Titik balik Bintang Abimayu

1793 Words
Ayah, Yang harus kulakukan hanya-lah menunggu, bukan? Berapa banyak pria lagi yang akan mengunjungiku sebelum ulang tahunku ke-26? *** Pondok Pesantren Darul Qur'an. Oktober, 2009. Bintang menatap danau yang tetap tenang meski mendung menggantung di atasnya. Ia pikir terlalu singkat keberadaannya di sini. Semula kedatangannya hanya untuk memenuhi titah orang tua. Ijazah yang didapatkan dengan tanda tangan Ketua Pondok akan menguatkan namanya sebagai pewaris perusahaan keluarga. Ternyata Bintang nyaman berada di lingkungan ini. Inilah tempat yang dirinya menemukan kebahagiaan. Ia suka mengerjakan banyak hal sendiri, suka kerja sama antar santri asrama dan semua yang tak bersangkutan dengan harta. Bintang lebih menyukai tempat ini daripada kastil mewah keluarga Abinaya. "Ehm." Bintang berbalik segera. Ia tersenyum ketika menemukan Ketua Pondok mendekatinya. "Kiyai." "Abah, begitu kau memanggilnya. Tuan Abim menjemputmu." Bintang melihat ayahnya melambaikan tangan dari ujung kantor ketua. Ia lalu membalas sapaan itu sebentar. "Saya suka di sini, Kiyai." Kiyai Haris tersenyum kepada pantulan danau. Beliau meletakkan kedua tangan di belakang punggungnya. "Banyak orang yang tidak sependapat denganmu. Kalau kau sungguh menyukainya, kurasa kau akan jadi orang yang sangat bermanfaat bagi orang lain. Kebaikan selalu lebih mulia di tangan penguasa." Bintang memahami maksud Kiyai Haris, bahwa Bintang akan menggunakan jabatannya dengan baik dan memberi manfaat kepada yang membutuhkan. Namun bukan itu yang Bintang maksudkan. Bintang suka eksistensi tanpa terlalu muluk duniawi. "Kau harus kembali ke tempatmu, Nak. Lari dari tanggung jawab dan menikmati pelarianmu itulah yang orang-orang sebut pengecut. Sayangnya, kau bukan pengecut. Kita tahu itu." Bintang tersenyum. Pondok pesantren khusus laki-laki tempatnya berdiri saat ini. Ia yakin anak gadis memang tak akan cocok di tempat ini. Pemimpin pondok ini sangat maskulin. Gadis-gadis mungkin akan langsung menangis saat mendengar kalimat tegasnya. Suara tawa terdengar memantul dan bergema. Bintang yakin tak ada teman-temannya yang punya suara tawa sefeminim itu. Hanya seorang berjenis perempuan yang memiliki tawa renyah seperti itu. "Itu suara Zahra," jawab Kiyai Haris atas ekspresi tanya Bintang. Suara itu ada dua macam. Jelas milik dua orang. Zahra, Bintang kenal anak itu. Gadis berusia sepuluh tahun, anak bungsu Kiyai Haris. Suara yang lebih merdu itu pasti milik Ifa. Nama itu pernah Bintang dengar beberapa kali. Selama tiga hari terakhir nama itu menjadi bahan pembicaraan paling memanaskan telinga. Kata mereka, Hanifa itu putri Kiyai Haris yang baru menyelesaikan studinya di Madinah. Dia hafal 30 juz Alquran, fasih berbahasa Arab dan menguasai ilmu fiqih. Kata mereka juga, yang benar-benar pernah tanpa sengaja bertemu sekilas dengan Ifa, gadis itu bak rembulan di malam purnama. Sejauh ini Bintang bisa mengatakan kalau gadis itu tertawa dengan jujur dan bahagia. "Ayo kita masuk," ajak Kiyai Haris memulai langkah menuju kantornya. "Baik, Kiyai." Bintang mengikuti di belakangnya. Terdengar suara bersahutan dari arah yang Bintang tuju. Suara celoteh yang berisi ajakan dan penolakan. "Ayo kita pulang! Kita tidak boleh berada di sini lebih lama." "Sebentar saja, Ifa. Kita bertemu Abah sebentar." "Kau akan membuat kita dalam masalah, Zahra." "Aku tidak pernah bermasalah. Kau masalahnya." "Baiklah, aku masalahnya." Suara itu lembut, terdengar pasrah di telinga Bintang. "Ayolah. Abah akan tahu kita datang kalau kita meninggalkan rantangnya di sini." "Zahra mau bertemu Abah," balas gadis yang lebih kecil bernada rajuk. Bintang melihat punggung gadis-gadis itu. Yang besar menarik lengan adiknya, sementara yang kecil menghujam kakinya tak mau menurut. "Pulanglah. Kalian sudah bertemu Abah," usir Kiyai Haris kepada dua gadis berkerudung panjang yang memunggungi mereka. Gadis yang lebih tinggi berbalik, "Maaf, Abah. Zahra..." Bintang takjub melihat gadis itu, yang juga melihatnya. Dia seperti yang digambarkan teman-temannya. Bercahaya bak rembulan di tengah malam purnama. "Ifa, bawa adikmu pulang!" perintah Kiyai Haris tegas. Gadis itu segera menarik tangan adiknya dan menjauh. Sementara mereka pergi, Bintang sekuat tenaga untuk menegakkan lehernya menghadap Kiyai Haris daripada menoleh kepada gadis itu. Sebenarnya wajah gadis itu sudah melekat dalam memorinya, ia pastinya tak akan mampu menghapus ekspresi gadis itu dari benaknya. Tidak akan secepat itu, dan tidak akan Bintang biarkan menghilang. Mereka masuk dan menemukan Tuan Abim tersenyum menyambut. Bintang segera mencium tangan ayahnya. "Siapa gadis-gadis tadi, Kiyai?" tanya Tuan Abim. Raut penasaran dalam wajahnya sudah mewakili kalau beliau sangat tertarik. "Anak-anak saya, Tuan." "Apakah yang besar sudah ada yang melamar?" Bintang tersentak sendiri. Ia yakin ayahnya bukan ingin mempersunting Ifa untuk menjadi ibu tirinya. Namun, menurut Bintang itu bisa saja terjadi. Tetapi ia tak ingin hal itu jadi kenyataan. Kiyai Haris melihat ke arah Bintang dan Tuan Abim bergantian. "Marilah kita bicarakan." Kemudian kursi-kursi diduduki. "Tuan bermaksud... apa?" Tuan Abim menjelasakan maksudnya, "Kalau Kiyai berkenan, saya ingin melamarnya untuk Bintang." "Tuan..." "Tentu saja Bintang bisa mengatakan pendapatnya. Saya sama sekali tidak meragukan Kiyai. Saya ingin pilihan terbaik untuk putra saya." Tuan Abim berdeham singkat. "Rasanya terlalu formal. Baiklah. Begini saja. Kita sudah kenal lama. Kita bahkan satu kamar waktu aku harus mendekam di sini, dulu. Akhirnya, kau mewarisi tempat ini, aku mewarisi perusahaan keluargaku. Bagaimana kalau kita nikahkan mereka?" Kiyai Haris menoleh kepada Bintang, "Bagaimana menurutmu?" Bintang tak sanggup menahan gelombang kegembiraan yang ia rasakan. Ini detik-detik yang sangat berharga dalam hidupnya. Rasa syukurnya tak terbatas karena memiliki ayah yang teramat peka seperti Tuan Abimayu. "Kiyai cukup mengenal saya. Kalau kiyai berkenan, saya bersedia." Kiyai Haris kembali melihat Tuan Abim. "Saya harus mendengar pendapat putri saya dulu. Setidaknya dia perlu punya gambaran tentang Bintang." Tuan Abim mengangguk, lalu melihat arlojinya. "Baiklah. Kami harus pulang sekarang." "Mengapa terburu-buru, kita baru saja bernostalgia," cegah Kiyai Haris. "Maafkan aku. Lain kali saja. Ibunya merindukan dia," tunjuk Tuan Abim kepada Bintang. "Baiklah. Hati-hati di jalan. Akan aku kabari secepatnya." Tuan Abim berjabat tangan dengan Kiyai Haris. "Sekali lagi, terima kasih." *** Kastil Abinaya. November 2009. Ini cinta. Cinta cinta cinta cinta cinta. Ribuan kali kata itu berteriak di kepala Bintang bersama senyuman terukir di wajahnya. Ia telah jatuh cinta. Jatuh sangat dalam oleh pesona Ifa, Hanifa. Ifa adalah segalanya yang Bintang butuhkan. Takdir mereka begitu indah. Gadis itu menerimanya. Orang tua mereka merestui, bahkan langit dan bumi sepertinya setuju mereka bersama. Desember akan menjadi bulan paling membahagiakan dalam hidupnya. Kemudian bencana datang dalam bentuk sebuah pesan : Akhi, maafkan aku. Kita tidak bisa menikah. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan kita. Kita ditakdirkan tidak untuk bersama. Dan sejak saat itu Bintang kehilangan hatinya. *** Kastil Abinaya. September 2012. Bintang baru saja selesai menghadiri pernikahan salah seorang temannya. Ada pencerahan yang ia temukan ketika berada di acara meriah tersebut. Kehidupan terus berlanjut. Pada titik tertentu semuanya tidak akan pernah selalu sama. Orang-orang bertambah usia, membangun keluarga, memiliki keturunan. Ifa, Hanifa sudah pergi. Dia telah meninggalkan Bintang. Hal sederhana untuk dikatakan, tetapi sulit dijalani. Nyatanya hampir tiga tahun berlalu, Bintang konstan masih mencintai gadis itu. Pesonanya tak pernah pudar dari pikiran Bintang. Caranya tersenyum, suara tawanya dan semua kalimatnya yang menyejukkan hati. Bintang butuh wanita seperti itu. Sederhananya ia membutuhkan Ifa, tetapi tak bisa menggapainya lagi. Bintang bertemu Langit, teman masa kuliahnya. Pria itu menikah tiga tahun lalu. Saat yang sama ketika Bintang dan Ifa berencana melangsungkan pernikahan mereka pula. Namun Langit meneruskan rencana, menikahi wanita pilihan keluarganya dan sekarang memiliki seorang putra serta kebahagiaan berumah tangga. Menikah tak seburuk yang diperkirakan, katanya memberitahu Bintang. Bintang yakin ia akan mengalami pernikahan penuh kebahagiaan jika bersama Ifa. Namun ia tak yakin bisa memulainya dengan wanita selain dia. “Bintang!” “Bintang!” Bintang mendengar panggilan ibunya. Ia pun berdiri dari ruang duduk dan mendekati pintu tempat ibunya melintas. “Ada apa, Uma?” “Bintang!” serunya dengan mata berbinar bahagia. “Uma baru saja bertemu seseorang.” Bintang tak pernah sadar selama kepergian Ifa, ia telah menyakiti ibunya. Puluhan gadis telah dikenalkan Nyonya Rani untuk menjadi teman hidup Bintang. Semuanya ditolak Bintang karena tak ada diantara mereka yang bisa menggantikan Ifa dalam hatinya. Bintang baru saja menyadarinya, ia telah menyusahkan diri sendiri dan orang tuanya. Tidak akan menikah adalah hal paling egois yang pernah dipilihnya. Bintang akan merubahnya detik ini juga. “Seorang wanita?” “Yah, dia janda.” “Janda?” ulang Bintang. Tak apa. Bintang tak masalah. Ia akan menerima siapapun yang dipilih oleh ibunya. Anggap saja ini yang ditakdirkan untuknya setelah menolak sangat banyak gadis sebelumnya. “Tentu bukan dia yang ingin Uma kenalkan padamu. Putrinya. Dia sangat menawan.” Nyonya Rani meletakkan kedua tangannya di tangan putranya. “Kau bersedia mengenalnya?” tanya beliau penuh harap. Ini kesempatan terakhirnya. “Ya, kenalkan padaku, Uma.” “Besok kita akan bertamu ke rumahnya.” Bintang mengangguk setuju. “Bintang, Uma tahu kau masih menyimpan dia di dalam hatimu. Uma tahu dia sangat berarti untukmu, tetapi dia tidak akan kembali padamu, Nak. Kau harus mendapatkan perasaan yang baru dengan gadis lainnya.” “Bintang akan melakukannya,” balasnya patuh. Bintang bertekad menemukan perasaan yang baru. “Kau sudah berusaha melakukannya. Uma tahu. Kau sudah berusaha keras menemukan pengganti dia. Itu salah, Bintang. Kau tidak bisa selalu menemukan seorang gadis yang langsung bisa membuatmu jatuh cinta pada pandangan pertama. Kau mengalaminya bersama dia, tetapi cinta tak selalu datang seperti itu, Anakku.” “Maaf karena telah menyusahkamu, Uma.” “Kau tidak akan melakukannya lagi,” balas Nyonya Rani yakin. “Kita akan menemui gadis itu dan menemukannya sebagai cinta sejati untukmu.” Bintang ragu tapi ia juga tak ingin menyangkal kemungkinan yang akan terjadi. Jika rencana pernikahannya pernah gagal, maka rencana menemukan cinta sejati oleh ibunya mungkin saja berhasil. Semua itu sudah ada ketetapannya. “Saat nanti kita bertemu dia, jangan sedetik-pun membandingkannya dengan Hanifa!” Bintang percaya ia akan melakukan itu. Itu yang selalu dilakukannya setiap ia melihat seorang gadis. Itu yang membuat Bintang selalu gagal memenuhi perjodohan yang ibunya setengah mati perjuangkan. Nyonya Rani tersenyum. “Kuharap gadis ini akan memenangkanmu.” Bintang senang semangat ibunya. Beliau selalu tampak ceria saat akan mengenalkan seseorang kepadanya. Harapannya untuk melihat Bintang menikah sangat jelas. “Aku tidak terlalu suka ibunya, tapi itu bukan kesalahan gadis itu. Lagipula kau akan hidup dengan anaknya, bukan ibunya, jadi ibunya bukan masalah.” Bintang berpikir. “Uma, aku tidak bisa menemuinya. Aku harus bekerja besok.” Raut kekecewaan menghiasi wajah Nyonya Rani, “Tapi kau harus bertemu dengannya.” Kemudian keceriaan itu kembali dalam beberapa detik. “Ah, kita bisa bertemu dia malam harinya.” “Tidak. Bintang tidak mau bertemu dengannya. Uma saja yang bertemu dia. Kalau Uma rasa dia cocok untuk Bintang, nikahkan kami,” putus Bintang. “Kau sungguh-sungguh?!” “Ya. Bintang akan menerima pilihan Uma.” “Tapi Uma tidak tahu gadis seperti apa yang kau inginkan.” Bintang sudah memutuskan. “Uma tahu gadis seperti apa yang Bintang butuhkan. Ketika Uma menemukannya, nikahkan kami. Bintang tidak akan meragukan pilihan Uma.” Nyonya Rani memeluk putranya. “Aku akan memilihkan yang terbaik untukmu, Anakku. Uma berjanji.” Bintang tidak akan menemui gadis itu. Ia tidak akan mencari tahu sedikitpun tentangnya. Hanya itu yang bisa ia lakukan untuk memuluskan pernikahan yang ibunya inginkan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD