HM : Bagian 8

1202 Words
Sekeras apapun batu bisa hancur karena air. Seperti juga aku, sekuat apapun aku bisa hancur karena kamu!" ? ? ? Nadya dan Arisen telah tiba di depan rumah Nadya. Mereka terpaksa pulang dengan tangan kosong karena memang toko tas itu tutup selama seminggu. Nadya sendiri enggan membuka suara terlebih dahulu jika bukan Arisen yang bertanya atau mengajaknya berbicara. Cewek itu mungkin masih bingung dan merasa sedikit kecewa karena kenyataan yang ia ketahui hari ini. Nadya turun dari boncengan motor Arisen dengan perlahan, kemudian melepas helm yang digunakannya dan mengembalikannya kepada Arisen. "Tidur ya, Nad. Jangan lupa makan!" perintah Arisen sambil mengacak-ngacak rambut Nadya. "Iya, kamu juga ya?" Jawab Nadya pelan sambil tersenyum kecil. "Kalau gak lupa ya?" kata Arisen sambil tertawa, niatnya sih hanya menggoda cewek didepannya itu. Namun, sayang sekali, Nadya hanya merespon dengan senyum tipis. "Ya udah aku pulang dulu ya?!" "Iya, hati-hati." Arisen pun menghidupkan motor kesayangannya itu bersiap melaju, namun sedetik kemudian ia mematikan motornya lagi membuat Nadya mengernyit bingung. "Kenapa?" tanya Nadya. "Em.. Aku, aku minta maaf ya, Nad?" kata Arisen sedih. Nadya yang mendengar kata maaf sudah berpikir yang tidak-tidak. Jangan-jangan Arisen benar punya yang lain? Atau Arisen tahu kalau dirinya menangis? Ataukah sebenarnya Arisen akan benar-benar pergi meninggalkannya? "Untuk apa?" tanya Nadya dengan jantung yang berdetak cepat, takut jika apa yang ia pikirkan benar adanya. "Karena hari ini aku ngajak kamu pergi tapi lihat, kita gak dapat apa-apa. Cuma dapat pegal dan capek aja." Jawaban Arisen membuat Nadya bernafas sedikit lega, namun sedikit kecewa. Ternyata cowok itu hanya ingin meminta maaf soal seperti itu. "Oh iya, gak apa-apa kok, Sen. Aku seneng juga kok." kata Nadya dengan senyum tulus. "karena hari ini juga aku bisa tau apa yang gak aku tahu Sen." lanjutnya dalam hati. "Ya udah aku pulang ya. Jangan lupa makan, inget!" "Iya, Sen." "Daaaa!" Arisen pun melaju dengan kecepatan sedang menyusuri jalan sekitar rumah Nadya. Dan Nadya sendiri masih memperhatikan Arisen sambil melambaikan tangannya hingga cowok itu hilang di ujung belokan. Nadya berbalik, berjalan memasuki rumahnya dengan muka masam. Cewek itu masih saja memikirkan tentang Shela. Ada apa Arisen dengan Shela, mungkin kah? Ah tidak, Arisen masih dekat dengannya bukan? Di lemparnya tas kecil itu ke atas tempat tidur. Tanpa mengganti bajunya, Nadya langsung tengkurap di atas kasur kesayangannya. Kedua tangannya menopang dagu dan matanya sibuk memandang ke luar jendela. Drt.. Drrt Getaran handphone terdengar, membuat Nadya yang sibuk berpikir terpaksa mengalihkan perhatiannya. Dengan berdecak ia meraih tas kecilnya mencari handphone miliknya. Ketos Sinting Malam cengil? Kedua alis Nadya langsung menyatu setelah membaca pesan itu. Si ketos mengirim pesan padanya? Bukankah pertemuan terakhir mereka seperti anjing dan kucing? Dia juga memanggilnya cengil? Apa itu? Ketos Sinting Malam cengil ? 17.15 Cengil? 17.18 Cewek tengil? 17.19 Melihat balasan dari Revan, Nadya pun langsung memanyunkan bibirnya. Ia kira si ketos itu mulai baik ternyata sama saja. Oh. 17.23 Hanya itu jawaban yang dipilih oleh Nadya. Dirinya sedang malas. Benar-benar malas jika harus berdebat dengan Revan. Ketos Sinting Cuek amat sih? 17.25 Kali ini Nadya hanya membaca pesan dari Revan. Tidak ada gunanya juga bukan membalas pesan itu? Nadya memilih meletakkan handphone nya di atas nakas, dirinya memilih berjalan menuju jendela kamarnya. Di luar gerimis dengan langit mendung menandakan sebentar lagi hujan lebat. Dalam hati Nadya ingin sekali keluar dan menanti turunnya hujan. Ia ingin menyatu dengan hujan, karena jujur saja saat menangis ia ingin sekali hujan yang menghapus jejak air matanya. Menutupi luka yang ia pancarkan dari matanya. Selama ini dirinya telah memendam rasa kecewa teramat dan mencoba untuk kuat, bahkan luka yang diberikan Arisen tadi ia coba abaikan. Dirinya tak ingin kehilangan Arisen, dirinya tak ingin salah langkah. Jika boleh jujur ingin ia marah dan mengabaikan Arisen karena sikap Arisen sekarang hanya menambah luka dan juga bimbang di hatinya. Dilihatnya batu berukuran sedang di deket pohon mangga depan rumahnya. Batu itu telah tergerus air sekitar separuh bagian. Sejenak otak cantiknya itu berpikir, batu sekeras itu bisa berlubang dan akan hancur karena air. Sama halnya dengan hatinya yang akan hancur perlahan karena perlakuan Arisen kepadanya. Drt.. Drt Handphone Nadya kembali bergetar, membuyarkan lamunannya. Cewek itu segera menghampiri nakas dengan kaki dihentakan kesal, pasti ketos itu yang menganggunya. Kening Nadya berkerut saat tahu jika Arisen yang mengirimkan pesan. Risen Jelek Jgn lupa mkn, istirahat, bsk pagi aku jemput? 17.30 Iya, jgn lupa mkn & istirahat jg ya? 17.33 Setelah membalas pesan itu, akhirnya Nadya memilih mandi dan bersiap untuk solat isya. ? ? ? Revan. Cowok itu memilih duduk sendirian di pojok Cafe. Pikirannya masih berputar-putar hanya untuk satu nama, Nadya. Cewek itu cewek yang ia temui karena sampah. Unik, dia tidak bersalah tapi tetap mau kena hukum. Sesungguhnya Revan mengetahui siapa yang membuang sampah itu, namun dia lebih tertarik mengerjai cewek tengil itu. Dia sengaja percaya dengan teman cewek itu agar bisa lebih dekat dengannya. Ah dan untuk nomor, dia sempat memutar otak agar mendapatkan nomor cewek itu. Sampai-sampai ia harus tebal muka meminta nomor ke temannya yang kebetulan satu kelas dengan Nadya. "Gimana caranya supaya bisa deket sama tu cewek?" tanyanya pada diri sendiri. Karena jujur saja dia sedikit kecewa karena kabarnya Nadya telah memiliki pacar yang siapa namanya dia lupa. "Sendirian aja!" sapa Fani salah satu teman Nadya yang sudah lama menyukai Revan. Revan yang kaget pun hanya menganggukan kepala. "Ngapain di sini sendiri sih, Rev. Temen kamu ke mana?" tanya Fani ramah. Jujur saja selama ini Fani sangat menyukai Revan bahkan dirinya rela menjadi stalker sejati diakun cowok itu. "Main sendiri. Baru bosen makanya D isini." jawab cowok itu ramah. Ah pantas saja Fani jatuh hati. Fani hanya merespon dengan anggukan, kemudian cewek itu beranjak untuk memesan dan kembali duduk bersama Revan. Jantung Fani berdegup kencang, pipinya merona merah merasa malu. Ia belum pernah sedekat ini dengan Revan. Mereka memang kenal, namun hanya sebatas nama dan juga saling tegur sapa selebihnya tidak pernah. "Serasa ngedate ya kita." kata Fani dengan senyum manis. Revan sempat tertegun sebentar, bukan karena kalimat yang diucapkan cewek didepannya ini. Tapi karena senyum milik Fani. Senyum itu mengingatkan Revan dengan seseorang, namun tetap saja dirinya tak merasakan getaran apapun seperti saat ia berdekatan dengan Nadya. "Ehem.. Lo ke sini sendiri?" tanya Revan mengalihkan, meski terdengar bodoh namun tak apalah. "Iya." jawab Fani ringan terlampau senang. "Teman kamu mana?" tanya Revan lagi, sebenarnya ia ingin sekali bertanya tentang Nadya. "Aku sendiri ke sini, toh udah malam mereka jarang keluar malam." Revan hanya menganggukan kepala sebagai respon, "Kamu udah lama temenan sama mereka?" "Lumayan, satu tahun ada." jawab Fani sambil memakan kentang gorengnya. "Diantara kalian jomblo semua atau ada yang pacaran?" "Owh itu, diantara kita cuma Nadya sama Citra yang punya pacar." "Nadya?" tanyanya pelan namun masih terdengar oleh Fani, yang membuat cewek itu langsung menaikkan alis bingung. "Iya Nadya, anak IPA 3 pacarnya Arisen." kata Fani polos karena memang ia hanya merasa senang saat ini tanpa ada rasa curiga dan sebagainya. "Baru tau." kata Revan pura-pura, memancing Fani bercerita lebih. "Ish, gimana sih Ketos kok ketinggalan berita. Mereka udah lama tauk pacarannya 4 tahun klo gak salah." cloteh Fani riang tanpa memperhatikan ekspresi wajah Revan yang berubah menjadi murung. "Jadi sudah lama ya? Apa mungkin gue bisa rebut hatinya?" batin Revan sambil menatap Fani sendu. ? ? ?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD