02 : Radithya Wira Saputra

2275 Words
”Radithya?” Suara itu ... Aku langsung membuka kedua mataku. Mataku membelalak. Tubuhku juga menegang. Di sana, aku melihat Alika sedang berdiri memperhatikan kegiatanku tanpa berkedip. Aku langsung mendorong Tansy, yang harus aku akui sebagai ... selingkuhanku turun dari atas pangkuanku. Ya, aku sudah menduakan Alika. Aku jahat bukan di mata kalian? Tapi aku punya alasan sendiri untuk perbuatan curangku ini. Aku berdiri dengan canggung. ”Al ...” suaraku sedikit bergetar. Aku lihat Alika mengalihkan pandangannya dari Tansy padaku. ”Hmm,” jawab Alika hanya bergumam dengan bibir mengulas senyum, tapi tidak dengan matanya. Aku bisa melihat ada luka dan kecewa di sorot mata jernih itu. Dadaku berdenyut nyeri melihatnya. Entah kenapa? ”Bisa kita bicara berdua, Radit?” tanya Alika. Bisa kudengar getar di suaranya. Aku menoleh pada Tansy yang sedang mengusap bahuku pelan. Perlahan aku alihkan mataku pada Alika. Bibirnya masih setia mengulas senyum. Ya Tuhan ... Aku mengangguk singkat. Tapi … Aku mengernyit saat melihat Tansy berjalan menaiki tangga yang akan langsung terhubung dengan kamarku. Glup! Aku menelan saliva ku susah payah. Tidak! Tahan! Kalian jangan berpikir yang iya-iya dulu! Aku sendiri juga tidak tahu kenapa dia malah pergi ke kamarku dengan santainya, seolah-olah itu adalah hal yang sudah menjadi kebiasaan. ”Sejelas itu.” Aku langsung berpaling pada Alika. Dia memang bergumam lirih, tapi kedua telingaku yang masih normal ini bisa mendengar yang dia ucapkan. Aku menggeleng pelan. Tidak. Bukan seperti itu. Sial! Dengan terburu-buru, aku berjalan menghampirinya yang sedang membalikkan badan untuk membelakangiku. Nafasku tercekat di tenggorokan. ”Al ...” cicitku nyaris tak terdengar seperti tikus tergencet saat aku sudah berdiri tepat di belakang Alika. ”Beratkan rasanya pacaran sama aku?” tanya Alika. Kedua alisku reflek menukik tajam. Aku bergeser dengan gerakan hati-hati dan berhenti saat aku sudah berdiri di samping Alika. ”Maksud kamu apa, Al? Aku … sama sekali gak ngerti.” tanyaku tidak mengerti. ”Berat apa? Aku gak ngerasa berat.” Sampai beberapa menit berlalu, Alika belum juga mengeluarkan suaranya. Dalam diam, aku menunggunya. Selama itu aku pandangi setiap inci wajah cantiknya dari samping. Dadaku seperti dihujam ribuan pisau tajam. Sakit rasanya melihat dia seperti kehilangan setengah jiwanya. Tatapannya kosong. Hanya lurus ke depan. Alika menghela nafas pelan … sekali. Nyaris tak terdengar. Aku langsung memasang sikap waspada dengan apa yang akan dia ucapkan. ”Aku pernah bilang sama kamu sebelumnya 'kan? Aku pernah hancur, Radit.” suara Alika akhirnya terdengar. Kepalanya bergerak pelan. Dia menoleh padaku. Pandangan kami bertemu dalam satu garis lurus. Aku menelan saliva ku sepelan mungkin. Aku menggeleng saat melihat manik mata yang biasanya jernih itu kini berkaca-kaca dan semua itu akibat dari ulahku. ”Tapi kamu, tetep memaksakan.” Alika menghela nafas berat dengan mata terpejam. ”Waktu itu kamu bilang--” Alika menelan salivanya kasar, kemudian membuka mata. Aku berkedip saat pandangan kami kembali bertemu dengan kabut bening di kedua bola matanya. ”-- Kamu yang akan menyatukan kepingan-kepingan hatiku yang sudah hancur agar kembali utuh. Aku percaya sama kamu. Karena itu, aku membuka hatiku biar kamu bisa masuk.” Deg! Jantungku mencelos turun sampai ke perut. Aku melihat Alika membuang mukanya dariku. Dia memutuskan pandangannya dariku dan menundukkan kepala memandangi isi cangkir. Tatapanku turun ke arah kedua tangannya yang sedang memegang cangkir berwarna hitam itu terlihat gemetaran. Ku ulurkan tangan kananku hendak memegang tangan Alika. Tapi serentetan kalimat yang keluar dari bibir manisnya itu ... seketika membekukan sendi-sendi tubuhku dan secara otomatis menghentikan gerakan tanganku. Tanganku menggantung di udara. Aku berdiri kaku. ”Tapi hari ini--” Alika menyusut hidungnya. ”-- Kamu dengan telak menghancurkan hatiku yang hampir selesai kamu satukan lagi sampai menjadi serpihan debu. Gak bersisa.” Aku menjilat bibir bawah sambil menurunkan tanganku yang sudah cukup lama menggantung di udara. ”Aku punya alasan, Al.” kataku tak mau kalah dan dia hanya tersenyum miring terlihat sinis di mataku. Jeda sebentar. Aku memperhatikan Alika yang sedang mengangguk. ”And your reason is ...” tanya Alika sambil mengangkat wajah dan memutar tubuhnya menghadap padaku. ”Kamu terlalu cuek bebek. Sikap kamu yang kayak gitu itu yang buat aku gak yakin sama perasaan kamu sama aku. Aku ... ragu kalau kamu juga cinta sama aku. Aku gak mau-- cinta sendiri, Al.” Alika mengangguk kecil. ”Okay. Let's say, all of this, is totally my fault. But ... Apa kesalahanku itu akan membenarkan perbuatan kamu?” Pertanyaan yang dilontarkan Alika dengan santai itu, tak mampu aku jawab. ”Gak sama sekali, Radit.” Alika menjawab pertanyaannya sendiri. Dia menggelengkan kepalanya. ”Selingkuh. Selingkuh itu pilihan, Radit. Bukan kecelakaan atau ketidaksengajaan. What the hell is going on here, Radit. Just say you wanna break up with me. Setelah selama ini, kenapa baru sekarang ini, kamu mempertanyakan perasaan aku sama kamu?!” Alika meninggikan suaranya. Aku hanya bisa diam menatapnya yang sedang menatapku juga dengan tatapan sendu yang baru pernah aku lihat. ”Kenapa diam, Radit? Jawab aku.” ”Aku ... cinta sama kamu, Al.” akuku. Dia mengangguk. ”So do I. I love you too, Radit. Kalau gak, gak mungkin aku mau habisin waktu satu setengah tahun ini sama kamu?!” balasan Alika membuat lidahku kelu. Aku tatap matanya mencoba menyelami kedalamannya. Tidak aku temukan setitik kebohongan di sorot mata itu. Dia jujur saat mengatakan dia juga cinta padaku. Lalu apa? ”Kalau kamu cinta sama aku, kenapa kamu gak bisa sedikit aja berubah jadi kayak yang aku mau, Al?” Alika menghela nafas lelah bercampur frustasi. Sama, aku pun juga merasa lelah dan frustasi dengan hubungan ini. Lelah dengan hubungan yang menurutku berat sebelah. Dia mengatupkan bibirnya untuk beberapa saat. ”Oke. Kamu mau aku berubah seperti apa, Radit?” ”Kamu lebih perhatian lagi sama aku, Al. Jangan terlalu cuek lah.” jawabku tak acuh. Alika mengangguk. ”Baik. Perhatian yang kayak mana, Radit?” Aku berdecak malas. ”Ck! Kamu gak sadar, atau pura-pura gak sadar?” Alika diam membuatku semakin ingin memuntahkan unek-unek yang aku tahan selama kami pacaran. ”Kamu jarang banget tanya aku lagi dimana, sama siapa. Aku udah makan atau belum, kamu juga gak peduli. Kamu biasa aja waktu aku gak kabarin kamu. Kamu gak ada cari-cari aku, walaupun berjam-jam aku sama sekali gak ada ngabarin kamu. Kamu juga jarang telpon aku.” Aku akhiri ucapanku. Jika aku teruskan akan sangat panjang daftar kecuekan Alika. Alika mengatupkan bibirnya membuatku bisa merasa menang untuk sesaat. Dia menatapku dengan tatapan yang tak bisa ku mengerti artinya. Aku angkat kedua bahuku tak acuh. ”Hanya itu?” tanyanya enteng membuatku langsung melotot tajam. Ha.nya i.tu katanya! ”Hanya itu kamu bilang, Al?” Aku terkekeh pelan menjurus ke sinis. Aku tidak habis pikir apa yang ada di otak cantiknya. ”Terus? Bukannya kamu udah dapat semua itu dari Tansy? Apa lagi yang kamu mau dari aku? Kamu haus perhatian rupanya?” Kata-kata yang sudah di ujung lidahku, kembali aku telan bulat-bulat. ”Radit--” Alika menjeda ucapannya. Aku menatapnya dengan sebelah alis terangkat naik. Dia menatap ke dalam mataku lekat-lekat. ”Cinta itu gak menuntut sebuah perubahan.” Alika membasahi bibirnya. ”Sekarang coba kamu sebutkan, satu hal yang aku tuntut dari diri kamu untuk kamu berubah demi aku?” Aku diam. Mencoba mencari-cari jawaban untuk pertanyaan Alika. Satu hal. Seharusnya ... gampang untukku jawab, tapi sayang, ku tak bisa menemukannya. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya ... lagi. ”Belum bisa menemukan jawabannya, hm?” Aku menggeleng lemah sebagai jawabannya. Dia menggeleng samar. ”Sampai kapanpun kamu nyari, kamu gak pernah bisa menemukan jawabannya, Radit. Karena gak ada satu hal pun dari diri kamu yang aku tuntut untuk berubah.” Aku mengernyit. Iya kah? ”Yang aku yakini. Aku gak bisa mengharapkan orang lain termasuk kamu--” Alika menunjuk tepat di dadaku. ”-- untuk berubah hanya dengan AKU sebagai alasannya.” Alika menekankan pada kata ‘aku’ sambil menarik tangannya. Aku mendengarkan tanpa menyelanya. ”Bahkan sebagian orang adanya Tuhan juga enggak bisa merubah apapun.” ”Tapi aku gak minta kamu merubah semuanya, Alika ...” Aku memanjangkan nada di ujung kalimat. Aku benar-benar frustasi sekarang. Aku meremas rambutku sendiri dengan kedua tangan. ”Sedikit aja?!” Aku memindahkan kedua tanganku di bahu Alika. ”Aku mau kamu perhatian sama aku. Apa itu sulit, Al? Apa aku salah minta itu dari kamu, Al? Kalau kamu cinta sama aku, itu gak akan jadi sulit dan gak jadi salah ‘kan?” Alika menyugar rambut panjangnya ke belakang. Cantik. Dia sangat cantik. Perhatianku teralihkan. Aku paling suka jika rambut halus Alika digerai seperti sekarang ini. ”Mencintai bukan tentang merubah dan berubah. Tapi tentang menerima dan penerimaan, Radit.” kata Alika pelan. Aku mengarahkan pandangan pada wajah frustasinya. Hey! Jangan kalian pikir aku tidak frustasi. Aku juga sama frustasinya. Alika menurunkan kedua tanganku dari bahunya. ”Mau kamu cari sampai ke ujung dunia pun. Kamu gak akan bisa menemukan pasangan yang sempurna, Radit. Karena di dunia ini, gak ada hal yang sempurna. Carilah pasangan yang bisa disempurnakan dan menyempurnakan kamu.” Aku menghela nafas jengah. ”Mau kamu apa sekarang, Al?” ”Kamu berharap aku minta apa, hm? Minta kamu memilih aku atau Tansy? Kamu minta aku memohon supaya kamu memilih aku? Gak, Radit.” Alika menggeleng dengan ketegasan di wajahnya. ”See, disini memang cuma aku yang punya perasaan sama kamu.” Alika memejamkan kedua matanya sesaat. Dia menatapku dengan sorot datar dan wajah dingin. ”Apa yang bisa kamu harapkan lagi dari hubungan yang udah melibatkan orang ketiga, Radit? Apa jaminannya, kalau kamu gak selingkuh lagi? Kalau kamu memang benar sama perasaan yang kamu junjung tinggi itu. Perasaan yang kamu bangga-banggakan itu-- kamu gak akan pernah memasukkan orang lain ke hati kamu disaat sudah ada aku.” Aku menggigit gigi sendiri. ”Atau selama ini aku salah paham? Gak pernah ada aku di hati kamu? Karena bahkan aku yang kamu anggap gak punya perasaan sama besarnya dengan kamu masih menjaga hati kamu, menjaga kepercayaan yang-- yang entah kamu kasih atau gak. Aku tutup pintu hatiku buat laki-laki lain yang mau masuk.” Bibirku terkatup rapat. Aku merasa terbungkam dengan kalimat panjang yang Alika lontarkan. Dia membungkuk meletakkan cangkir di atas coffee table. Betapa bodohnya aku yang baru menyadari kalau sudah sedari tadi tangan Alika terus saja menggenggam kuat cangkir couple kami. Dari cangkir itu masih mengepulkan asap tebal hingga asap itu nyaris saja hilang. Aku melirik ke arah tangan kanan Alika dan bisa aku lihat telapak tangannya yang halus tampak merah warna yang muncul ketika terbakar. ”Al--” ”Kita selesai sampai di sini, Radit.” Deg! Bibirku langsung terkatup rapat. Aku perlahan mengangkat wajah dan manatap pada Alika. ”Thanks for everything, and I'm so sorry for everything I have done to you, Radit. Aku gak peduli dulu kamu memang kayak gini atau gak. Yang aku peduli sekarang kamu jadi br*engsek karena sikapku.” Aku hanya diam. Menunggu kalimat Alika selanjutnya. ”Sebenernya, aku mau mengakhiri hubungan ini dengan alasan klasik. Sibuk atau beda visi misi.” Alika mengedikkan bahunya tak acuh. ”Tapi sayangnya, ayah bundaku udah terlanjur ngeliat kalian berdua tadi. Kamu sama Tansy-- lagi jalan di mall.” Nafasku tercekat di tenggorokan. Apa tadi katanya? ”Mumpung masih ada kesempatan. Aku mau minta maaf dulu sama kamu, sebelum orang tua atau adikku bertindak kurang menyenangkan kalau ketemu sama kamu.” ”So, urusan kita udah selesai. Aku pamit sekarang. Semoga kamu bahagia dengan perhatian yang Tansy kasih. Jangan ulangi lagi kesalahan kamu. Berhenti jilat ludah kamu sendiri, Radit.” Aku mengeraskan wajah. Aku tidak suka dengan kalimat terakhir yang Alika ucapkan. ”Maksud kamu apa? Putus, ya, putus aja. Jangan ngomong seolah-olah kamu adalah korban di sini, Al.” kataku keras. Terdengar nyaris seperti sedang membentaknya. Dia tertawa dan itu membuatku semakin tersinggung. ”Al--” ”Apa?” tantang Alika. ”Kamu gak ingat? Kamu bilang apa sama Kenzie dulu? Terus kakak ipar kamu?” ucapan Alika lagi-lagi berhasil membungkam mulutku. ”Hmm ...” Alika geleng-geleng kepala. Dia menepuk pelan bahuku sebanyak dua kali, lalu berjalan sambil menyeret koper yang baru aku sadari keberadaannya keluar unit apartemenku. Aku menatap punggung Alika yang semakin berjalan menjauh. Tidak terlihat sedikitpun kesedihan di wajahnya saat satu setengah tahun hubungan kami akhirnya berakhirnya. Jadi apa aku salah, kalau aku menganggap hanya aku yang berjuang di dalam hubungan ini? ”Honey ...” Aku perlahan menunduk menatap puncak kepala Tansy yang sudah memeluk pinggangku erat, tapi entah kenapa, aku merasa ada yang salah membuat kedua tanganku enggan bergerak dan terasa berat membalas pelukannya. ”Sekarang kita bisa bebas ketemu kapan aja dan dimana aja, honey. Kita gak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Aku juga udah capek. Bagus Mbak Alika sadar dan milih pergi.” Aku hanya diam. Tidak aku hiraukan semua ucapan Tansy. Berpaling pada pintu unit apartemenku, aku terkejut bukan main. Jantungku berdetak dengan kencang. Pupil mataku melebar ketika tatapanku langsung saja bertemu manik mata milik Alika yang masih berdiri di dekat pintu sedang menatap lurus ke arah mataku. Dia ... tersenyum dengan amat manis sebelum membalikkan badannya dan keluar dari unit apartemenku. ”Honey?” Tansy memanggilku dengan suara amat lembut sambil menjauhkan wajahnya dari dadaku. Mungkin dia merasa bingung karena aku tidak bersuara menanggapi ucapannya. Dia mendongak menatapku tanpa melepas pelukannya. ”Kamu ... kenapa?” Aku menunduk menatap Tansy. Menatap matanya dalam. Apa ini yang aku mau? Bisa bersama Tansy dengan jalan menyakiti Alika? ”Kenapa?” Aku menggeleng. ”Aku antar kamu pulang sekarang.” kataku sambil melepaskan kedua lengan Tansy. Membebaskan pinggangku dari rengkuhannya. Aku melangkah keluar dari unit apartemenku tanpa menunggunya. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD