BAB 3

1650 Words
        Sheila mengenakan jumpsuit favoritnya dengan tambahan kardigan warna mocca. Dia siap menjawab pertanyaan para wartawan yang menunggu di belakang gedung perkantoran yang dijadikan tempat syuting filmnya. Dia melempar senyum manis yang memuakkan di depan awak media.             “Mbak Sheila apa benar Mbak menjalin affair dengan seorang duda beranak satu?” tanya seorang wartawan wanita yang berambut keriting acak-acakkan.             “Tidak. Dia teman lamaku.” jawab Sheila dengan gaya anggun yang terlalu dibuat-buat. “Saya juga ingin mengklarifikasi kalau pria itu belum menikah.” Sheila tidak ingin menambah kerumitan hidupnya dengan mengakui Melodi sebagai anaknya. Tentu saja dia akan mengakui Melodi putrinya kalau saja dia bisa kembali dengan Erick. Bukan karena dia tidak sayang pada Melodi tapi karena dia tidak ingin Melodi menjadi incaran para media yang selalu haus akan berita dan disajikan pada masyarakat yang gemar menyerap dan berargumen mengenai kehidupan orang lain tanpa mau berkaca pada kehidupannya sendiri.             “Mbak Sheila, apakah Anda sudah memiliki kekasih?” sebuah pertanyaan meluncur dari balik bibir hitam seorang wartawan yang sepertinya aktif merokok.             Sheila menggeleng seraya tersenyum. Manajer Sheila langsung menarik Sheila menjauhi para wartawan. Dia masuk ke mobil toyota alphardnya. Melambaikan tangan pada media dengan senyum yang terus mengembang. Dia suka dikejar wartawan. Dia suka menjadi pusat perhatian banyak orang. Dan dia suka kalau poto itu bisa mengangkat namanya.             Mau tidak mau harus diakui kalau sensasi sekecil apa pun bisa membuatnya merasa lebih diperhatikan media dibandingkan dengan karirnya yang dia bangun dari nol. Mungkin kalau dia mengakui kalau Melodi adalah putrinya, dia akan terus diincar para wartawan. Tapi, Sheila tidak ingin menuruti egonya hanya untuk popularitas dia mengorbankan Melodi. Putri yang dibuangnya.             Sebuah pesan dari sebuah nomor yang tidak dikenalnya.             Apa kabar, Sheilaku?”                                       Seketika Sheila merasa tercekat kala mengetahui poto profil seorang pria yang sudah lama menghilang dari dirinya.             “Aku rasa kalau kamu mengakui Melodi sebagai putrimu, kamu akan makin populer. Saran sang manajer.             Sheila menimbang-nimbang saran itu. Dia sudah tidak peduli pada pria yang mengubunginya sekarang. Dia peduli pada popularitasnya. Bagaimana dia bisa menarik simpati publik dengan membuat pernyataan yang penuh sensasi.             “Katakan pada wartawan kalau Melodi putriku dan aku akan menggelar jumpa pers di Hotel Dewa.”             Sang manajer tersenyum senang. “Oke.” ***             Kakek meminta Arrabella datang ke rumahnya malam ini untuk makan malam bersama kakek. Oh ya, rumah kakek dekat dengan sebuah hutan kecil di pusat kota. Agak aneh juga kalau ada hutan kecil di pusat kota, tapi itu sebenarnya bukan sebuah hutan lebih mirip pekarangan yang diisi pohon-pohon yang ditanami kakek sejak dia masih muda sebelum Arrabella lahir. Dan tanah yang diberi nama kakek Hutan Arrabella adalah tanah miliknya. Terkadang kakek membuka hutan kecil itu setiap hari minggu sebagai tempat rekreasi anak-anak. Di dalam Hutan Arrabella juga ada beberapa hewan seperti burung-burung gereja yang kakek tangkap dengan menggunakan jebakan. Burung-burung gereja ada di dalam kandang besi yang lumayan besar. Di sana juga ada beberapa rusa.             Arrabella tentu saja suka nama hutan kecil itu bernama Hutan Arrabella. Dia sangat tersanjung. Kakek tinggal di rumah sendirian. Dia memasak sendiri dan melakukan apa pun sendiri dengan seekor anjing siberian husky yang selalu kegirangan kalau Arrabella datang ke rumah.             Siberian huski menggonggong kegirangan saat melihat kedatangan Arrabella, dia mendekati Arrabella yang tidak terlalu menyukai anjing. “Oh, jangan mendekat! Sudah kubilang aku tidak suka denganmu, oke!”             “Selamat malam cucuku.” sapa kakek yang duduk rapih di depan meja yang diisi penuh makanan. Kakek mengenakan tuksedo dan rambut hitam keputih-putihannya diberi polesan pomade.             Arrabella memandang berbagai makanan dengan mata membelalak terkejut. Mereka hanya makan berdua kan tidak sampai penduduk satu blok.             “Banyak banget makanannya.”             “Ya, jelas. Kakek yang memasak untuk makan malam kita.”             Arrabella mendorong kursi dan duduk denga ekspresi yang enggan.             “Coba kalau nenek masih hidup kita bisa makan bertiga.” ujar Arrabella sedih mengingat neneknya.             “Coba kalau orang tuamu mau tinggal dengan Kakek di rumah sederhana ini, Kakek tidak akan menyuruhmu datang saat Kakek merindukan nenekmu.” balas Kakek dengan wajah sendu.             “Kamu tidak mau kan tinggal di sini mengurusi hutan kecil milik Kakek?”             Arrabella mengangguk sedikit. Dia tidak ingin menyakiti perasaan kakek tapi kalau tinggal di rumah kakek rasanya sama saja dengan menyerahkan diri ke rumah sakit jiwa. Kakek akan membentaknya kalau tidur malam. Kakek akan mengomelinya kalau pagi belum bangun. Kakek akan menyindirnya kalau tidak masak dan tidak menyirami tanaman-tanaman hias di teras sebelum pergi ke kafe. Kakek lebih bawel daripada neneknya.             “Kakek punya teman yang belum menikah.”             Arrabella mulai mengambil makanan di piringnya dan tidak terlalu menghiraukan ucapan kakek.             “Dia orang yang baik, peduli pada lingkungan dan terpandang. Jarang sekali ada orang yang punya visi dan misi sama seperti Kakek. Kakek sangat senang kalau saja cucu Kakek yang nakal ini bisa menikah dengannya.”             Arrabella yang sedang menenggak jus jeruk langsung tersedak.             “Uhuk-uhuk-uhuk!”                                           “Kamu ini kalau Kakek bahas soal pernikahan pasti terbatuk-batuk begitu. Kamu sudah dewasa Arrabella. Kamu sudah menginjak usia 25 tahun. Kalau kamu menikah dengan teman Kakek yang masih lajang ini, Kakek akan memberikan modal untuk memperbesar kafe perpustakaanmu itu. Kakek akan menjual perkebunan teh kakek di Bandung sana.”             Arrabella menatap kakek dengan pupil yang membulat dan bibir yang terbuka lebar.             Dia akan dijodohkan dengan pria lajang seumuran dengan kakeknya? ***         Dion mengajak Ilona dan Melodi dan juga Rezz ke sebuah restoran di kawasan Jakarta Selatan sebagai permintaan ma’afnya karena menyeret Melodi ke dunia pergosipan selebritas. Melodi terlalu antik untuk masuk di akun gosip. Dion menyesal, dia merasa teramat bersalah pada Melodi dan juga Ilona. Dan kalau Erick tahu soal ini bisa dipastikan dia akan murka dan kembali melemparkan pukulannya pada Dion.             “Aku tidak mengerti.” ucap Melodi setelah mendengar penjelasan Dion. Dia mengambil sushi dengan sumpitnya dan melahapnya.             “Ya, lebih baik kamu tidak mengerti.” gumam Dion lebih kepada dirinya sendiri.             Ilona membuka tasnya dan mengambil bedak padat buatan lokal. Berbeda dengan Amarta yang pengaggum produk luar, Ilona malah lebih suka mengoleksi pakaian, make up, skin care hingga tas lokal. Melihat perkembangan produk lokal, Ilona yakin kalau produk loka memang sebenarnya tidak jauh berbeda dari produk luar negeri. Dia melihat sekilas pantulan wajahnya di cermin.             “Aku dengar Sheila membuat pengakuan soal Melodi pada media.” Ilona memasukkan bedak padanya ke dalam tas. Kemudian dia menatap Dion seakan meminta jawaban pria itu dari apa yang dilakukan Sheila.             Dion mengangguk dengan wajah menunduk.             “Erick belum tahu?”                                           Ilona menggeleng. “Aku tidak tahu dia sudah mengetahuinya apa belum. Dia sibuk sekali di sana hingga menghubungi aku pun jarang.”             Melodi berpura-pura tidak mengerti. Dia paham akan apa yang dimaksud Ilona dan dia mengumpati ibu kandungnya sendiri yang menurutnya buruk. Melodi ragu apakah Sheila memang ibu kandungnya? Kenapa dia dan Sheila sangat berbeda jauh. Dan lagi, rambut sebahu Sheila yang meniru model rambutnya membuat Melodi semakin tidak mengkasiani ibunya sendiri.             Dion mengambil tisu dan mengusap sudut bibirnya. “Sheila memang berniat mencari keuntungan. Dia bisa saja berbicara yang tidak-tidak di depan media. Aku takut ini akan mengganggu Melodi.” Dion menatap pada Melodi yang balik menatapnya dengan ekspresi polos.             Ilona menoleh pada putrinya. Dia menghela napas perlahan. “Melodi punya orang tua, oma, om dan sahabat yang sangat sayang padanya. Dan jangan lupakan Rezz.”             Rezz sibuk memainkan kaki meja di bawah Melodi.             “Aku akan berbicara empat  mata dengan Sheila.”             “Percayalah, wanita seperti Sheila akan semakin menjadi kalau kita menanggapinya.”             “Tapi dia harus diberi pelajaran, Ilona. Apa dia tidak sayang pada putrinya?”             “Kalau dia sayang dia tidak akan melakukan hal-hal yang merugikan Melodi.” sahut Ilona yang mampu membungkam Dion. “Dia butuh kepopuleran demi mengangkat pamornya. Kamu tahu kan jaman sekarang orang yang berkarya mati-matian akan kalah dengan orang yang cuma mengandalkan sensasi.”             Sebelah sudut bibir Dion tertarik ke atas. “Tapi itu tidak akan lama, Ilona. Terlepas dari hal negatif dari Sheila, aktingnya memang tidak bisa dibilang bagus.” komentar Dion layaknya kritikus film.             “Pakailah syukurmu seakan itu adalah jas pelindungmu. Niscaya syukur akan selalu memberi kepuasan di setiap aspek hidupmu.” Melodi mengangkat wajah dan menatap Dion dan Ilona secara bergantian. “Quote dari Rumi.” Dia mengangkat Ipad pemberian Dion dan memperlihatkannya pada Dion.             “Aku suka semua quote Rumi.” ujar Melodi melahap sushi terakhirnya.             “Bayangkan kalau kamu memiliki putri yang menyukai seorang filsuf abad ke-13 dan setiap hari dicelotehi semua quote Rumi.” kata Dion membayangkan Melodi adalah putrinya dan tinggal di rumahnya. Betapa setiap perkataannya ditimpali oleh quote Rumi dan dia harus mengalah meskipun terdengar tidak nyambung dengan percakapannya dengan Ilona tapi Melodi berhak mendapatkan apresiasi karena jarang sekali anak kecil seusianya mengidolakan Rumi.             “Aku rasa Melodi punya ketertarikan pada filsafat.”             Ilona mengangkat bahu. “Oh, jangan itu terlalu berat. Tapi aku tidak akan menentukan masa depan Melodi. Aku akan menyerahkan pilihan hidup padanya. Dia pasti tahu kalau apa pun yang dipilihnya akan ada konsekuensi selama dia bertanggung jawab pada hidupnya nanti.”             “Thanks, Mam.” ucap Melodi senang karena Ilona tidak akan ikut campur pada pilihan hidupnya nanti.             “Sepertinya aku kenal wanita yang di sana, deh.” Dion mengangkat dagu menunjuk wanita dengan gaun satin tembus pandang warna hijau, tas warna merah tua dan heels warna biru tua.             Ilona dan Melodi menoleh pada wanita yang ditunjuk Dion dengan dagunya itu.             Ilona menggeleng. Wanita itu terlihat asyik berbincang dengan seorang pria yang usianya mungkin agak jauh lebih tua dari si wanita.             “Aku heran kenapa Erick bisa tertarik pada wanita seperti dia?” Dion bergidik ngeri.             “Karena saat itu Erick mudah dibodohi.”             “Ya, dan mungkin itu efek samping dari mencintai.”             “Hahaha,” Ilona terbahak.             Diam-diam Melodi memotret Sasa dan mengirimkannya pada ayahnya dengan memberi keterangan sebagai berikut:             Pap, Mam dan Om Dion menertawakan wanita ini. Dia siapa? *** Akan lagi setelah Secret Wedding selesai ya ^^ Thank you ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD