01 : Alika Naila Putri

1863 Words
Aku melihat dengan pandangan kosong ke arah sofa model tiga dudukan berwarna coklat s-usu yang sekarang sedang digotong dan akan dibawa masuk ke dalam lift barang oleh dua orang pria berbadan kekar. ”Sofa yang tadi itu, barang terakhir yang harus diangkut ya, Kak. Kak?” Entah sejak kapan aku mulai termenung. Hingga sentuhan pada lenganku menarik kembali kesadaranku kembali. Aku reflek langsung menoleh. ”Ya?” ”Sofa yang tadi itu, barang terakhir yang harus diangkut ya, Kak.” Aku hanya mengangguk saja. ”Oke. Sudah tidak akan merubah alamat pengiriman dan penerima barangnya 'kan, Kak?” Aku menggeleng pelan. Masih memperhatikan pria di depanku yang sedang menganggukkan kepala. ”Semua barang sudah kami angkut. Jadi pekerjaan kami sudah selesai ya, Kak. Silahkan Kakak tanda tangan disini.” Aku menunduk, menatap ke arah telunjuk pria itu di atas kertas nota. Aku mengangguk singkat, lalu mengambil pulpen dan langsung aku tandatangani nota berwarna pink itu. ”Terima kasih karena telah mempercayakan pekerjaan ini kepada perusahaan kami, Kak.” Aku mengangguk lagi. ”Terima kasih kembali, Mas. Oh iya, sebentar.” Aku merogoh saku celana jeans dan menyelipkan beberapa lembar uang seratus ribuan yang sebelumnya sudah kulipat menjadi dua bagian ke tangan kanan karyawan dari perusahaan jasa pengangkut barang yang sengaja aku sewa hari ini. ”Ini ada sedikit tambahan buat beli rokok Mas sama teman-teman Mas yang lain.” kataku sambil tersenyum kecil. ”Wah! Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya, Kak.” Aku tersenyum. ”Iya, sama-sama, Mas.” ”Kalau begitu saya permisi. Mari, Kak.” Kepala pria itu mengangguk sopan. Aku mengangguk singkat sebagai balasan. ”Mari, Mas.” Aku langsung menutup pintu lagi ketika pria-pria yang tadi mengangkut barang sudah berjalan menjauh meninggalkan unit apartemen dimana aku sedang berada sekarang. Aku berbalik dan berjalan lebih masuk ke dalam ruangan yang merupakan sebuah unit apartemen bertipe loft. Berhenti di tengah-tengah ruangan, aku mengedarkan pandangan ke seluruh sudut unit apartemen milik Radit yang sudah seperti rumah kedua untukku selama satu setengah tahun ke belakang ini. Password unit apartemen Radit saja menggunakan kombinasi angka tanggal bulan dan tahun ulang tahunku. Aku bisa bebas keluar masuk kapanpun, sesuka hatiku. Meski pemiliknya sedang tidak berada di unit apartemen. Mungkin saja setelah ini selesai, Radit akan segera menggantinya. Keadaan unit apartemen Radit sudah aku kembalikan lagi menjadi seperti semula saat pertama kali aku memasukinya. Aku tidak ingin meninggalkan jejak tentang diriku di dalam unit apartemen ini. Aku hanya bisa tersenyum getir ketika tiba-tiba saja suara gelak tawaku bersama Radit di dalam unit apartemen ini menggema memenuhi telingaku. Aku pernah merasakan sebentuk kebahagiaan bersama dan karena Radit. Memori-memori manis yang pernah terjadi dan aku lakukan bersama Radit di dalam unit apartemen sederhana ini, berputar-putar di kepalaku silih berganti bagaikan rol rusak. Kuhela nafas berat. Setelah ini aku harus berjuang untuk bisa mengembalikan perasaanku seperti sebelum jatuh pada seorang Radithya Wira Sapura. Aku melangkah masuk ke salah satu dari dua kamar yang ada di unit apartemen milik Radit ini. Kamar di lantai bawah yang biasa aku tempati ketika terpaksa harus menginap setelah aku lembur. Aku menjatuhkan bo-kongku di tepi ranjang dengan kasar, membuat tubuhku sedikit memantul. Aku melirik ke arah kasur, lalu ku usap-usap permukaannya yang sedang terpasang sprei berwarna abu-abu muda dengan motif polos yang sudah menampung badan lelahku selama ini dengan kedua tangan yang berada di samping paha sebelah kanan dan kiriku. Mataku tiba-tiba saja memanas. Bahkan sudah mulai berkaca-kaca. Aku yakin sudah tidak banyak debu lagi di kamar ini. Karena aku rutin membersihkan apartemen Radit setiap akhir pekan. Ah, sial! Teriakku frustasi dalam hati. Aku kerjap-kerjapkan kedua mataku dan perlahan menundukkan kepala dalam-dalam, lalu aku menghembuskan nafas panjang untuk melegakan d-ada yang sesak. Aku meremas pinggiran ranjang dengan kuat. Mencoba untuk tidak menangis saat percakapanku dengan ayah di meja makan sebelum akhirnya aku memutuskan untuk bertandang ke unit apartemen Radit kembali terngiang di kepalaku. Flashback on. ”Kak Al?” ”Hmm?” jawabku hanya bergumam saja. Aku melirik ayah dari balik gelas. Aku sedang minum sekarang. ”Ayah boleh tanya sesuatu, Kak?” Aku mengangguk singkat. ”Kakak sudah putus dengan Nak Radit, ya?” tanya ayah dengan suara pelan yang terkesan sangat hati-hati. Nyaris tersedak. Buru-buru aku tandaskan air putih dalam gelas yang masih tersisa setengah. Meletakkan gelas kaca di atas meja makan dengan sedikit kasar. Hingga menimbulkan suara 'tak' keras. Aku menggeleng pelan. ”Belum kok, Yah. Kenapa Ayah tanya gitu, sih?” Aku bingung ketika ayah malah menatapku dengan sorot yang … entahlah aku tidak bisa mengartikannya dengan mudah. Seperti ada bongkahan batu besar di tenggorokanku, aku jadi kesulitan menelan saliva ku sendiri. ”Ke-- napa, Yah? Apa ada yang salah?” Aku mengernyit saat melihat ayah menghela nafas beliau dengan sangat berat. ”Tadi--” Aku mengangkat kedua alis naik. Lagi-lagi ayah menghela nafas berat. Seolah apa yang akan beliau ucapkan adalah sesuatu yang sangat berat juga. Perasaanku tiba-tiba saja berubah menjadi tidak enak menunggu hal berat apa yang akan disampaikan oleh ayah. ”Ayah sama bunda, waktu tadi pagi belanja di mall-- gak sengaja lihat Nak Radit lagi jalan berdua sama perempuan, Kak. Dan ... mereka kelihatannya sangat mesra. Agak aneh kalau untuk sebuah pertemanan.” Deg! Pupil mataku seketika melebar tanpa bisa kucegah. Kedua tanganku sudah mengepal kuat-kuat. Aku coba menekan dalam-dalam emosiku. Kenapa? Kenapa, orang tuaku juga harus ikut terlibat dalam masalahku ini? Menjadi saksi kelakuan br*engsek Radit di belakangku? Aku berusaha tersenyum senatural mungkin. ”Yang ayah lihat memang temannya Radit, Yah. Sekarang banyak yang kayak gitu.” Tidak ada balasan dari ayah. Karena sepertinya, penjelasan yang aku berikan tidak begitu berhasil untuk meyakinkan beliau. Tampak sangat jelas dari senyum yang ditunjukkan ayah. Senyum beliau itu, canggung. Kelihatan sekali kalau beliau sedang memaksakan untuk tersenyum. dan percaya padaku. ”Ta-- tadi Radit sempet pamitan sama Kakak mau pergi kok, Yah. Emm ... Ini, Kakak juga mau pergi nyusulin Radit ke mall.” Kali ini aku yang memaksakan tersenyum di depan ayah. ”Kak?” Aku langsung menipiskan bibirku. ”Iya, Yah.” ”Akhiri. Kalau hanya saling menyakiti. Gak perlu banyak mikir.” Aku mengangguk tanda bahwa aku mengerti dengan maksud dari ucapan yang ayah sampaikan. "Ya sudah. Kakak mau siap-siap dulu ya, Yah. Takut telat 'kan gak enak nanti sama Radit sama temannya kalau harus nunggu Kakak lama." Aku berlalu meninggalkan meja makan setelah menerima persetujuan berupa anggukan kepala dari ayah. Saat aku melewati kamar orang tuaku, aku melihat bunda yang sedang berdiri di ambang pintu dengan kedua tangan beliau memegang bingkai pintu. Aku memaksakan seulas senyum mencoba menghapus raut khawatir yang tercetak jelas di wajah bunda. Flashback off. Aku menghela nafas berat satu kali lagi. Hari ini akan kulalui dengan perasaan yang luar biasa berat dan saat aku mengangkat kepala, pandanganku tidak sengaja menangkap keberadaan sebuah koper berukuran besar berwarna silver. Tadi, setelah aku masukan semua barang-barang pribadi milikku, tanpa bersisa ke dalam koper. Koper itu memang sengaja aku letakkan di dekat pintu kamar. Aku mengeluarkan smartphone. Menatap lamat-lamat foto yang sudah lama aku pasang sebagai wallpaper. Fotoku ... berdua bersama Radit. Aku menyentuh layar smartphone ku dengan telunjuk tangan kiriku, aku usap pelan di tempat yang menunjukkan wajah Radit. Di foto itu, kami, aku dan Radit berdandan lain dari yang biasanya. Aku mengenakan dress terbaik yang aku miliki, sementara Radit, dia mengenakan suit sederhana tanpa dasi. Kami tersenyum manis, menatap tepat ke arah kamera. Terlihat sangat bahagia merayakan hari jadi kami yang pertama. Kini aku tersenyum getir. Waktu itu Radit menyiapkan sebuah kejutan untukku. Makan malam romantis. Dia juga memberiku J.ESTINA Flolet Necklace. Reflek aku meraba kalung yang hingga di detik ini masih melingkar di leherku, tidak pernah aku lepaskan. Aku akui, Radit pintar dalam memilih. Teringat dengan momen manis itu lagi, aku hanya bisa tersenyum pahit. Aku menggulir layar smartphone, lalu kubuka menu galeri setelah sebelumnya aku lebih dulu mengganti wallpaper smartphone ku dengan gambar bawaan dari merek smartphone yang kugunakan ini. Aku membuka salah satu folder dengan gambar tanda hati warna merah yang aku gunakan sebagai nama folder. Folder itu, aku buat khusus untuk menyimpan foto-fotoku bersama dengan Radit. Kulihat sekilas foto-foto kami, aku tandai semua foto kami yang baru aku sadari ternyata lumayan banyak. Gambar tong sampah di pojok kanan atas aku ketuk sekali, setelahnya aku ikuti setiap perintahnya hingga foto-fotoku bersama Radit yang mengisi dalam folder itu berhasil terhapus semua, tak bersisa lagi. Aku menekan  tombol di samping kanan smartphone, lalu layarnya langsung berubah menjadi gelap. Aku berdiri dan berjalan dengan gontai keluar dari kamar sambil menyeret koper. Aku meletakkan koper di depan kamar, di samping pintu agar nanti saat urusanku dan Radit sudah selesai, aku bisa secepatnya pergi tanpa direpotkan masalah koper. -falling(iloveyou.)- Aku beranjak meninggalkan dapur dengan secangkir kopi instan di tangan kananku. Aku berjalan menuju ke spot di unit apartemen Radit yang menjadi favoritku. Aku duduk di salah satu dari dua kursi eames patchwork, kursi santai bergaya klasik yang dipisahkan oleh coffee table. Hanya spot ini saja yang masih ada hubungannya denganku, yang sengaja kusisakan. Sebelumnya bagian ini hanyalah space kosong, lalu setelah aku mengusulkan untuk meletakkan dua kursi eames ini, kini spot ini berubah menjadi tempat favoritku dan Radit saat kami ingin bertukar cerita atau hanya sekedar bersantai menikmati pemandangan malam sambil melepas lelah setelah seharian bekerja. Aku melihat gedung-gedung tinggi di hadapanku itu dari balik dinding kaca dengan pandangan kosong. Perlahan aku mengarahkan pandanganku ke jalanan di bawah sana, yang tampak ruwet dengan kendaraan-kendaraan yang tak bisa bergerak akibat terjebak macet. Pemandangan biasa di kota-kota besar setiap harinya dan akan semakin parah di akhir pekan seperti sekarang. Aku menunduk menatap air kopi di dalam cangkir yang masih mengepulkan asap dengan nanar. Badanku seketika menegang saat aku mendengar suara khas tombol kunci password pintu yang sedang ditekan. Tak lama setelah itu, aku mendengar suara klek dan pintu pun terbuka beriringan dengan suara cekikikan dari sepasang manusia berbeda jenis kelamin itu. Kuremas cangkir yang sedang kupegang dengan kedua tanganku erat-erat. Rasa panas yang menjalar di seluruh permukaan cangkir itu harusnya membuat kulit telapak tanganku terasa terbakar, tapi aku tidak merasakan sama sekali. Aku rasa ... hatiku lah yang sudah mengambil alih semua rasa terbakarnya.  Suara cecapan yang berasal dari penyatuan dua bibir, dan desahan yang terdengar menjijikan di telingaku itu mengisi seluruh ruangan. Aku berdiri setelah aku merasa yakin dapat mengendalikan emosi. Aku harus tetap tenang. Aku tidak sudi terlihat lemah di depan dua manusia tidak tahu diri itu.  Ketika aku berbalik badan, pemandangan yang langsung aku lihat di depan sana adalah ... sepasang kekasih yang sedang saling melumat bibir dan bertukar saliva dengan posisi si laki-laki duduk memangku si perempuan. Such a nice view. Hatiku teriris. Menimbulkan rasa perih yang semakin terasa nyata. Kenapa mereka berdua begitu tidak tahu malu? Tidak tahu tempat? Tidak tahu waktu? Bahkan sekarang baru lewat dari siang bolong?! Kenapa Radit menjadi laki-laki seperti itu? Atau itu memang sosok Radit yang sesungguhnya? Aku bertanya-tanya sendiri dalam hati. Mereka berdua ber-cumbu di ruang tamu. Ya Tuhan! Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Aku sudah muak dengan mereka berdua. Rasanya ... aku ingin memuntahkan isi perutku di depan wajah pasangan me-sum itu agar mereka tahu seberapa besar rasa jijik ku. ”Radithya?” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD