03 : Alika Naila Putri

1641 Words
Aku masih berdiri di depan pintu unit apartemen Radit, yang baru saja ku tutup itu. Aku tundukkan kepalaku dalam-dalam. Ya Tuhan! Kenapa rasa sesaknya baru terasa sekarang? Sampai aku harus bernafas lewat mulut. Kuhela nafas berat sambil menumpukan telapak tangan kiriku pada daun pintu untuk menopang tubuhku yang tiba-tiba saja lemah. Sedangkan, tangan kananku meremas dadaku sebelah kiri. Kuletakkan kepalaku di atas punggung tangan kiriku Merasa sudah lebih tenang dan mampu mengontrol emosiku, perlahan aku benarkan posisi berdiri ku. Aku tatap lagi pintu unit apartemen Radit sekilas. Aku langsung berbalik dan berjalan meninggalkan apartemen Radit sambil menyeret koper. Tapi ternyata aku salah, baru melangkah beberapa langkah saja dadaku kembali terasa sesak. Hatiku nyeri. Sakit sekali rasanya. Tuhan ... sekarang dia sudah menjauh dariku. Ku tekan dadaku dengan tangan kanan dan kiriku secara bergantian mencoba menahan agar air mataku tak jatuh sambil sesekali membuang nafas lewat mulut. Aku tarik nafasku dalam-dalam, lalu ku jilat bibir bawahku dan ku hembuskan nafas panjang lewat mulut. Tuhan ... Terima kasih, telah mempertemukanku dengan Radit. Berkat ini aku jadi tahu orang yang ku harapkan belum tentu jadi milikku. Bahwa sumber kekecewaanku terletak di diriku sendiri yang menggantungkan harapan terlalu tinggi pada Radit. Pada akhirnya air mataku mengalir deras, aku menahan suara isakanku. Aku menangis tanpa suara. Ku pegang leherku yang sudah kosong, tak ada lagi kalung pemberian dari Radit yang melingkar di sana. Lift yang membawaku turun ke lobby apartemen mulai bergerak, aku melangkah mundur sampai punggung ku menempel pada dinding besi yang dingin. Berpaling ke samping kanan, aku tatap angka berwarna merah yang berganti-ganti untuk menunjukan posisi lantai gedung. Lelah. Pelan-pelan aku duduk berjongkok berpegangan pada koperku. Ku tatap lantai lift sejauh pandangan kedua mataku dengan pandangan kosong sebentar. Ku rogoh handphone di dalam saku X2 Torque Pants ku. Tut ... tut ... tut ... ”Ck!” aku berdecak keras. ”Angkat, set*n!” gerutuku pada layar handphone ketika sambungan teleponnya terputus, tanpa ada jawaban dari orang gila di seberang sana. Aku coba menelpon satu kali lagi. Tut ... tut ... tu-- ”Apa!” Reflek ku jauhkan handphone dari telingaku ketika orang di balik telepon berteriak keras. ”Jemput gue.” jawabku datar. ”Gak-gak! Gue gak bisa, Al. Gue ada jadwal ngedate. Laki lo kemana? Minta jemput laki lo sana?! Jangan ganggu acara gue.” ”Bacot lo! Oke. Gue share lokasi gue sekarang.” ”Heh! Betina! Gue tadi bilang kagak bisa!” ”Iya, udah. Jangan ngegas?! Udah gue share loc itu. Lo cek dulu makanya.” ”Gue kagak bisa, anj--” Tut! ”Bodo amat!” Aku tutup sambungan telepon secara sepihak. Tidak aku hiraukan orang yang menjadi lawan bicaraku tadi sedang memberikanku sumpah serapah sekarang. Aku datang ke apartemen Radit dengan taxi online. Aku masih waras untuk tidak terlibat dalam kecelakaan yang disebabkan berkendara di saat pikiran dan juga hatiku kacau setelah mengakhiri hubunganku dengan Radit. Ku masukkan lagi handphoneku ke dalam saku celana. Aku tepuk-tepuk wajah ku supaya tidak ada lagi jejak air mata di kedua pipiku. Aku ikat ekor kuda rambut panjangku dengan scrunchie yang ada di pergelangan tangan kiriku. Ting! Lift berdenting. Aku langsung berdiri. Setelah pintu kotak besi itu terbuka, aku segera melangkah keluar. Kutipiskan bibirku sebagai respon dari tatapan iba yang dilayangkan resepsionis apartemen Radit yang cukup ku kenal. Dia pasti sudah lebih dulu tahu tentang perselingkuhan Radit. Makanya dia tidak kaget lagi ketika melihat aku membawa koper. Aku terus berjalan hingga ke halte yang letaknya tidak jauh dari gedung apartemen Radit. Tatapan-tatapan penasaran dari pejalan kaki lainnya ketika melihatku menyeret koper besar, tak ku pedulikan. Ku tebalkan mukaku. Aku duduk di ujung kursi halte karena hanya bagian itu saja yang kosong. ”Lama amat, dah?!” gerutuku dalam hati sambil melipat kedua tanganku di depan d*da. Aku hela nafasku kasar sambil memandang ke arah langit yang sudah gelap. ”Gilak! Langit aja serasa ikut berduka sama nasib malang gue.” Aku geleng-geleng kepala. Tin ... tin ... tin ... Mendengar suara kencang klakson aku langsung berpaling ke depan. Netraku langsung menangkap keberadaan mobil yang sudah sangat familiar di mataku. Aku diam. Tak beranjak. Tin ... tin ... tin ... Pengemudi mobil hitam itu kembali menyalakan klakson sembarangan. Memekakan telinga sekali. ”Berisik woy!!” ”Baru punya mobil segitu doang belagu lo!!” ”Orang kaya baru ya, lo!!” Tin ... tin ... tin ... ”Berisik, ngab!!” Aku terkekeh kecil ketika mendengar u*****n-u*****n dari beberapa laki-laki yang berada di halte yang ditujukan untuk pemilik mobil dengan kapasitas empat penumpang itu. Merasa kasihan, aku langsung beranjak berdiri. Lalu berjalan sambil menyeret koperku mendekati mobil itu. ”Set*n betina lo, Al!” umpatnya langsung ketika aku baru saja membuka pintu jok depan di samping jok pengemudi setelah meletakkan koper di jok belakang. Aku hanya tertawa geli. Langsung masuk ke dalam mobil. ”Al?” ”Apaan?” tanyaku malas. Menatap pada laki-laki yang sedang menatapku dengan alis bertaut. ”Kenapa lo?” tanyaku sambil memasang seat belt. ”Lo habis diterjang badai La nina? Anjir! Muka lo badai banget.” ”Jalan, Bar.” elakku. Aku sangat tahu kondisi make-up di wajahku sudah tidak beraturan lagi. Jadi wajar kalau dia mengucapkan sindiran yang sengaja dibuat halus. Ku sandarkan punggung dan kepalaku pada sandaran jok. Ku tatap jalanan di depanku kosong. Aku sadar Akbar, laki-laki di sampingku ini terus saja melirik singkat ke arahku. ”Bar?” ”Hah? Apa?” jawab Akbar gelagapan seperti Radit yang tadi kupergoki. Dia berdehem pelan. ”Kenapa?” Aku langsung menoleh dan menatap Akbar yang sedang melirik singkat ke arahku. ”Jangan mainin hati cewek lo. Rasanya sakit, Bar. Serius gue.” Akbar melirik singkat padaku. ”Ngigo lo?” tanyanya sambil terkekeh yang terdengar menyebalkan di telingaku. ”Gue serius. Lo gak lihat betapa berantakannya muka gue.” Akbar kembali melirik singkat ke arahku. Dia mengangguk. Kuhela nafas berat. ”Gue putus, Bar.” ”Jangan bercanda! Gue lagi nyetir. Yang ada ntar kita masuk rumah sakit. Sayang juga mobil gue yang baru lunas. Belum masukin asuransi.” ”Ya, bacot! Radit ada main sama Tansy. Gue pergokin mereka tadi. Pakai mata kepala gue sendiri. Sial banget 'kan gue, Bar?” kataku sambil berpaling ke arah depan. ”Kok, gue nangis lagi, sih?” kataku kesal sendiri sambil ku usap pipiku dengan sedikit kasar. "Padahal gue udah nangis banyak tadi. Gara-gara lo, nih. Ah!” dumel ku sambil menyusut ingus. ”Lo mau kemana sekarang?” tanya Akbar dengan suara datar. Kutatap Akbar lagi. Bisa ku lihat dia mencengkeram erat setir mobil hingga menonjolkan urat-urat tangannya. ”Bar, kenapa, dah lo?” ”Lo mau kemana, Al?” tanya Akbar lagi dengan datar dan kini ditambah dingin. Dia bahkan tidak melirik barang sedetik. ”Al?” ”Iya Bar, iya. Lo kenapa, sih? Gue yang baru diselingkuhi, kenapa lo yang sewot.” ”Iya itu mana?” ”Mall.” ”Ya?!” ”Mall. B*dek, sih lo?!” ”Bacot ngab!” -falling(iloveyou.)- Tidak ku hiraukan wajah masam Akbar yang sedang ku jadikan tas belanjaan. Setelah sedikit memotong dan mengganti style rambutku sebagai ajang buang sial, ku putuskan untuk sedikit menghamburkan uang dengan berbelanja baju. ”Pegang yang bener, Bar. Entar jatuh semua bajunya. Kotor. Besok mau gue pakai langsung.” ”Dih! Jorok. Gatel. Cuci dulu lah!” ”Diem deh, lo?! Apaan, sih lo sewot mulu perasaan. Kacung dilarang ngebacot, ya!” Akbar memutar kedua bola matanya malas. Dia kalah telak jika sudah menyangkut jabatannya. ”Ck! Ck! Ck! Cuma lo doang Al, Al. Yang habis putus langsung buang-buang duit.” kata Akbar yang berjalan di belakangku. ”Ya, gue harus gimana sih, Bar?” tanyaku sambil memilah-milah kemeja. ”Nangis? Gue udah.” ”Sedekahinlah ke gue.” ”Lampu merah masih banyak. Kolong jembatan masih ada, Bar. Gue juga kalau mau sedekah pilih-pilih.” Ku lirik Akbar yang kini tengah memainkan alis menatap ke arah seorang perempuan memakai baju kekurangan bahan. Tipe Akbar sekali. Pantas dia tidak menghiraukan ucapanku. Dasar buaya! Ku letakkan satu kemeja lagi di atas tumpukan, bergabung dengan baju-baju lain dengan kasar membuat dia gelagapan menahan tumpukan baju. ”Heh?! Apaan itu maksud lo?!” tanya Akbar sedikit kaget. Dia berjalan terseok-seok membawa tumpukan baju ku. ”Lampu merah? Kolong jembatan? Sial!” ”Gila, sih lo. Baru ketemu modelan implan langsung b**o. Cepetan jalan! Mau makan gak lo.” "Ini kalau lo gak lagi patah hati. Ogah bener gue nurutin lo. Modelan lampir, sih lo, Al. Mana betah Pak Radit.” ”Tugas kacung 'kan melayani majikan kapanpun dimanapun. Iya, selera Pak Radit bukan lampir. Tapi ... obralan. Ya ... sama kayak lo.” ”Ya bangke!” -falling(iloveyou.)- ”Jadi Bu Leta belum tahu soal putusnya lo sama Pak Radit?” Aku menggeleng. ”Jangan dulu, lah. Leta lagi hamil. Gue gak mau sampai bikin Leta stres. Apalagi sejak hamil Leta terlalu over thinking. Nempel mulu sama lakinya.” ”Iya, sih. Ada lagi gak sih cewek modelan Bu Leta gitu. Kalau ada gue pasti auto tobat.” Aku mengangguk. ”Ada Bar, ada. Tapi masalahnya dia mau gak sama buaya gatel macem lo gitu.” ”Anjir! Buaya gatel. Coba waktu itu saingan gue bukan Pak Air. Udah pasti hidup bahagia gue sekarang sama Bu Leta.” Ku lempar sisa tulang ayam ke arah Akbar. ”Jorok Al, ah!” protes Akbar sambil mengibas-ngibaskan polo shirtnya. ”Halu lo kelewat b**o!” ”Gak bisa banget lo liat orang seneng. Dihaluan gue aja lo masih gak terima.” ”Halu juga ada batas dan aturannya, Bar. Jangan los dol.” ”Los Dol, ndang lanjut lehmu w******p-an.” Kuhela nafas pasrah sambil bersandar pada kursi. Ku tatap Akbar yang sedang bergoyang kecil di tempat. ”Balik-balik!” aku langsung berdiri. ”Anter gue ke apartemen Dara.” Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD