dengan Sheila tanpa seizinnya. Dan kalau dia memberitahu Erick saat ini, maka bisa dipastikan Erick akan murka.
Tidak. Dia hanya tampak kelelahan sepanjang hari. Dion menyuruhku membuat teh. Dia ada di sini sekarang dengan wajah masam dan lelah.
Aku tidak peduli orang itu. Ilona, aku merindukanmu. Kirim poto ya.
Ilona tersenyum mendengar permintaan manis Erick. Dia memang tidak melihat ekspresi suaminya tapi dia yakin kalau suaminya sedang menunggu gambar wajah dirinya. Astaga, dia tidak memakai lipstik, bedak dan lain-lain. Rambutnya lepek dan wajahnya kucel.
Kirim cepat. Aku rindu!
Pesan mendesak dari Erick kembali membuatnya tersenyum malu-malu. Tunggu, kenapa harus malu-malu kalau Erick sudah tahu luar dan dalam diri Ilona. Bahkan suaminya itu tahu semua lekuk tubuhnya. Dan soal wajah tanpa make up, bukankah itu bukan pemandangan baru mengingat dia dan Erick menghabiskan waktu sepanjang hari dan Ericklah pria satu-satunya yang melihatnya tanpa polesan make up secuil pun saat bangun tidur.
Ilona mengarahkan kamera depan ke arahnya. Dia tersenyum tipis di hadapan kamera. Mengecek potonya lalu mengirimkannya.
Kenapa aku selalu mengagumi dirimu padahal camilan favoritmu chikki.
Ilona terkikik geli membaca pesan dari suaminya yang baru saja mendapatkan poto terkucelnya hari ini.
“Ilona kenapa lama sekali?” Dion datang dan menangkap Ilona yang terkikik seketika terdiam.
Ekspresi Ilona berubah kilat dari yang bahagia ke dingin seperti biasanya. Dia harus menjaga ekspresinya walaupun hatinya bergemuruh. Seperti remaja yang baru jatuh cinta. Bagaimana tidak bahagia kalau Erick selalu sukses membuatnya seakan menjadi satu-satunya wanita yang ada di dunia. Terdengar hiperbola tapi sungguh dikagumi satu orang pria yang dicintai lebih istimewa dibandingkan dikagumi banyak orang bahkan seluruh penduduk bumi sekalipun.
“Ini tehnya,” Ilona memberikan cangkir teh pada Dion.
Dion meraih teh cangkir dan menyesapnya perlahan. “Pas.”
“Bisakah kamu menjelaskan apa yang kamu lakukan di kafe bersama Melodi dan Sheila? Kenapa bisa ada berita seperti itu? Aku tidak tahu bagaimana Melodi merasa malu kalau ada yang memberitahunya soal berita konyol itu.”
“Ini gara-gara Arrabella.” wajah Dion yang agak tenang karena minum teh berubah kembali kesal dan lelah.
“Kamu sudah menyebut nama itu berkali-kali. Siapa dia?”
Dion menoleh pada Ilona. “Melodi ingin bertemu Sheila dan aku pikir tempat yang tepat adalah di kafe perpustakaan karena di sana ada banyak buku yang bisa dipinjam dan lagi di sana juga diperbolehkan membawa binatang peliharaan—“
“Jadi kamu dan Melodi berbohong soal pergi ke taman?” Ilona menatap kecewa kakak iparnya. Ilona melipat kedua tangannya di atas perut.
Dion mengangguk malu. “Ma’af. Itu ideku.”
“Lalu siapa Arrabella?”
“Pemilik kafe perpustakaan yang memotret kami. Dia menyebarkan di akun gosip sialan lalu memberi judul kurang ajar demi menaikkan nama kafenya.”
Ilona mencemooh. “Kamu tidak bercanda kan?”
“Tidak, Ilona.”
“Kita bisa melaporkan wanita itu—“
“Jangan!” potong Dion.
Dahi Ilona mengernyit.
Dion tidak tahu kenapa mulutnya mengeluarkan kata ‘jangan’ saat Ilona berniat melaporkan Arrabella.
“Kenapa?”
“Aku bisa membuat perhitungan yang lebih buruk dengannya.” Dion menyeringai.
***
Arrabella merasa stres karena tingkah konyolnya. Ternyata apa yang dilakukannya adalah kesalahan fatal. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana nanti karena prinsipnya adalah bagaimana sekarang. Pria beraroma mahal itu mengancamnya dan si aktris itu juga mengancamnya. Arrabella terduduk lesu di salah satu meja kafenya dengan buku catatan di atas meja.
“Aku bilang juga apa harusnya kamu tuh berpikir yang jernih sebelum kaya begini.” Seorang pria gemuk duduk di hadapannya mengenakan seragam kerja kafe perpustakaan kaus biru berkerah dan celana hitam. Dia tampak asyik mengupil.
“Heh, jangan mengupil di sini.” larang Arrabella melemparkan buku catatannya di hadapan pria gemuk itu.
“Ini kan hobi.”
“Hobi yang jorok!” keluh Arrabella. “Kalau ada pengunjung yang tahu kalau leader karyawan di sini suka ngupil sembarangan gimana?”
“Nikmati sajalah. Kan aku ngupilnya juga dibuang di tempat sampah.”
“Cih! Upil kamu tuh ditemukan di dapur, gila!”
Si pria gemuk menggerak-gerakkan bibirnya dengan aneh. “Duda yang ganteng itu emang beneran pacaran sama si aktris cantik itu?” tanya si pria gemuk polos. Sebenarnya nama pria itu Ardian. Namanya keren tapi soal fisik Ardian sedang-sedang saja. Meskipun gemuk dan hobinya jorok dia tidak jelek. Sifatnya keibuan dan penuh kasih meskipun tampak cuek. Dia selalu peduli pada Arrabella.
Ardian adalah leader karyawan di kafe perpustakaan Arrabella. Kafe ini memiliki 10 karyawan termasuk Ardian dan 25% dari pendapatan kafe perpustakaan disumbangkan ke yayasan panti asuhan. Jadi, ya mau tidak mau Arrabella harus bisa meningkatkan omset kafe. Sayangnya, saat ini omset kafenya sedang menurun. Tapi sungguh dia tidak bermaksud apa-apa.
Arrabella bertopang dagu di atas meja. “Tidak.” katanya dengan nada menyesal.
“Tapi dia benar duda kan?”
“Bukan.”
Ardian memasang ekspresi seakan dia harus menelan kecoa hidup-hidup. “Mereka ke sini mau menuntut kita?”
“Jangan banyak tanya. Diamlah.”
“Bell, kalau sampai kita dituntut terus kafe kita tutup—“
“Tidak akan. Aku akan mati-matian usahain kafe ini tetap berjalan dan omset semakin meningkat. Tenang saja.” Arrabella duduk tegap.
Jangan menangis. Jangan menangis, gumamnya.
“Ngomong-ngomong duda itu—“
“DIA BUKAN DUDA, ARDIAN!” pekik Arrabella.
“Single?”
“Tidak tahu. Tapi dia bukan duda.” Arrabella tampak geram dengan pertanyaan-pertanyaan Ardian. Sudah dijelaskan di awal kalau pria beraroma mahal itu bukan duda masih saja disebut-sebut duda.
“Dia tampan juga ya?” Ardian masih membayangkan wajah Dion. Tangannya kembali bergerak dan jari telunjuknya hendak masuk ke dalam lubang hidungnya lagi.
“Dan wangi.” Arrabella masih merasakan keharuman Dion. “Dia pasti pakai parfum super mahal.”
“Dan gagah.” Ardian tampak menikmati hobinya mengupil.
Mata Arrabella menangkap Ardian yang mengupil. Dia kembali melemparkan buku catatan kecilnya. “Jangan ngupil!”
Ardian tersentak.
“Bell!” dia tampak kesal.
“Banyak pengunjung jangan ngupil.” Arrabella melotot tajam pada Ardian.
“Oke,” kata Ardian setengah kecewa.
Ponsel Arrabella berdering. Matanya mencilak kaget saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya.
Ardian yang penasaran mengintip nama penelpon. “Ketua Gengster.” ucapnya dengan ekspresi wow.
“Kalau kakek tahu nama kontak cucunya diberi nama ‘Ketua Gengster’ dia pasti mengamuk.”
Arrabella tampak meringis. Dia mengkasiani dirinya sendiri. Kakeknya yang super duper bawel melebihi kebawelan mamahnya menelponnya. Pasti ada sesuatu yang tidak penting. Arrabella selalu merasa setiap kali kakenya menelpon pasti ada yang tidak penting. Tiga bulan yang lalu Kakek menelpon dan meminta dicarikan bawang merah di dapurnya. Hal sepele tapi kakeknya memang benar-benar gila. Kakek bilang kalau bukan Arrabella yang mencari bawang merah itu rasa bawang merah akan berbeda dan bisa jadi rasa murni bawang merah hilang. Dan sebulan yang lalu kakek meminta Arrabella membelikan cokelat dan es krim. Bayangkan membeli cokelat dan es krim padahal minimarket hanya berjarak beberapa rumah dari rumah kakek.
Arrabella menjatuhkan kepalanya di atas meja hingga pipinya mengenai meja yang terbuat dari kayu jati.
“Ya Tuhan...”
***