HM : Bagian 2

1301 Words
“Saat ini apapun yang aku lakukan serasa sangat hampa. Semua rasa bahagia itu ikut pergi bersama air mata.” ........ “Kak bangun!!!” teriakan kecil dari luar kamar sangat mengganggu pendengaran, apalagi teriakan itu diiringi dengan gedoran pintu yang cukup keras. Namun, sebising apapun sang pemilik kamar tetap terlelap layaknya putri tidur yang tak akan bangun sebelum sang pangeran datang. “Kakak bangun oyy!!!” Suara dari luar kamar itu semakin keras. “Kak ada kak Arisen di bawah, bangun!!!” “Enghh....” Nadya akhirnya membuka mata. Direnggangkannya otot-otot tubuhnya. Lalu ia duduk sebentar membiarkan darahnya mengalir lancar sembari mengusap matanya yang masih setengah terpejam. Setelah dirasa cukup, Nadya pun berjalan berniat membuka pintu kamarnya masih dengan mengusap-usap kedua matanya. “Apa sih, Dek? Masih pagi ganggu aja.” ucapnya malas. “Kakak niat sekolah nggak sih? Jam 6.15, Kak! Kak Arisen juga udah nunggu!” kesal sang adik sambil menunjuk pergelangan tangan kirinya yang tidak ada jam itu. “Si- siapa?” tanya Nadya ragu kepada Arsia, adiknya. “Kak Arisen,” jawabnya polos tanpa dosa kepada Nadya. Sedangkan Nadya sendiri langsung melongo mendengarnya. Apa katanya? Arisen? Bukankah seminggu ini Arisen tidak menampakkan diri di depannya? Setelah sore itu, Arisen bahkan tidak menghubunginya bukan? Lalu untuk apa sekarang Arisen datang lagi? Jika saja Arisen tahu sehancur apa Nadya setelah sore itu. Andai Arisen tahu apa yang terjadi, dia pasti tak akan berani ke sini lagi. “Kak, kok bengong sih?” tanya Arsia menggoyangkan pundak sang kakak. “Kakak mandi gih, bauk, jelek pula. Itu kak Arisen-nya juga udah nungguin lama.” “Oke.” Hanya 1 kata itu yang Nadya ucap dan sedetik kemudian Nadya berlari menuju kamar mandi. Bukan karena Arisen, tetapi memang dasar dia kesiangan. ......... Setelah 20 menit dari Nadya masuk ke kamar mandi kini dia telah siap dengan baju seragam dan juga perlengkapan lainnya. Kini hanya perlu memoles bedak tipis dan juga menyisir rambutnya, maka dia telah siap untuk turun sarapan. “Pagi Ma, Pa, Dek!” sapanya riang tanpa menoleh kearah Arisen. “Pagi, Kak!!!” ucap mereka serentak. “Kok-“ “Aku langsung berangkat ya, Ma, Pa!” potongnya cepat lalu menyalami mama dan papanya. “Gak sarapan dulu, Kak?” tanya Arsia dengan mulut penuh dengan nasi goreng spesial buatan sang mama. “Enggak. Nanti disekolah aja. Ya udah bye!” ucapnya cepat lalu berlari keluar rumah masih dengan sikap acuh kepada Arisen. “Loh kok Arisen ditinggal sih, Kak?!” teriak sang mama heran dengan sikap anaknya. Biasanya Nadya selalu riang dan penuh senyum setiap Arisen menjemputnya. Saat menuju motor Arisen pun biasanya tangan Arisen seperti tak bisa lepas dari genggamannya. “Owh iya lupa hehe...” cengirnya tanpa dosa dan bersikap seolah-olah dia baik-baik saja. “Ya udah, Tante, saya sama Nadya berangkat dulu. Om kami berangkat ya!” pamit Arisen sopan lalu menyalami tangan kedua orang tua Nadya. “Iya, hati-hati ya, Sen!” pesan mama Nadya. ......... Kini sepasang ‘mantan’ kekasih itu sedang menuju ke sekolah Harapan Nusa. Sang laki-laki membawa motor dengan kecepatan standar seolah-olah dia tak takut jika mereka telat masuk ke sekolah. Sepanjang jalan Nadya hanya mampu memandang sendu pepohonan di tepi jalan dan memilih bungkam juga diam. “Aku kira kamu udah cukup dengan waktu seminggu,” ucap Arisen memecah keheningan diantara mereka. “Seminggu? Maksudnya?” tanya Nadya sedikit berteriak. “Ya aku kira sekarang kamu akan bersikap seperti biasa setelah aku beri kamu waktu sendiri.” “Nggak akan ada cukup waktu untuk mengobati luka aku, Sen.” “Hey... aku yakin kamu bisa. Kamu kuat Nadya.” Arisen berusaha meyakinkan Nadya agar dia dapat bersikap biasa dan mereka tetap dekat. “Kekuatan aku ada dikamu, Sen. Kalau kamu pergi, kekuatan aku juga pergi,” gumam Nadya pelan agar tidak dapat didengar oleh Arisen walaupun kenyataannya gumaman tersebut masih dapat didengarnya. Setelah kalimat Nadya tak ada lagi percakapan diantara mereka. Nadya sendiri memilih merasakan sakit didadanya yang sampai detik ini belum juga mengering. Lima menit sebelum bel berbunyi mereka sampai di sekolah dan disambut pandangan meremehkan dari beberapa siswi di sekitar gerbang. “Gue kira mereka udah putus,” bisik seorang siswi dengan bed bertuliskan XII IPS IV di lengan kirinya. “Gue kira juga. Habis selama seminggu nggak pernah bareng lagi.” Kini seorang siswa berambut kucir kuda dengan bed sama ikut menanggapi bisikan temannya. “Halah paling juga tuh si Nadya lagi yang ngemis minta balikan.” Ucapan pedas itu berasa dari belakang mereka yang membuat keduanya menoleh ingin tahu siapa pemilik kalimat penuh celaan itu. “Kenapa? Gue bener kan? Lo pada nggak tahu emang kalau si Nadya sering banget ngemis jangan minta putus ke Arisen?” tanyanya penuh keangkuhan seolah berita yang dibawanya adalah sebuah berita hangat. “Eh, San mending lo diem deh. Jangan sembarangan ngomong dong!” bentak siswa berkucir kuda itu. “Bukanya lo berdua juga nggak suka sama hubungan mereka?” tanyanya tanpa dosa dengan sebelah alis yang dinaikkan. “Tapi kita nggak pernah nyebarin fitnah kayak lo ya!” “Terserah. Tapi ini fakta,” ucap Sandra acuh dan memilih pergi dari hadapan kedua kakak kelasnya itu. Menurutnya kedua kakak kelasnya itu terlalu munafik. “San!!!” teriakan nyaring dari ujung lorong itu mampu menghentikan langkah Sandra untuk menuju kelasnya. “Gila capek banget.” “Lo kenapa sih, Nad?!” tanyanya tidak sabaran. Jika tahu yang memanggilnya Nadya, dia tak akan berhenti tadi. “Hehe sori... bareng ya ke kelasnya?!” tanya Nadya riang. Sedangkan Sandra? Ah gadis itu sibuk menilai penampilan gadis di depannya ini. Nadya itu... cantik, imut, baik, pintar, putih, tinggi. Ah... dan gadis itu memiliki bulu mata panjang namun tidak selentik milik dirinya. Matanya bulat dengan lensa berwarna coklat gelap, hidungnya mancung dan cukup membuatnya iri. Hari ini ada sesuatu yang berbeda dari Nadya.. Tapi apa? Ah... Ternyata bibir gadis itu dilengkapi dengan liptin dan wajahnya dipoles dengan bedak tipis. Pantas saja hari ini dia terlihat berbeda. “San! Ayo ke kelas!” tegur Nadya membuyarkan penilaian Sandra terhadap dirinya. “Owh oke!” ucapnya pelan lalu mulai berjalan beriringan. Lalu apa yang membuat Nadya memilih bertahan dengan Arisen yang selalu meminta putus? Untuk apa juga dia selalu cemburu dengan gadis disekitarnya? Menurut Sandra, Arisen itu biasa saja. Mukanya memang tergolong lumayan tampan dengan alis tebal, hidung mancung, dan rambut hitam legamnya. Selain itu sepertinya tidak ada yang menarik dari diri Arisen. Apa sih yang membuat Nadya sebegitu sayang? “Em... Nad?” panggil Sandra ragu. Pasalnya dia ingin menanyakan apa yang dia pikirkan tadi. “Ya?” jawab Nadya riang. “Lo, kenapa bisa sayang sama Arisen? Ah sorry ya gue tanya ini. Tapi gue bener-bener penasaran. Soalnya kalian sampai 4 tahun pacaran itu ngapain aja?” tanya Sandra lebih jelas. “Gue? Ah sayang ama dia itu gak perlu alasan, San. Bagi gue, Risen itu segalanya. Dan bagi Risen, gue itu segalanya. Cukup dengan itu gue sama Risen bisa sejauh ini,” jawab Nadya sedikit ragu. Bukan ragu akan kalimatnya. Namun, dia juga ragu untuk kepantasan dia mengucapkan kalimat itu di saat hubungannya dan Arisen telah kandas dan berakhir. “Tapi, bukannya elo yang sering minta jangan putus ya, Nad?” “Siapa bilang? Aku juga pernah kok minta putus dan itu semua emang biasa ‘kan? Gue sama Risen itu sama-sama pertahanin hubungan kita kok.” Belanya agar nama Arisen ‘mantan’ kekasihnya itu tidak jelek dan dicap sebagai cowok yang tidak mau mempertahankan sebuah hubungan. “Gue sih cuman denger aja kok, Nad. Ya kalau kenyataannya gitu, kalian udah sama-sama dewasa dong.” “Sama-sama dewasa dari mana? Seminggu yang lalu aja dia putus tanpa alasan!” batin Nadya. “Ah... iya. Gue ketempat duduk gue ya!” pamitnya kepada Sandra, karena memang mereka telah sampai di kelas. ......
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD