Part 3

1197 Words
°° "Assalamualaikum." terdengar suara kaki yang semakin mendekat. "Waalaikumsalam," jawab kami bertiga. Mas Jiddan? Alhamdulillah syukurlah dia pulang hari ini. Aku begitu mencemaskannya. "Baru pulang Dan?" tanya umi. "Iya Mi," jawab Mas Jiddan seraya mencium tangan orang tuanya dan menyalimi ku. "Udah makan?" ujar umi. "Sudah Mi, di kantor," "Padahal masakan Syafa enak lho Dan. Kenapa gak makan di rumah aja? Apa jangan-jangan kamu tidak pernah makan masakan Syafa?" cerca umi. Aku shock mendengar celoteh umi. Kenapa tepat sekali. Awal-awal sih pernah makan. Makan masakanku dan bunda. "Pernah kok Mi," sangahku dan aku langsung terdiam. Kenapa kok aku yang jawab. Kan yang ditanya Mas Jiddan. Ya Allah dasar aku! "Jiddan ke kamar dulu Mi, Bi," pamitnya. "Iya. Hari ini umi dan abi menginap disini satu malam aja ya?" kata umi. Jleb! Aku tak bisa berkutik harus menjawab apa kulihat Mas Jidan santai saja mendengarnya. "Siap Mi, Bi. Kok semalam doang sih Mi," jawab Mas Jiddan dengan santainya. Aku melebarkan bola mataku. Kaget mendengar respon Mas Jiddan. Bukan, bukan aku tak mengizinkan umi dan abi menginap disini, aku malah senang. Cuman aku takut umi dan abi tau bahwa aku telah berbohong kepada mereka. Bukankah 2 hari ini Mas Jiddan tidurnya di ruang kerja. Semoga untuk malam ini dan malam malam seterusnya tidak begitu. Dan mungkin dia tidur di ruang kerjanya ada berkas berkas yang harus dia selesaikan. "Gimana Sya?" tanya abi. "Iya bi silahkan. Syafa senang rumah tambah rame," jujurku. "Maka nya cepet cepet bikin baby ya. Umi sama abi udah ga sabar pengen gendong cucu lho Sya," ujar umi. Double Jlebb ini namanya, kulirik Mas Jiddan terlihat raut wajahnya menegang mendengar apa yang dibicarakan ummi. Karena nyatanya kita seperti orang asing. Aura ruang keluarga mendadak berubah drastis. "Doain ya Mi, semoga Allah segera memberi momongan," kataku memecah kesunyian akibat pertanyaan umi. "Selalu abi dan umi selalu mendoakan yang terbaik. Tinggal kalian berusaha dan berdoa," ujar umi. "Yasudah sana antar suamimu ke kamar. Sepertinya dia kelelahan," lanjut umi. "Iya Umi. Syafa pamit ke kamar dulu ya Bi, Mi," merekapun mengangguk. Dan aku pun beranjak menuju kamar. Tidak ada pembicaraan diantara kami, sampai ke kamar pun diam diam aja. Aku bingung mulai pembicaraan dari mana, mungkin pemikiran Mas Jiddan juga sama sepertiku. "Sya aku mandi dulu ya?" katanya. "Iya. Kalau begitu aku siapin baju gantinya," ujarku senang. Dia hanya mengangguk kemudian berlalu. Setidaknya meskipun kita masih canggung dia mau mengajakku berbicara. Aku mengambil baju ganti untuk Mas Jiddan dan menyiapkan alat sholatnya, ini sudah jam 4 pasti dia belum sholat. "Tidak ikut sholat?" katanya. Aku mendongakkan kepalaku. Mas Jiddan sudah selesai mandi tapi kenapa aku tidak sadar. Aku terlalu fokus dengan novel yang k****a jadi mana tau kalau Mas Jiddan keluar dari kamar mandi. "Sudah sholat mas tadi bareng umi dan abi," jawabku. Dia menganggukkan kepalanya dan menyegerakan sholatnya. °° Setelah sholat isya' aku, Mas Jiddan, umi, dan abi duduk di ruang keluarga menikmati hiburan di televisi. Kulirik Mas Jiddan di sebelahku, dia begitu fokus melihat tayangannya. Padahal aku menunggunya bercerita kemana 2 hari ini dia pergi. Meskipun aku sebenarnya tau dia berada dimana. Tapi aku ingin Mas Jiddan sendiri yang bercerita kepadaku. Kita kan sepasang suami istri. Apa salahnya untuk terbuka satu sama lain? Jam sudah menunjukkan pukul 21.00 dan abi, umi pun pamit untuk istirahat terlebih dahulu. Tinggalah aku dan Mas Jiddan berdua diruang keluarga. Inginku bertanya kepadanya tapi bibir ini terkatup tak berani bersuara. "Yuk istirahat juga, sudah malam," ajaknya. "Baik mas," aku mengiyakan ajakannya padahal aku masih menunggunya bercerita. Tapi nihil sesampai di kamar Mas Jiddan langsung tidur tanpa mengucapkan satu hal apapun. Aku ikut berbaring di sebelahnya, aku tidak bisa tidur memikirkan hal-hal yang sebenarnya aku tidak tau alasannya. Kenapa dia akhir-akhir ini? Kenapa dia begitu berbeda? Tidak seperti awal-awal. Saat-saat dia datang mengajakku ta'aruf dan meminta ku ke abi. Dia yang selalu tersenyum kearahku. Senyum yang tak pernah padam menghiasi wajah tampannya. Kini senyum itu hilang. Hanya muka datar yang mengiasi wajahnya. Ada apa sebenarnya? Memikirkan itu semua membuatku mengantuk. Aku terbangun di tengah malam karena tenggorokanku kering, kutoleh sebelah Mas Jiddan tidak ada. "Kemana Mas Jiddan?" gumamku. Niatku ingin pergi ke dapur terhenti saat melewati ruang kerja Mas Jiddan aku mendengarkan ada seseorang yang tengah berbicara, yang membuatku pernasaran mereka menyebut namaku. Kucoba mendekat pelan-pelan. "Tapi Mi, aku tidak mencintainya. Itu jujur. Itu faktanya. Aku berusaha mencintainya 5 hari ini. Tapi tetap saja Mi, aku hanya menghormatinya sebagai istri Jiddan," Deg! Hatiku mencelos mendengar penuturan secara gamblang dari mulut suamiku sendiri. Jadi selama ini? Aku menahan tangis, kutepuk dadaku pelan agar rasa sakit ini musnah seketika tapi tidak bisa, sakit ini semakin menyesakkan d**a. Jangan cengeng Syafa! kuatku dalam hati. "Ini masih 5 hari Jiddan, kamu belum genap seminggu juga bersamanya. Belajarlah mencintai nya, dia begitu tulus menerimamu. Dia wanita yang sholehah Jiddan. Umi dan abi juga tau siapa keluarganya, bagaimana background bunda dan ayahnya. Dia anak yang baik. Kau masih mengharapkan Namira? Iyaa kau masih mengharapkan dia?" kudengar suara umi disana. Aku tidak boleh mendengar kan pembicaraan mereka lebih jelas lagi. Buru-buru aku masuk ke kamar. Tenggorokanku yang gersang ini sudah tidak ingin minum. Semua yang barusan kudengar berputar-putar difikiranku. Namira? Siapa dia? Apa hubungannya dia dengan Mas Jiddan. Dan kalau urusan Mas Jiddan tidak mencintaiku tidak apa-apa, itu tugasku untuk membuatnya mencintaiku. Wajar saja dulu di SMA dia mungkin tidak mengenalku dan kita tidak bertemu setelah dia lulus. Aku mencoba berfikir positif saja saat ini. °° Setelah sholat shubuh, aku beranjak ke dapur. Hari ini aku akan memasak tumis kangkung, tempe goreng, dan ayam goreng. semoga umi dan abi suka dengan masakanku hari ini, batinku. "Pagi Sya?" Aku menoleh ternyata umi, "Pagi Umi, udah bangun Mi?" "Udah Sya, Jiddan belum bangun Sya?" tanya umi. Ah iya Mas Jiddan, setelah kejadian tadi malam aku dia belum kembali ke kamar. Mungkin dia tertidur di ruang kerjanya. "Belum Mi," "Sini Umi bantu bantu masak," tawar umi. "Tidak usah Mi, ngerepotin umi jadinya," "Tidak apa-apa umi juga suka memasak kok," Kami terus bercengkrama sepanjang kegiatan kami memasak. Setelah itu Mas Jiddan turun di susul dengan abi. Mereka sudah siap di meja makan, aku dan umi menata hasil karya kita pagi ini. Kami sangat menikmati makan pagi ini. °° "Sya tolong siapkan kemeja kantor saya ya," pinta nya. "Iya Mas," buru-buru aku mengambil semua keperluan yang Mas Jiddan perlukan. Oh iya abi dan umi baru saja pulang. Karena ada sesuatu hal yang harus abi urus. Maka nya mereka pulang setelah makan pagi. "Ke kantor jam berapa Mas?" tanyaku. "Jam 9," "Ya sudah Mas, ini sudah jam 8," "Iya," setelah itu dia masuk kamar mandi. °° [Jiddan Pov] Seperti rutinitas biasanya hari ini aku pergi bekerja, sebenarnya hari ini aku libur. Tapi entah kenapa aku tidak betah di rumah. Bukan tidak betah, hanya saja aneh rasanya berdua dengan dia. Sejujurnya aku kasihan melihat dia, dia berusaha menjadi istri yang baik untukku, aku saja yang belum bisa menjadi imam yang baik untuknya. Aku tidak berangkat ke kantor melainkan pergi ke apartemen Bagas. Dia adalah sahabat sekaligus rekan kerja ku. Kami bersahabat sejak SMA dan sampai sekarang ini. "Tumben ente kesini Dan? Biasanya hari libur ente gunain buat malas-malasan di rumah?" celoteh Bagas.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD