bc

Akhirnya, Aku Mencintaimu

book_age16+
410
FOLLOW
3.7K
READ
BE
opposites attract
heir/heiress
drama
bxg
brilliant
like
intro-logo
Blurb

Latifa Bakrie pikir ia akan berakhir menjadi perawan tua, sesuai obsesinya. Menghabiskan sisa hidup dengan damai bersama Nyonya Naraya yang pemaksa dan suka mengatur. Namun, kedatangan Nyonya Rani pada satu hari di bulan September itu membalik keadaan Ifa.

Menikah dengan pewaris takhta Perusahaan Permata. Pertama berjumpa saat hari pernikahan mereka. Suaminya pria sempurna yang penuh tuntutan. Ditukar dengan hadiah pernikahan oleh ibunya. Disetir ibu mertua. Ditindas ayah mertua. Akankah Ifa berhasil meraih kebahagiaannya?

#DuniaBaruIstri

chap-preview
Free preview
Awal kisah kita
Rumah Sakit. September 2023. Bintang Abimayu berlari. Jantungnya berdebar aneh. Ia melewati lahan parkiran rumah sakit seperti para peserta lomba lari yang tak memikirkan apapun selain garis finis. Tak menyadari pandangan penasaran orang-orang yang melihatnya, Bintang tetap berlari. Ada ritme asing yang ikut mendorong langkahnya, Ifa. Fokus Bintang hanya nama itu. Bintang harus memberitahunya. Bintang perlu mengatakannya di depan wanita itu sambil menatap matanya. Wanita itu harus tahu. Ifa harus tahu. Sebelas tahun kebersamaan mereka, tak mungkin Ifa pergi tanpa mendengarnya satu kali-pun dari Bintang. Bintang meluncur di tikungan koridor dan menabrak seseorang hingga kantong yang dibawanya terjatuh. Biasanya Bintang akan berhenti, membantu memungut kantong itu lalu tersenyum sambil menggunakan kata maaf, tapi tidak hari ini, tidak pagi ini. Tidak sekarang. 2023. Ia harus menemukan nomor itu. Ia tak bisa memikirkan hal lain selain seseorang di balik angka itu. Bintang memilih menaiki tangga daripada masuk ke dalam lift. Ia tak akan bisa berdiam diri sambil menunggu. Kakinya tak bisa diajak berhenti, begitupun pikirannya. Satu demi satu anak tangga ia lewati. Belokan tangga melingkar menyesakkan dadanya. Paru-parunya terasa terbakar. Ia pusing. Berlari seperti orang kehilangan akal tak cocok lagi untuk usianya sekarang, 37 tahun. Itu dia. Dia di sana. Bintang menghentikan langkah, mengatur napas saat akhirnya pintu dengan nomor 2023 itu terpampang di hadapannya. Beberapa detik Bintang merapikan diri. Ia ingin tampil sempurna di depan Ifa. Ifa tak harus tahu semua tremor yang dialaminya sebelum mereka saling bertatap mata, yang Ifa perlu ketahui hanyalah satu kalimatnya. Bintang melebarkan senyuman sambil menarik ganggang pintu. Senyumnya menghilang. Bukan Ifa harapannya yang ada dalam ruangan itu, melainkan seorang petugas yang sedang membersihkan kamar Ifa. Saat Bintang bertanya keberadaan istrinya, jawaban yang didengar Bintang seketika membuatnya dipenuhi rasa takut. Kamar Jenazah. Dan, Bintang kehilangan napasnya pada detik itu dan beberapa detik setelahnya.... *** Pantai. September 2004. Ayah, Benarkah cinta sejati itu nyata? Jika benar, aku ingin dia mencintaiku seperti kau mencintai Ibu. Pria baik itu harus tetap mencintaiku, meskipun aku bukan wanita seperti yang diharapakannya. *** Angin bertiup kencang membuat pepohonan bergemerisik riang. Hamparan pasir bekas air pantai sewarna timah. Pagi ini cuaca cerah. Udara segar dan kicau burung terdengar samar. Ifa membawa layangannya dari dalam mobil menuju pasir pantai. Seseorang menyenggolnya. "Ups. Maafkan aku." Terdengar begitu riang tak sesuai dengan kalimat yang diucapkannya. Ifa tak mengatakan apa-apa. Ia teruskan langkah menyusul Aya, kakak perempuannya yang tersenyum lebar membawa ember dan sekop mainan. Dia pasti berencana membuat istana pasir, pikir Ifa suram. Ifa tak suka bermain pasir dengan tangannya. Ia benci pasir-pasir itu membuat kulit tangannya terasa lengket dan kukunya menghitam. "Aku menemukan menara dan benderanya!" seru Ayu, kakak perempuan Ifa yang kedua juga mendekat dengan wajah cantik merona. Ifa hanya mendekap layangannya, menekan sebagian jilbabnya tetutup sambil berdiri memandangi dua kakaknya bermain pasir. Usia mereka adalah sembilan belas dan dua puluh satu tahun. Keduanya sudah cukup dianggap dewasa, tetapi tingkah mereka tak lebih jauh dari waktu-waktu ketika mereka masih dipanggil anak-anak. Topi-topi mereka bulat menutupi apa yang sedang tangan mereka kerjakan dari pandangan Ifa dan ujung rambut mereka menjuntai berwarna cokelat kemerahan. "Hari ini aku yang akan melangsungkan pernikahan!" Ayu menegadah kepada Ifa dengan senyum samar. "Aku mengundangmu." "Trims. Aku tak berminat datang ke pernikahan mainan dalam istana pasir. Kalau kau menemukan pria baik dan benar-benar menikah secara nyata, aku akan hadir," jawab Ifa datar. "Kita akan menemukannya segera. Aya sudah masuk usia dua puluh satu." Jeda sesaat dari kalimat Ayu. "Siapa yang akan menikahkan kita? Ayah sudah meninggal dua tahun lalu." Ifa tersentak. Pembahasan itu mengusiknya. Dua topik paling tak Ifa sukai muncul bersamaan. Ifa tak suka membahas Ayah. Ifa juga yakin pernikahan sama sekali bukan hal yang akan dirinya bahas dengan suka cita, apalagi dengan ekspresi berbunga-bunga. "Ayah kita masih punya adik laki-laki. Paman Bakar," jawab Aya, sepenuhnya masih fokus menyekop pasir lalu memasukkannya ke dalam cetakan. "Meskipun dia tak pernah lagi datang menjenguk kita?" tanya Ayu heran. Topi bundar Aya berayun turun saat dia mengangguk, "Yah, kita tetap membutuhkannya untuk menjadi wali nikah." "Meskipun dia sama sekali tidak menyukai kita?!" Ayu jelas meragukan penilaian Aya. Rasanya agak canggung membutuhkan orang yang secara jelas menjaga jarak dari keluarga mereka. Aya tak terkejut oleh reaksi adiknya. "Dia menyukai kita. Dia tidak menyukai Ibu kita." "Aku juga tidak suka Ibu kita," timpal Ayu pelan, sedikit sedih. "Meskipum dia Ibuku." Suara tawa Aya terdengar. "Ibu kita memang terlalu mengatur." "Suka ikut campur," sahut Ayu menambahkan dengan segera. Ifa hanya mendengarkan obrolan dua saudarinya tanpa ingin terlibat. Sebenarnya Ifa juga punya pemikiran yang sama dengan dua saudarinya. Nyonya Naraya itu, pemaksa, suka ikut campur dan terlalu mengatur. Beliau mungkin saja menjadi momok bagi menantunya kelak. Yah, kalau dia bisa menindas tiga putri dan sebagian keluarga inti suaminya, tentu dia bisa menindas dunia dan seisinya. "Lihat kita," ucap Ayu berdiri dengan tiba-tiba menekankan tangan di pinggangnya. "Kita memakai pakaian yang Ibu pilihkan. Warnanya kuning. Padahal aku tidak suka kuning." "Kalau boleh jujur, kulitmu sangat cocok dengan warna ini. Lebih cocok daripada aku dan Ifa. Kukatakan juga, kita tampak seperti anak kembar tiga." Aya terkikik seolah yang sedang mereka bicarakan adalah grup komedi. "Yah, dengan selisih usia dua tahun, dan empat tahun," tambah Ifa akhirnya terpancing obrolan mereka. Kedua kakak Ifa tertawa atas pernyataan adik bungsu mereka. Ifa sendiri tak bermaksud melucu, tapi ia tak bisa mengontrol tanggapan Aya dan Ayu yang diluar prediksinya. Ayu mengusap sisa air mata di ujung sudut matanya setelah selesai tertawa. "Mengapa kau membeli layangan itu kalau tak mau menerbangkannya?" Ifa melihat layangan yang menghangat dalam dekapannya. Ia bahkan lupa kalau tujuannya bermain layangan, bukan mendengar obrolan tentang Nyonya Naraya yang begitu unik. Aya menegadah dengan senyum lembutnya. "Aku suka kebersamaan kita. Hari yang kutunggu dalam satu bulan adalah hari yang kita diperbolehkan pergi bertiga tanpa Ibu." "Kau benar. Aku merasakan hal yang sama. Seandainya kita bisa memilih pakaian kita juga," tambah Ayu masam kepada gaun kuningnya. "Aku akan memilih dua hari pergi tanpa Ibu dengan memakai pakaian pilihannya," balas Aya menacapkan bendera mainan di istananya. "Entah berapa lama lagi kita bisa melakukan ini. Sesaat lagi pernikahan akan menghancurkan kendali Ibu atas kita." Ketika kedua saudarinya termenung Ifa menjauhi mereka dan mengamati arah angin. Saat sudah yakin dengan prediksinya, Ifa lalu melemparkan layangan lalu menarik benangnya. Ia berhasil tersenyum saat layangannya mulai mengudara dengan bebas. Kebebasan. Ifa berpikir selagi layangannya menghiasi langit pagi. Ia ingin kebebasan. Ifa ingin hidup sendirian tanpa kedua kakaknya yang begitu senang bicara dan kadang banyak mengajukan pertanyaan kepadanya. Ifa yakin suatu hari nanti Aya dan Ayu akan pergi. Pada akhirnya mereka akan menemukan pria yang menjadi suami mereka. Pria baik yang sempurna pilihan ibu mereka. Masalahnya, Nyonya Naraya tidak akan pernah menikah lagi. Beliau memegang sumpah sehidup semati dengan Bakrie. Lagipula, siapa yang mau menikahi janda pengatur dengan tiga putri penurut? Ifa mendesah, menyadari akhir kisah hidupnya sendiri. Ifa akan terus terikat dengan NyonyaNaraya, seperti layangan yang sedang Ifa mainkan. Ibunya selalu mengatur mereka sekehendak hatinya. Dari pilihan pakaian, sepatu, pendidikan, dan suami. Sepenuhnya mereka harus mengabaikan keinginan hati demi keinginan ibunya. Aya mendekati Ifa. "Bolehkah aku pinjam?" "Tidak." Aya menyebik singkat lalu berbalik kembali ke istana pasirnya. Suara tawa Ayu terdengar. Ifa bisa menebaknya, mungkin keduanya sedang mengamati Ifa seperti biasa. Hampir seumur hidup menjadi keluarga tak membuat mereka saling memahami. Setidaknya, mereka yang tak memahami Ifa. Ifa selalu bisa memahami ibu dan kedua kakaknya. Ifa pengamat, bukan objeknya. Kini giliran Ayu yang mendekati Ifa, "Mengapa kau suka main layangan di pantai?" "Karena luas." "Aku tahu itu. Perkarangan rumah kita juga luas." Nada malas Ayu menuntut jawaban yang lebih masuk akal. Ifa mengedikkan bahu, "Aku hanya ingin." "Kau butuh layangan supaya tidak perlu ikut kami bermain pasir, bukan begitu?" "Aku harus punya sesuatu untuk dilakukan juga," jawab Ifa masih tanpa memalingkan wajah pada kakaknya. "Pernahkah ada yang mendekatimu?" Tangan Ifa berhenti menarik layangan. Sedetik kemudian Ifa menatap Ayu, hanya menatapnya. Ayu berdiri lebih jauh selangkah, mundur. Ekspresinya berubah tak nyaman. "Maksudku... maafkan aku." Ifa melepas pandangan kepada layangan sekali lagi. Ia cukup yakin beberapa detik lagi Ayu juga akan membiarkan dirinya sendirian bermain layangan tanpa gangguan, tetapi perkiraan itu salah, karena setelah satu menit berlalu Ayu tetap berdiri di sana sambil memegang kelepak topinya, ikut memandangi layangan Ifa. "Kau punya paras yang lebih menawan daripada Aya ataupun aku. Kuyakin lebih banyak pria yang mendekatimu daripada mendekati kami. Kita bisa berbagi segala hal bersama, Ifa." Ayu menelaah wajah Ifa yang tetap dengan ekspresi datarnya. "Kau bukan orang yang terlahir pendiam. Kau hanya banyak berpikir tanpa menyuarakannya. Keluarga kita tidak punya garis keturunan dengan riwayat pendiam." Ifa tak mengatakan apapun. Ia bahkan tak mau memikirkan perkataan Ayu. "Aku punya kekasih. Ini rahasiaku. Aku mempercayaimu untuk menjaganya dari Ibu." Ifa meniru nada pengucapan Ayu, "Aku punya permen. Jangan beritahu Ibu." Ifa mengangkat sebelah alisnya. "Begitu kataku waktu itu. Lalu kau memberitahu Ibu." Ayu berdiri tak tenang oleh kalimat menohok dari adiknya. "Ifa, itu karena Ayah selalu menyelamatkanmu. Aku tidak akan melakukannya kalau Ayah tidak sedang di sana." Ayu memberengut, "Itu bahkan terjadi saat usiamu sepuluh tahun. Sudah tujuh tahun berlalu, Ifa." Ifa tak peduli berapa ribu tahun terlewati. Kepercayaannya tak bisa dipulihkan lagi. Ifa tak suka memaafkan. Ia tak suka kesalahan dan banyak alasan. Layangannya terasa sangat berat setelah angin berembus hebat, kemudian benang pengikatnya terputus. Layangan itu bergulir turun perlahan, terombang-ambing oleh angin. "Ah!" Ayu juga mengatakan sesuatu yang tak didengar Ifa. Ifa berlari mengejar layangannya. Ia dapati layangan itu mendarat di kepala seseorang. Salah satu dari sekelompok pria yang sedang ditertawai teman-temannya. Ifa siap menerima konsekuensi. Mungkin ia akan dicaci, mungkin juga teguran menyengat hati, kata u*****n, teriakan atau setidaknya pelototan. Ifa siap, ia hanya perlu mendengarkan, mengambil layangan itu dan pergi setelah mengucapkan satu kata maaf. Ifa sudah siap dengan suaranya, bergegas ingin mengucapkan permintaan maaf sebelum pria itu berbalik, namun yang keluar dari tenggorokannya hanyalah suara tercekik. Ifa benci ini. Ia tak suka dirinya yang tiba-tiba tergagap jika berinteraksi dengan orang asing. Ketika pria itu akhirnya berbalik menghadap Ifa, keajaiban pertama terjadi. Dia tersenyum, hanya melengkungkan bibirnya utuh dengan matanya. Dan meski Ifa tak punya banyak pengalaman tentang senyuman seorang pria, Ifa tahu pria di depannya adalah orang yang tulus dan baik hati. "Punyamu, kurasa." Pria itu menyerahkan layangan kepada Ifa yang masih terdiam. Ifa mengambilnya dan berpaling sambil menggumamkan kata maaf, sekali. Keajaiban kedua, Ifa menyadari dirinya telah memperhatikan seorang pria. Itu keajaiban. Bukan salah Ifa kalau pria itu berbeda dari semua pria yang pernah ditemuinya dalam hidup.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook