DUA

1179 Words
Hariti mengejekku, sewaktu kami di ruangan yang menjadi kamar kami sejak kecil. Ibu mengharuskan kami selalu tidur berdua agar tidak satupun dari kami membawa perempuan ke dalam kastil utama. Ibu tidak pernah tahu apa yang sebenarnya kami lakukan.   “Matiti yang agung. Sejahtera dan panjang umur raja kami semua” suaranya dibuat-buat selayaknya tangan kanan raja  “Tutup mulutmu Hariti. Itu tidak lucu. Baba akan meng?>gorokmu kalau berani-berani kau berkata seperti itu di hadapannya” Baba sangat menentang segala bentuk pemberontakkan terhadap Raja kami yang Agung.  Dia berusaha jauh-jauh dari isu apapun yang dapat menggoyangkan tahta Raja yang Agung.  “Mangkanya aku mendoakanmu di kamar ini ketika cuma ada kita berdua” dia mendorong tubuhnya sampai terhempas di atas kasur “Kamu pernah berpikir begitu ? menjadi raja ?” Tubuh Hariti terlalu kecil untuk ukuran ranjangnya.   Aku tertawa “Tidak sama sekali, kalau aku memang haus akan kekuasaan sudah ku racuni kamu dari dulu dan meniti karirku terlebih dahulu jadi Pemimpin Klan seperti Baba”  Dia memonyongkan bibirnya, sepertinya dia tidak percaya dengan ucapanku “Kalau aku jadi raja, aku akan menciptakan perdamaian di semua klan dan menjadikan Altar ini menjadi tempat paling adil dan tempat paling layak untuk semua mahluk”  Ternyata dia yang ingin jadi raja ! Aku meliriknya dengan sudut mataku. Memilih membicarakan hal lain yang lebih penting “Aku pikir di pulau itu tidak ada kehidupan”  Mungkin aku bergumam terlalu pelan, aku menoleh padanya. Matanya menerawang. Ternyata dia menyimak apa kataku   “Iya aku barusan seperti melihat melihat lagenda yang hidup”  Hariti duduk dengan posisi yang aneh di atas ranjangnya. Aku lebih baik melihatnya berdiri. Tubuh Hariti terlalu besar, ranjang itu terlihat begitu rapuh diduduki manusia sebesar dia.  Berebeda sekali dengan tubuhku, karena aku mewarisi darah ibu sedangkan dia sepenuhnya adalah Babaku.  “Kau masih ingat cerita Met ? “  Hariti tertawa. Tangannya dibawa kebelakang untuk menyangga tubuhnya yang besar. Aku selalu berkaca pada diriku sendiri. Kapan aku akan beranjak dewasa dan punya tubuh sebesar tubuh Hariti. Kasian ibu selalu kusalahkan atas tubuhku yang kurus “Met, dia percaya Klan kita adalah Klan raksasa”  Aku mengangguk “Kalau aku jelas Klan campuran, lihat tubuhku”  ujarku pesimis. Ibuku berasal dari Klan Roga. Hariti sekali lagi tertawa “Aku juga dulu sekecil kau, sebelum turun ke medan perang”  “Oh jadi aku harus berperang supaya bisa menjadi besar. Ah sudahlah”  Hariti menggelengkan kepalanya. Seakan aku sedang mengeluh seperti biasanya membicarakn tubuh kurusku. Aku merasa kurus. Walaupun tubuhku seukuran dengan Klan Roga. Hanya saja, aku benci terlihat seperti klan Roga. Pemimpinnya bernama  Olixys, kami tidak menyukainya. Dia selalu mengganggu ketenangan Klan kami.  Seminggu terkahi dia  mendatangkan perwakilannya setiap hari, untuk kembali menganggu Baba. Aku sering melihat Baba berdiskusi secara tertutup dengan para tetua. Baba terlihat sangat aneh belakangan ini, di meja makananpun dia terlihat seperti banyak masalah. Padahal setahuku Klan kami dami-damai saja.  Jadi pemimpin itu tidak menyenangkan kan ? lebih baik baik jadi b***k biasa. Ah ! Tidak aku juga tidak mau jadi b***k. Yah aku sudah terbiasa mengeluh seperti ibu. Yang ku mau, adalah terlihat gagah dan perkasa seperti baba. Aku tidak mau memimpin aku uma mau di kelilingi perempuan cantik.  “Menurutmu dia cantik ?”  “Siapa ?”  Seorang kesatria masuk. Dia Darius,  dia masuk  untuk menyalakan prapian di kamar kami “Gadis Lohye itu” sambung Hariti. Memainkan alisnya untuk menegur Darius. Tidak biasanya seorang kesatria masuk menyalakan perapian kami  “Aku tidak pernah melihat gadis secantik itu di penjuru Altar”   Aku setuju ! “Tapi kamu tidak bisa menjadikannya Nyonya Kwaititi”  Hariti tertawa, kenapa dia pikir aku bercanda “Kalau begitu aku akan menjadi Raja di pulau Lohye”  “Raja dari mayat hidup”  Kita berdua tertawa. Guyonan kami berdua memang seperti guyonan sampah murahan.  Aku pernah melihat ibu melirik kami yang asik berguyon sementara Baba sedang berada di tengah diskusi penting. Semuanya lucu buat kami. Apalagi ada yang bilang suatu hari aku jadi raja. Merebut kekuasan. Bagaimana caraku merebut kekuasan ? Melempar kapak saja tidak pernah benar. Karena itu aku lebih terlatih menggunakan kunai.  Aku benci harus memegang senjata yang biasanya di pegang oleh para wanita di klan kami.  “Mereka memang benar tuan-tuan”  Darius menyalakan perapian. Dia menguatkan sabuk pinggangnya ketika berdiri menghadap kami.   “Menurutmu begitu ?”  “Aku tahu kalian berdua pasti tidak percaya dengan semua mitos yang ada, tapi aku masih sangat kecil ketika semua itu terjadi. Aku sendiri melihat mayat-mayat kesatria yang telah memutih di buang di danau mati”  Aku menggeleng Dia menertawaiku, sebab ketidak percayaanku tidak berarti dibandingkan dengan kebenaran yang pernah dilihat Darius “Met, dia sesepuh tetua kita”  “Met Cuma orang tua yang punya setumpuk buku” Walau dia adalah guruku dan aku sangat berhutang budi padanya. Baba selalu bilang begitu. Di Klan kita. Kita menghormati orang yang lebih tua dan menjunjung di pundak kita guru-guru kita. Itulah yang aku dan Hariti lakukan “Aku tidak bilang tidak mempercayainya, tapi tidak ada yang menunjukkan kebenaran atas cerita-ceritanya. Dia tidak berbohong. Aku tahu” aku mengangkat bahuku “Tapi aku paham kalau kadang Mitos diceritakan untuk menumbuhkan rasa percaya pada diri kita”  “Lalu apa yang ingin para tetua dan gurumu tanamakan padamu, ketika dia menceritkanmu tentang wabah Lohye ?”  Dengan tidak tahu diri kakakku bilang “Jangan  pernah pergi ke rumah bordir”  “Bodoh kau Hariti”  Darius tertawa, tapi sudut matanya mengerling ke arahku “Kalian tahu, mitos yang ternyata benar itu adalah sebuah kutukan. Baba kalian diliputi ketakutan. Tidak lama kabar tentang perempuan Lohye itu pasti tersebar di semua klan termasuk ke telinga si munafik Olixys ” Tidak ada yang menyukai Olixys di Klanku “Menurutmu siapa yang akan membiarkanmu hidup Matiti ?” Mata Darius nyalang, terlihat ingin menakutiku.  Apa sekarang anak panah mengarah padaku ? Darius mengangkat sebelah alisnya “Berhati-hatilah tuan-tuan. Sang Raja Agung sedang mengintai kalian”  “Apa kau takut Matiti ?” suara Hariti sangat meremehkan  Aku sebenarnya takut tapi karena aku laki-laki yang punya harga diri maka yang keluar dari mulutku adalah  “Bukannya yang ketakutan harusnya mereka ? Calon Raja ternyata tengah bersembunyi di antara hutan ek” aku menertawai diriku sendiri “Ini konyol” kataku . Sebelum meninggalkan dua orang itu di kamarku.  Aku merasakan gelagat aneh dari Darius, aku tahu ada yang disembunyikan Hariti padaku. Tidak biasanya juga Darius yang naik ke kemar kami hanya untuk menyalakan perapian. Aku sengaja tidak menutup pintu kamar, berpura-pura pergi meninggalkan kamar tapi sembunyi di balik salah satu pilar kayu. Memastikan aku bisa mendengar percakapan mereka.  “Dia datang lagi ?”  “Apa kau yakin dia mendengar cerita tentang Matiti ? Perempuan Lohye itu mereka bawanya ke goa biru”  Goa biru adalah tempat para tewanan  paling jahat  di penjarakan. Aneh sekali Baba sampai memperlakukan seorang perempun seperti itu, memenjarakannya di goa biru. Goa itu berada di tengah hutan ek, dingin dan terpencil. Aku belum pernah kesana. Aku hanya mendengar sedikit tentang Goa Biru ketika sahabat dekat Baba bernama Paman Mutai di penjarakan disana.     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD