Part 4

1148 Words
°° "Jangan banyak omong deh. Banyak fikiran nih ane," "Ente tuh ya Dan. Udah punya bini, alangkah lebih baik ente gunain waktu luang buat bini ente. Manjain dia, ajak jalan jalan dia, kok ini malah dianggurin," ceramahnya. "Sebenarnya niat ane ingin nya seperti itu," "Ente cuma niat aja. Gak ente kerjain," "Masalahnya ane ini nggak ada perasaan sama dia. Ane udah berusaha untuk menaruh rasa ke dia. Tapi nihil, ane merasa risih berdua dengan nya," jelasku. "Karena? Ente masih memikirkan si Namira? Iye kan?" tanyanya sarkatis. Aku tidak menjawab karena ya memang benar sampai detik ini aku masih memikirkan Namira. "Ente seharusnya sudah move on dude. Buat apa ente berlarut-larut memikirkan orang yang belum tentu memikirkan ente dan ente malah mencampakkan yang selalu ada untuk ente. Ente itu sadar bahwa ente sekarang sudah memiliki istri. Kan ente sendiri dulu di pondok yang sering mengingatkan kita, kalau udah punya istri harus dimuliakan. Bener gak? Apa ente udah lupa?" ujar Bagas. Sebenarnya dia udah geram dengan apa yang udah aku lakuin ke Syafa. Tapi apa daya, itu memang faktanya. "Ente kira move on gampang? Ane sudah mencoba untuk mencintai dia. Tapi tidak bisa," elakku. "Sebab ente kurang berusaha. Ente nyerah begitu aja. Kalau memang ente berusaha, meskipun ente gagal ente tetap berusaha," "Ente ini malah buat ane setres. Ane butuh ketenangan," ujarku frustasi. "Dasar ente ini tidak berubah ya dari dulu," dia tampak menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah tak mempan menyeramahiku. Aku tertawa melihat tingkahnya. "Yuk keluar aja, cari angin," ajakku. Dia merespon dengan menganggukkan kepalanya. °° [Syafa Pov] Aku duduk di halaman belakang rumah, menikmati semilir angin yang menerpa. Bayang bayang tentang siapa itu Namira masih terlintas difikiranku. Ada segelintir perasaan tidak enak di benakku. Tapi aku juga tidak tahu kenapa. "Namira, siapa dia? Sepertinya dia sosok penting bagi Mas Jiddan? Apa aku harus menanyakan langsung kepadanya? Tapi kalau Mas Jiddan nanya aku tau darimana. Aku jawab apa?" seolah aku curhat, padahal disana tidak ada orang, hanya angin yang menemani. Aku jadi ingat Nabila dan Rania apa kabar dia. Setelah hari pernikahanku aku lupa untuk menanyakan kabarnya. Dan handphone ku? Aku saja lupa menaruhnya dimana. Buru buru aku ke kamar mencari di nakas tempat tidur, ya handphoneku tergeletak disana. Astagfirullah ternyata Nabila dan Rania sudah banyak mengirim chat di wa. Maafkan aku Bil, Ran. Kubuka grup wa kami bertiga. Syafa Adinda Assalamualaikum Bil, Ra. Maaf ya baru bisa ngabarin :( Nabila Amanda Waalaikumsalam Fa. Dari mana aja sih? Habis nikah ngilang gitu aja -_- Syafa Adinda Hehehe maaf deh Bil. Tugas istri banyak ternyata dan kemarin aku sampai lupa menaruh hpku dimana. Nabila Amanda Okeh deh kali ini dimaafin Zahrania Zulfa Syafaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa Dari mana aja sih Kita kangen :( kapan keluar bareng? Syafa Adinda @Nabila Makasih sayang :) @Zahra Ayo kapan kita nih makan-makan bareng. Udah kangen juga aku nya. Huhuhu Tapi keadaan kalian sehat-sehat kan? Zahrania Zulfa Alhamdulillah baik Fa. Kapan-kapan aku dan Bila mau kerumahmu ya? @Nabila Syafa Adinda Baik ditunggu ya!!! Nabila Amanda Kabarku alhamdulillah baik juga Fa. Kamu gimana? Oke deh siyap. Nanti main kerumahmu ya? Kabarku? Entah Bil, Ra aku sedang bimbang saat ini. Syafa Adinda Alhamdulillah aku juga baik ini. Iya ditunggu ya. Udah dulu ya semua, sebentar lagi bos besar datang. See youu!!!!! Luvv Zahrania Zulfa See youuuuuuuuuuuuu Nabila Amanda See youuuuuuuuu!!!!!! Kumatikan data di handphone ku setelah itu ku gelatakan lagi di nakas tempat tidur. Tak beberapa lama, suara mesin mobil terdengar pasti Mas Jiddan. Cepat-cepat aku membuka pintu, menyaliminya dan mengambil tasnya. "Mau makan apa mandi dulu Mas?" tanyaku. "Mandi dulu," "Yasudah aku siapkan dulu air nya ya Mas?" dia mengangguk. "Sudah Mas," kataku. Dia mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi, aku bergegas menyiapkan baju gantinya. Apa kutanyakan saja ya sekarang. Benar benar aku sangat ingin tahu tentang Namira, kepo istilah zaman sekarang, hehehe. Tapi kalau Mas Jiddan marah bagaimana? Aishh membingungkan sekali. Mana aku tak mempunyai nyali menanyakan itu semua. Ya gimana ini? Ceklek.. Suara pintu terbuka, terpampang lah Mas Jiddan dengan handuk yang mengikat pinggulnya tanpa penutup dibagian atasnya. "Astagfirullah," reflek aku menutup mataku dengan novel yang k****a. Mas Jiddan yang melihatku menyunggingkan bibirnya, "Kenapa? Bukannya kita sudah menjadi mahram?" tanyanya. Iya sih sudah menjadi mahram tapi aku beum terbiasa mas. "I-iya Mas hehehe," aku hanya menyuguhkan cengiran tanpa dosaku. Sedangkan Mas Jiddan hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil menarik garis bibirnya keujung. Aku sontak terkejut melihat Mas Jiddan tersenyum, akhirnya aku melihat dia tersenyum lagi. Wajahku sumringah, sepertinya aku mampu menaklukkan hati Mas Jiddan, kuncinya mesti sabar, batinku. "Mas mau makan? Aku tunggu di bawah ya Mas?" kataku dengan senyum lebar. "Iya," Aku keluar menuju meja makan. Mengambil alat makan dan duduk menunggu Mas Jiddan datang. Tak lama Mas Jiddan datang dan duduk disampingku. "Mau makan apa Mas?" "Sop sama perkedel kentang," "Ini Mas," dan setelah memberikan piringnya aku hendak pergi tapi dia mencekal tanganku tiba-tiba. "Mau kemana? Temenin aku makan," darahku berdesir seketika. Ini pertama kalinya dia memegang tanganku. Pipiku sudah dipastikan memerah. "Ha? Iya Mas," jawabku sedikit gugup. Sepertinya aku harus bertahan apapun yang terjadi nantinya. Kupastikan aku akan mendapatkan hatimu mas. °° Tok.. Tok.. Tok.. Terdengar suara pintu di ketuk, aku beranjak dari tempat dudukku untuk membuka pintu. Terlihat seseorang perempuan dengan gamis syar'i biru membelakangiku. Entah aku tidak mengenalnya. "Iya, mencari siapa?" tanyaku lembut. Sontak perempuan bergamis biru ini membalikkan badannya. Dan.. "Eh Mbak Mira, masuk Mbak." ajakku sedikit kaget karena yang datang ini merupakan kakak kelasku dulu di SMA. Mbak Mira ini teman seangkatan Mas Jiddan. Mereka dulu adalah sosok sosok yang dikagumi di sekolahku, versi ceweknya lah. Kalau versi cowoknya kan Mas Jiddan. Dulu aku ingat betul, waktu aku mos Mbak Mira lah salah satu kating yang baik, mau bersosialisasi dan kami menjadi sangat dekat. Mbak Mira tidak pernah membedakan antara junior dan senior, dia sholehah, yaa pokonya dia Mas Jiddan versi cewek. Mbak Mira juga menunjukkan wajah terkejutnya, "Lho Fa bukannya ini rumah Jiddan ya?" tanyanya. Aku lupa kalau pasti Mbak Mira kesini buat nyari Mas Jiddan. Ya karena kan mereka teman seangkatan. "Iya Mbak," jawabku ramah. "Oh kamu saudaranya Jiddan ya?" aku hampir aja tidak bisa mengatupkan bibirku karena sangking kagetnya mendengar pertanyaan Mbak Mira. Jadi mbak Mira belum tau kalau aku istrinya Mas Jiddan. "Ini Fa, kedatangan Mbak kesini. Mau memberi tau jawaban soal cv ta'aruf yang Jiddan kirim sebulan yang lalu. Baru Mbak jawab sekarang karena Mbak baru selesai menyelesaikan pendidikan Mbak di Yaman," tuturnya. Bagai disambar petir di siang hari, seketika aku tidak bisa berfikir, hatiku mencelos. Ada apa lagi ini Ya Allah? Aku terus beristighfar dalam hati, mencoba menenangkan diri agar Mbak Mira tidak curiga. "Apa Mbak menerimanya?" tanyaku sehati-hati mungkin, agar air mata ini tidak lolos begitu saja. Aku tahan semua sesak didada. Jawablah tidak Mbak, batinku cemas. "Iya Fa. Mbak terima, karena sudah dari dulu mbak kagum sama Jiddan. Dan alhamdulillah Jiddan mengajak ambak ta'aruf. Mbak tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu," ujarnya bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD