BAB 4

2159 Words
Erick menatap langit gelap lewat jendela apartemennya di Singapura. Dia menenggak gin sampai habis setelah Melodi mengirimkan poto Sasa dan bertanya soal wanita itu. Bukan itu yang membuat Erick kesal. Sasa hanya seperti angin lalu baginya. Sama sekali tidak berkesan. Dia hanya heran kenapa istri dan putrinya makan di sebuah restoran dengan Dion? Ada rasa terbakar di dadanya. Dion, kenapa kakaknya seolah mencoba mendekati Ilona dengan mengambil kesempatan di saat dia pergi? Kecemburuannya terhadap Dion beralasan. Tentu saja beralasan mengingat Dion juga pernah merebut Sheila darinya. Lalu sekarang, apakah Dion juga berusaha mengambil hati Ilona dengan membawa mereka makan malam dan Melodi dijadikan alibinya? Erick mendecakkan lidah. Haruskah dia memperingatkan Dion untuk menjauhi Ilona dan Melodi? Rasanya perlu. Tapi apakah cara mengingatkannya efektif? Itu perlu dikaji lagi. Dion bukan tipe orang yang mudah menuruti perintah orang lain. Perjodohannya dengan Ilona saja ditolak. Amarta ditentang meskipun sekarang mereka sudah kembali akur. Erick meletakkan gelas di nakas. Dia mengambil ponselnya. Dia ingin Ilona tidak menemui Dion lagi atau pergi dengan kakaknya itu. Rasanya tidak rela dan ada ketakutan yang menjalari seluruh bagian tubuhnya. Dia hanya ingin Ilona bersamanya. Semua bisa saja terjadikan? Semacam Ilona yang mulai tertarik dengan Dion karena kakaknya itu pandai sekali menarik perhatian kaum hawa dengan pesona dan kharismanya. Dia takut hal yang tidak diinginkan terjadi seperti Dion dan Ilona yang berduaan di kamar setelah Melodi tertidur. “Astaga!” ketakutan itu menyebar cepat mengaliri darahnya. Dia langsung menelpon istrinya. “Halo, Ilona?” “Ya,” sahut suara Ilona yang khas. Dingin, datar dan ala kadarnya. “Kamu dimana?” tanyanya tanpa tedeng alih-alih. “Aku baru sampai rumah.” “Dion masih di situ?” desak Erick. “Masih.” Erick semakin tidak tenang. “Suruh dia pulang.” titahnya. Dia takut kekhawatirannya menjadi kenyataan. “Kenapa?” bukannya mengiayakan, Ilona malah membuat Erick semakin kalut. “Lho, kenapa kamu malah nanya. Aku bilang suruh dia pulang.” Ilona dapat meraba kekhawatiran dan kediktatoran di dalam nada suara suaminya. Ilona tertawa kecil. “Kamu cemburu?” “Kamu lagi apa?” “Mau ganti baju.” “Ganti baju di mana?” “Ya, di kamarlah.” “Dion dan Melodi di mana?” “Melodi baru saja masuk ke kamar. Dion—“ ada jeda sejenak di sana. Jeda yang membuat Erick semakin khawatir, ketakutan dan imajinasi buruk seakan melompat-lompat di kepalanya. Yang dia bayangkan adalah kedatangan Dion ke kamar Ilona dan Ilona menyambutnya dengan mengenakan gaun transparan lalu Ilona mengangkat teleponnya dan Dion duduk di atas ranjang mereka menunggu Ilona mematikan telepon. Menikmati waktu berduaan. Saling b******u mesra dan... apalagi Melodi sudah masuk ke kamarnya. Wajah Erick merah padam. Dia mencoba menghentikan imajinasi buruk itu tapi tidak bisa. Membayangkan Dion melihat lekuk indah Ilona dan menikmati tubuh istrinya membuatnya kelabakan dan ingin segera pulang ke Indonesia. Seketika Erick teringat akan Ilona. Jangankan Dion, pria tertampan di dunia pun Ilona tak kan sudih bila lekuk tubuhnya dilihat mata-mata yang tak seharusnya. Namun, sayangnya hal itu tidak mengurangi kecemburuan Erick. “Dion sepertinya sedang membuat teh.” lanjut Ilona.             Jangan-jangan Ilona bertanya pada Dion kalau aku menanyakannya dan Dion menyuruh Ilona berkata demikian. “Iya, teh.” ulang Ilona seakan meyakinkan Erick. “Di mana?” “Hahaha,” Ilona terbahak. “Di dapurlah masa di toilet.” canda Ilona yang ditanggapi dingin oleh Erick. “Kenapa dia masih di rumah sih?” “Aku tidak tahu.” “Suruh dia pulang sekarang.” “Tidak sopan menyuruh Dion pulang sekarang. Ini masih jam 8 belum telalu malam.” “Kasih ponselnya ke Dion sekarang. Biar aku yang bicara padanya.” “Ah, sudahlah. Aku tidak mau berdebat denganmu, Erick. Jangan khawatir Dion bukan pria berengsek, Oke.” Telepon dimatikan Ilona secara sepihak. Kecemburuan Erick sampai diubun-ubun dan ini tidak bisa dibiarkan. Ilona bahkan membela Dion?! Erick menelpon Dion dan mendapati ponsel kakaknya mati. Kecemburuannya semakin menjadi-jadi. Dia menelpon Melodi dan tidak diangkat.             “Jangan-jangan Ipadnya di silent Dion.” Memikirkan Ilona bersama Dion di rumahnya dan Melodi tertidur sukses membuatnya resah dan gelisah. Sikap Ilona saat mengangkat telepon dan pembelaan istrinya pada Dion... astaga, Erick akan mencekik Dion kalau sampai hal itu terjadi. “Aku bersumpah akan membunuhnya.” ***             Arrabella mengaduk machiatto di atas gelas dengan bibir maju beberapa senti. Dia masih terngiang perihal keinginan kakeknya agar dia menikah dengan pria seumuran kakek. Kakek macam apa yang tega menginginkan cucunya menikah dengan pria seumuran kakeknya sendiri. Kemarin Arrabella menelpon ibunya dan mengatakan apa yang dikatakan kakek, lalu ibu Arrabella hanya menanggapi dengan tertawa mengejek. “Lebih baik begitu daripada kamu tidak menikah.” begitulah kira-kira yang Arrabella ingat dari ucapan ibunya. Arrabella langsung saja memilih mematikan telepon.             “Why?” tanya Ardian membawa roti bakar selai cokelat dan kopi s**u hangat menunggu pukul 10 saat kafe dibuka untuk umum. Arrabella hanya menatap pria gemuk si Ardian dengan tatapan antara meringis atau mau menangis.             “Why?” ulang Ardian melahap roti bakar selai cokelat. “Aku tadi ke rumah kakek.” “Terus?” tanya Ardian yang mulutnya dipenuhi roti dan selai cokelat. “Kakek ingin aku menikah dengan pria seumuran dia.” “Uhuk-uhuk!” Ardian tersedak. Dia langsung meminum kopi s**u hangatnya. “Bagaimana bisa?” tanya Ardian setelah terdiam sesaat. Dia hanya membayangkan bagaimana sebuah pernikahan terjadi kalau wanita muda menikah dengan seorang kakek-kakek. Yang paling membuatnya ngeri adalah wanita muda itu sahabatnya sendiri—Arrabella. “Aku makin stres nih, masalah dengan pria beraroma mahal belum kelar ini kakek mau main nikah-nikahin cucunya aja.” agaknya Arrabella agak amnesia karena sebenarnya kakek tidak menjodohkannya tapi lebih ke keinginan seorang kakek agar cucunya menikah dengan pria seperti dia. Peduli pada lingkungan. “Jangan stres, Arrabella. Aku bisa bantu kamu kok.” “Bantu apa?” kedua alis Arrabella terangkat ke atas. “Jadi saat malam pertama berlangsung, kamu harus memasukkan sesuatu ke dalam minumannya. Dan semua hartanya jatuh di tanganmu, Arrabella!” seru Ardian seakan pembunuhan sangat mudah dilakukan. “Plakkk!” Arrabella menepak bahu bergelambir Ardian. “Auwww!” dia mengaduh.             “Bodoh, tidak seperti itulah, polisi pasti tahu kalau aku pelakunya apalagi setelah dia minum buatanku.” Arrabella memberengut. IQ Ardian tidak mengalami peningkatan yang lebih baik.             Arrabella meminum machiattonya. “Memangnya kamu tidak bisa menolak?” “Bisa-bisa aku tidak diakui sebagai cucunya.” “Ya, lebih baik tidak diakui sebagai cuculah daripada menikah dengan orang yang sudah udzur.” “Plakkk!” Arrabella kembali menepak bahu bergelambir Ardian. “Sakit sih,” gerutu Ardian. “Pukul 9.30 masih ada waktu untuk melamun.” celoteh Arrabella. “Betul.” Ardian menyetujui setelah bahunya disakiti Arrabella dua kali. Secara bersamaan mereka mengangkat tangan di atas meja dan bertopang dagu. Saling menatap apa yang ada di depan mereka dengan tatapan kosong. Terkadang hidup memberikan pilihan yang sulit dimengerti. Arrabella lulus dari perguruan tinggi swasta di Jakarta dengan IPK lumayan. Dia berniat bekerja di sebuah perusahaan dibandingkan harus berwirausaha karena menurutnya menjadi karyawan lebih menjanjikan daripada menjadi pengusaha apalagi pengusaha kafe dimana usaha ini sudah menjamur di mana-mana bahkan di desa-desa pun sudah ada kafe. Sayangnya, dia ditolak. Sepuluh perusahaan menolaknya. Tiga diantaranya memberi harapan palsu dan tujuh perusahaan lain menolak Arrabella secara terang-terangan. Arrabella yang memang tidak terlalu memusingkan meminta modal pada ibunya yang memiliki tabungan untuk modal buka kafe. Sang ibu yang selalu tidak percaya akan kemampuan Arrabella mau tidak mau akhirnya memberikan setengah dari tabungannya. Lalu untuk tambahan modal, Arrabella meminta pada kakek yang memang punya banyak uang tapi pelitnya minta ampun. Setelah itu Ardian ikut berkontribusi dengan membeli meja dan kursi untuk pengunjung. Karena modal kafe yang dimiliki Arrabella lebih besar dari Ardian maka, kafe itu milik Arrabella dan Ardian dipekerjakan karena dia juga pengangguran. Ardian menjabat sebagai leader bagi para karyawan yang bekerja di kafe. “Aku bingung kenapa Sheila mengakui Melodi sebagai putrinya dan Dion mengakui Melodi sebagai ponakannya.” Mata Arrabella mencilak tajam. “Apa?” “Ya, aku tadi lihat di i********: kalau Melodi adalah putri dari Sheila.” “Tapi pria itu mengakui kalau Melodi keponakannya.” Dahi Ardian mengerut. “Jadi ada salah satu yang berbohong atau memang mereka saudara?” Arrabella mengangkat tangan. “Tunggu!” dia mencoba mengingat sesuatu. “Pria beraroma mahal itu bilang kalau anak kecil itu memang anak—Sheila.” Mereka saling menatap waspada seakan-akan mereka mengetahui rahasia yang tidak diketahui siapa pun. Rahasia besar. “Bagaimana kalau kita jadi detektif.” saran Ardian. “Tidak maulah! Aku tidak mau ikut campur urusan orang lain.” “Hah?” Ardian menampilkan ekspresi melongo seakan Arrabella baru saja bilang tidak bisa makan nasi. “Bukannya kamu yang sudah membuat masalah dengan mengirimkan poto mereka ke akun gosip dan itu secara langsung ikut campur urusan orang lain bahkan melebihi kata ikut campur.” Arrabella terdiam. Dia tidak berkutik. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD