Part 2

1154 Words
°° "Mas?" pangilnya. "Ada apa?" ujarku tanpa mengalihkan mataku dari layar ponsel yang kugenggam. "Bolehkah aku memasak? Kita dari tadi belum makan," sahutnya polos. "Silahkan. Lain kali gak usah izin. Sok langsung aja. Rumahku rumahmu juga kan?" Dia tampak tersenyum malu, "Iya Mas. Ya sudah aku ke dapur dulu Mas " ucapnya. Dia keluar dari kamar dan pandanganku terjurus ke arahnya. Kutatap punggung yang kini perlahan menjauh ke seberang. Aku masih belum terlalu mengenalnya, dan rasa ini pun masih hambar. Aku tidak bisa merasakan debaran layaknya orang jatuh cinta. Maafkan aku Syafa, batinku. Sudah 4 hari kita bersama tapi tetap saja Syafa masih terlihat canggung kepadaku. Jarang sekali aku dan dia mengobrol berdua, kalau memang ada hal-hal yang penting saja kita berbicara. Entah dia nya malu, atau memang aku nya yang malas untuk mengobrol. Udah 2 hari ini aku pergi ke kantor dan pulang selalu malam, di karenakan banyak deadline yang tercecer jadi mau tidak mau aku harus kerja extra untuk 2 hari ini. Sejak kemarin aku berangkat pagi, sebelum Syafa bangun aku sudah berangkat dan pulang disaat Syafa tertidur. Benar-benar seperti dua orang yang tinggal dalam satu atap tapi mereka terasingkan oleh keadaan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00, pasti Syafa sudah tidur. Ku buka pintu rumah pelan-pelan agar tidak menganggu tidur Syafa. Ya sejak aku bekerja Syafa selalu menungguku pulang dan dia selalu tertidur di sofa ruang tamu. Di meja makanpun hidangan makanan selalu dia siapkan, tapi tak pernah kumakan. Karena aku sudah makan di kantor. Aku tidak berani untuk menggendongnya. Aku merasa risih saja. Aku tidak berniat jahat kepadanya. Cepat cepat aku beranjak menuju ruang kerja kerjaku. Sudah 2 hari ini pula aku tidak tidur di kamar, aku tidur di ruang kerja. Dan pagi-pagi sekali aku berangkat lagi. °° [Syafa Pov] Sudah 2 hari ini aku tidak bertemu dengan Mas Jiddan. Entah ada apa dengannya aku tidak tau. Dia bukan seperti Mas Jiddan yang ku kenal sebelumnya. Mas Jiddan yang hangat, peduli denganku, dan perhatian-perhatiannya hilang, musnah seketika. Terakhir aku bertemu dengannya. Tiga hari yang lalu. Waktu kami pertama pindah kerumah ini. Sejak itu tiba tiba esok paginya dia sudah pergi. Sampai malam pun kutunggu tidak ada tanda-tanda dia akan pulang, dan pagi harinya aku terbangun di sofa ruang tamu. Benar benar sepi sunyi di sini. Aku duduk di taman depan, memikirkan semua yang terjadi akhir-akhir ini. Kemanakah Mas Jiddan? Tidur dimana dia? Dan kenapa dia tiba-tiba berubah. Pikirku sudah jauh melayang. Banyak yang ingin ku tanyakan padanya, tapi selalu saja lidah ini kelu untuk berbicara dengannya. Apakah dia mencintaiku atau sebaliknya? Ya Allah Ya robb jika memang ini ujian darimu berilah hamba rasa sabar agar hamba mampu menjalani semua ujianmu, batinku. Tak terasa air mata sudah membanjiri mata dan pipiku. Aku menangis tersedu-sedu meluapkan rasa yang selama ini meyesakkan d**a. Hari semakin gelap aku masuk ke kamar untuk menenangkan diri. Mungkin malam ini Mas Jiddan tidak pulang lagi, tapi entah kenapa aku tetap saja memasakan dia makanan meskipun aku tau bahwa Mas Jiddan tak akan menyentuh makanan ini sedikitpun. Aku kembali tetap menunggu nya di ruang tamu. Hingga jam set 12 mata ini tak bisa untuk di ajak berkompromi, sudah tidak kuat untuk tetap terjaga. Akhirnya nyenyaklah aku. Aku terbangun pukul 02.00 berniat untuk pindah ke kamar karena lagi dan lagi tertidur di spfa. Saat aku menuju kamar entah ada angin dari mana aku ingin pergi ke ruang kerja Mas Jiddan. Mungkin efek rindu. Hampir 2 hari ini aku tidak menatap wajah nya yang tampan. Aku terkekeh mengingat betapa gugupnya aku kala bertemu dengan Mas Jiddan. Kubuka pelan-pelan pintu kamar, dan ternyata di sana Mas Jiddan tertidur di meja kerjanya. Buru-buru kututup pintunya dan berlari ke kamar. Sesampainya di kamar kututup pintu dan terduduk menangis meratapi ini semua. Jadi dua hari ini Mas Jiddan pulang tapi dia enggan untuk menemuiku? Makanya dia tidur di sana? Padahal dia tau aku ketiduran di sofa tapi dia tidak membangunkanku. Aku menangis tersedu-sedu. Kutahan suaraku agar Mas Jiddan tidak mendengar. Setelah lega menangis aku langsung bergegas ke kamar mandi, mengambil air wudhu dan menunaikan sholat malam. Kuadukan semua kepada Rabbku dengan berurai air mata. Keesokan harinya ku lihat lagi Mas Jiddan di ruang kerjanya, sudah pergi lagi. "Sudah pergi ternyata," sesalku. Kulanjutkan dengan berbagai aktivitas dirumah, mulai dari memasak, mencuci, mengepel, menyapu dan dengan segala aktivitas lainnya. Dan akhirnya semua selesai pukul 09.30. Ku hempaskan tubuhku di sofa ruang keluarga untuk istirahat sambil menonton televisi. "Assalamualaikum." terdengar ada sesorang yang datang. Aku bergegas menuju pintu. "Waalaikumsalam eh Umi, Abi." ucapku seraya mencium tangan mereka berdua. Ternyata yang datang orang tua Mas Jiddan. "Apa kabar Fa?" tanya umi. "Alhamdulillah baik Umi. Umi sama Abi apa kabar?" tanyaku balik, kamipun masuk kedalam. "Alhamdulillah. Kami pun baik juga Syafa," kali ini abi yang menjawab. "Gimana sama Jiddan Sya?" tanya ummi. "Alhamdulillah baik Umi, Mas Jiddan baik sekali ke Syafa," jawabku tersenyum. Maafkan aku Ya allah aku telah berbohong. Tapi ini demi kebaikan kita juga. Toh selama ini Mas Jiddan memang baik, aku masih dibolehkan tinggal dirumahnya. Dan melakukan apa yang aku mau disini. "Alhamdulillah Umi senang mendengarnya," ummi tersenyum lega. Entah, umi benar benar sumringah mendengar jawabanku. "Umi, Abi makan dulu yuk. Syafa udah masak. Tapi ya seadanya," tawarku. "Pasti enak ini. Kata Bundamu kamu suka sekali masak ya?" tanya umi. "Cuma hobbi aja Umi," jawabku. Aku pun mengambilkan piring dan sendok untuk umi dan abi. Kamipun berkumpul di meja makan. Abi dan umi sedang menikmati makananku dengan senyum senang. Aku semakin bahagia karena mereka menikmati hasil karya ku pagi ini. Biasanya aku hanya makan sendiri saja di meja makan yang cukup besar ini. Meskipun aku hanya memasak orek tempe, dan telur mereka mau memakannya. Setelah selesai makan kami berkumpul di ruang keluarga. "Pasti Jiddan senang banget ya tiap hari ada yang masakin?" goda umi. Inginku jawab boro boro mi. Mas Jiddan aja ga pernah menyentuh makananku terakhir kali waktu dirumah. Selain itu kita selalu beli. Tapi kutahan. Aku hanya bisa tersenyum menjawab pertanyaan umi. "Jiddan mulai kerja kapan Sya?" tanya abi. "Tiga hari yang lalu Bi," jawabku. "Bener-bener itu anak, padahal Umi menyuruhnya untuk cuti seminggu," ujar umi. "Tidak apa-apa Mi," ucapku membela. "Anak itu sejak dulu memang pekerja keras. Apalagi sekarang meneruskan perusahaan abi, dia memang pemimpin yang baik untuk karyawannya dan adil tanpa membeda bedakan status bawahannya. Umi harap Syafa mau menerima suamimu yang gila kerja itu ya," tutur ummi sambil memegang tanganku. Ternyata Mas Jiddan adalah seorang CEO yang bertanggung jawab untuk semua karyawannya. Jelas saja dia pergi pagi pulang malam. Ternyata dia seorang pemimpin perusahaan yang dirintis oleh abinya. Maka dari itu Mas Jiddan mempunyai tanggung jawab untuk meneruskan. Dan apa yang kupikirkan tadi malam. Benar-benar membuatku malu, aku telah su'udzon padanya. Mungkin Mas Jiddan banyak kerjaan yang tidak bisa dia tinggal, dan saat pernikahan kami dia mengabil cuti otomatis dia harus menggantinya sekarang. Bisa-bisanya aku memikirkan yang tidak-tidak. Allah telah menjawab semua doaku. "Iya Umi pasti," jawabku menyakinkan. °°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD