HM : Bagian 1

905 Words
“Jangan seperti layangan yang putus lalu pergi dan minta dikerjar.” ......... “Kita putus ya, Nad?” ucap Arisen saat mereka tiba di depan rumah Nadya. Sementara itu, Nadya hanya mampu mematung di atas boncengan motor Arisen. Pikirannya melayang-layang mencari sesuatu yang salah dari apa yang didengarnya saat ini. “Nad, kita putus ya? Aku udah gak bisa lagi lanjutin semua ini,” ucap Arisen sekali lagi yang membuat kesadaran Nadya kembali. Ternyata dia benar-benar tidak salah mendengar tadi. Tapi, tapi kenapa Arisen tiba-tiba meminta hubungan mereka berakhir? “Sen, kamu yakin? Ki-kita udah 4 tahun pacaran ‘kan? Tapi kenapa putus? Kamu bosen, ya?” tanya Nadya dengan suara sedikit bergetar menahan tangis. Gadis mana yang akan rela hubungan yang mereka pertahankan berakhir begitu saja bahkan tanpa adanya alasan yang jelas? Dia benar-benar merasa dipermainkan saat ini. Arisen memilih turun dari motor dan berdiri tepat di samping sang gadis dengan lembut tangannya terulur menyentuh pucuk kepala Nadya. “Bukan gitu, Nad, tapi ini emang yang seharusnya. Sebenarnya sih aku pengen ngomong ini dari kemarin dan aku rasa sekarang waktunya.” “Tapi kenapa, Sen?” Akhirnya, tangisan yang sedari tadi Nadya tahan pecah seketika. Harusnya dia tidak boleh selemah ini, bukan? Seharusnya ia harus kuat. Ini pasti hanya karena masalah seperti yang telah lalu. Semua bisa diselesaikan dan mereka tidak akan putus. Ya, Nadya yakin! “Jangan nangis, pliss! Nad, aku sayang kamu, tapi ini jalan yang harus aku ambil, tolong kamu ngerti, ya?” kata Arisen lembut sambil menyeka air mata yang mengalir membasahi pipi Nadya. Nadya yang memang telah merasa hancur pun menjadi muak dengan semua sikap Arisen kepadanya kini. Mau selembut dan sehalus apapun perlakuan Arisen saat ini tidak bisa membuatnya merasa lega sebelum cowok itu menarik kata putus yang telah ia ucapkan. Nadya menyingkirkan tangan Arisen dengan kasar. Matanya menatap nyalang sekaligus kecewa kepada kekasihnya ini. “Kamu kenapa sih, Sen? Salah aku tuh apa? Aku kurang apa? Kita baik-baik aja ‘kan tadi?” tanyanya tidak bisa santai sama sekali. “Nad, plis ngertiin aku dong!” pinta Arisen sedikit membentak Nadya, sedangkan yang dibentak kini tersenyum meremeh dengan air mata yang terus mengalir. Hatinya perih, teriris bak tangan tergores bambu. Darahnya tidak akan berhenti. “Ngertiin? Di mananya? Selama ini aku kurang apa sih, Sen?” Nadya menghela napasnya. “Ngertiin lo yang sibuk mentingin temen-temen lo? Yang selalu ngalah dan pertahanin lo setiap kita debat dan lo minta putus? Apa lagi?” “Oh iya, ngertiin lo yang selalu pergi tanpa kabar dan ditanya ke mana selalu bohong? Apa lagi sih?” Nadya berpikir sambil tertawa remeh. “Ah iya, gue selalu tahu apapun tentang lo dari orang lain? Iya gue udah ngertiin lo. Lo jarang ngasih kabar, jarang ada waktu buat gue. Gue kurang apa sih?” Nadya bersikap seolah menghitung pengertian yang selama ini ia berikan. Bukan maunya mengungkit, hanya saja dia merasa tidak pernah dihargai oleh Arisen sampai detik ini. Semuanya ydia lakukan seperti dianggap angin lalu yang tidak penting untuk dikenang. “Ck. Drama banget sih, Nad! Siapa suruh lo pertahanin gue? Siapa suruh lo nunggu gue? Siapa suruh lo tanya sama temen gue dan gak nunggu gue ngasih tahu lo?” Kini Arisen merasa tak terima dengan apa yang diucapkan Nadya. Terlebih kata sapaan mereka yang biasanya aku-kamu menjadi lo-gue. “Gue pertahanin lo karena sayang! Gue nunggu lo karena gue cinta! Dan ini, lo harus inget ini.” Nadya memandang Arisen dengan sengit. “Gue tanyain lo kemana-mana ke temen-temen lo ataupun ke adek lo itu juga karena gue khawatir. Sekarang, siapa yang gak bisa ngertiin?! Masih gue?!” bentak Nadya lalu turun dari motor Arisen dengan kasar. “Harusnya, dari dulu gue lepas lo, Sen,” lirihnya. “Harusnya gue gak egois pertahanin elo setiap lo minta putus. Harusnya ... gue gak perlu bersikap bodoh karena gue butuh lo, Sen. Harusnya, harusnya saat semua orang bilang gue bodoh pertahanin elo, gue mundur saat itu juga ‘kan, Sen?” lanjutnya lalu berbalik membelakangi Arisen masih dengan isak tangis yang justru bertambah hebat. “Sial! Bu-bukan gitu, Nad. Aku gak maksud. Arghh... please, Nad jangan kaya gini. Nad, kita bisa temenan. Please jangan buat sesuatu yang bikin hubungan kita memburuk.” Dan detik selanjutnya Arisen segera memeluk Nadya dari belakang. “Gak papa kok, Sen,” ucap Nadya pelan lalu menyeka air matanya. “Aku terima kita putus. Semua gak berubah ‘kan?” Kini bukan hanya Nadya yang menangis. Karena tanpa disadari siapa pun, Arisen ikut menjatuhkan air matanya. Bukankah harusnya dia senang Nadya mau putus dengannya? Bukankah tadi dia yang meminta? “Iya. Dan aku nggak akan cari yang lain lagi Nad. Aku nggak mau pacaran lagi,” ucapnya pelan lalu melepas pelukannya di pinggang Nadya. “Makasih ya, Sen, buat empat tahunnya. Dan maaf buat kesalahan gue selama ini.” Ada jeda sebentar sebelum Nadya melanjutkan kalimat yang akan menimbulkan sesak didadanya. “Gue lepasin lo, Sen. Maafin gue yang selama ini posesif sama lo, bawel, suka ngeyel, banyak maunya, dan selalu nyusahin lo. Gue ... pergi ya, Sen? Jangan dikejar takut gue baper lagi hehe.” Tanpa menoleh sedikitpun ke arah Arisen, Nadya memilih berlalu menjauh dari pekarangan rumahnya. Untuk saat ini dia tidak ingin pulang. Dia butuh waktu untuk sendiri. “Makasih, Nad. Maaf aku terlalu egois buat kamu. Maaf, Nad ...” lirih Arisen memandang nanar punggung kecil Nadya yang semakin menghilang. .........
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD