Chapter 11

1932 Words
Aku merasakan kehangatan yang tidak pernah aku dapatkan. *** Hari berikutnya, Ravin semakin menggila. Tiada hari tanpa keributan. Setiap hari, Olly dibuat menahan amarah karena Ravin yang tidak berhenti menjahilinya. Selalu ada ide cemerlang yang Ravin gunakan untuk membuat Olly kesal. Mulai dari menaruh mainan kecoa di kasur dan membuat Olly meloncat kaget sambil menjerit seperti orang gila. Selain itu, Ravin juga menarik rambut panjang Olly dan memainkannya seperti kuda. Yang paling parah adalah Ravin memberikan minuman yang dicampur saus pedas kepada Olly. Akibatnya, Olly diare selama tiga hari berturut-turut. Rasa benci Olly pada Ravin semakin besar. Olly tidak habis pikir, mengapa seorang Ravin dilahirkan ke dunia jika kerjaannya hanya mengganggu orang? Meskipun Ravin berkali-kali membuat Olly marah, anehnya, tidak sedikitpun kemarahannya bertahan lama. Dengan mudah Olly memaafkan Ravin dan berharap laki-laki itu berubah. Sebenernya, Olly kesambet setan apa? Mengapa ia memaafkan seseorang semudah itu? Sebelum bertemu Ravin, Olly adalah orang yang tidak mudah memaafkan orang lain dan seringkali marah untuk hal yang sepele. "Mbak, tas ini gimana? Cantik, kan?" Pertanyaan Bianca membawa Olly ke alam sadarnya. Bianca menunjukkan foto tas dari sebuah toko online. "Bagus." jawab Olly. "Iya, kan? Masa temen gue bilang jelek. Dia yang jelek, bukan tasnya." Bianca mendumel sendiri. Sekarang, Olly terdampar di kamar Bianca. Bianca sama seperti Ravin, bedanya Bianca lebih manusiawi. Bianca memiliki rasa malu, sedangkan Ravin tidak punya malu. Bianca bisa diajak serius, sedangkan Ravin tidak pernah serius. Bianca cantik dan pintar, sedangkan Ravin jelek dan b**o. Persamaannya adalah jika Bianca dan Ravin disatukan, mereka menjadi komplotan dan gila bersama. "Mbak, beli tas ini, yuk! Nanti couple-an." Bianca menyuarakan ide cemerlangnya. Olly melirik harga tas tersebut. Satu juta? Olly susah payah menelan ludah. Harga tas itu bisa membayar biaya sekolah Olly di SMA 1 Bangsa. "Emm, itu," Olly meringis. Bagaimana cara menolaknya? Uang tabungan Olly tidak sebanyak itu. Kalaupun ada uang, Olly tidak akan gunakan uangnya untuk membeli barang mahal. Ketika Olly kesulitan mencari alasan, pintu kamar Bianca diketuk. Bagaikan malaikat penyelamat, Bianca melupakan pertanyaannya dan berlari membuka pintu. Olly bernapas lega. Uang tabungannya tidak jadi hangus. "Mol-mol! Bimoli! Kesayangankuuuu .. " Suara Ravin memenuhi kamar Bianca. Laki-laki itu memaksa masuk, meskipun Bianca menahannya. Olly memejamkan mata. Setelah selamat dari singa, kini, Olly harus berhadapan dengan buaya. Buaya yang sangat menyebalkan. "Bimoli .. bibir monyong lima senti .. gue punya hadiah buat lo." Ravin nyengir di depan Olly. "Gue gak butuh hadiah lo." Olly menjawab cuek. "Yaahh, padahal gue beli ini khusus buat lo." Wajah Ravin cemberut dan sedih. "Hadiah apa?" Bianca antusias. "Gue gak dikasih hadiah juga? Hadiah gue mana?" "Heh, kunyuk, ngapain gue ngasih hadiah lo? Tiap hari lo morotin jatah bulanan gue, masih gak cukup?" "Hehe, maap, dah. Serem amat lo, Kak." Bianca cengengesan. Ravin meraih tangan Olly dan menaruh kotak kecil berwarna navi dengan pita berwarna pink. "Sebagai permintaan maaf gue, hehe .. " Olly terdiam. Ia tidak ingin menerimanya. Untuk apa menerima barang yang bukan miliknya? Percuma menerima barang ini jika Ravin mengulangi perbuatan yang sama. Akhirnya, Olly mengembalikan kotak itu pada Ravin. "Percuma lo ngasih hadiah kalo lo ngulangi perbuatan yang sama. Hadiah ini cuma sogokan supaya gue mau dikerjain lo lagi, kan?" Olly menatap Ravin datar, kemudian berjalan meninggalkan kamar Bianca. Ravin mengangga dengan perkataan Olly, sedangkan Bianca cekikikan karena senang kakaknya dibuat kicep. "Ape lu?!" hardik Ravin. "Enak dicuekin?" Bianca tertawa. "Enak pala lu copot! Gue kepret pingsan lu!" *** Olly membuka pintu kamar ketika jam makan malam tiba. Pemandangan pertama yang ia lihat adalah Ravin menunggu di depan kamarnya. Laki-laki itu tersenyum bodoh sambil memegang kotak kecil yang Olly tolak tadi siang. Olly menghela napas kasar. Ravin tidak mudah menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia mau. "Apa?" tanya Olly dengan ekspresi datar. Ravin mengulurkan kotak yang ia pegang pada Olly. "Kalo lo terima, gue bakal nurutin semua kemauan lo." Olly menatap Ravin sebentar sebelum menerima kotak pemberian Ravin. Olly tersenyum miring. Penawaran yang bagus. Ia akan memanfaatkan kesempatan ini untuk balas dendam. "Lo gak bohong, kan?" "Ngapain gue bohong sama lo?" Ravin tersenyum lebar sampai terlihat gigi putihnya. "Oke, gue terima." jawab Olly. "Tapi .. lo harus melakukan apapun yang gue minta. Deal?" "Deal!" Pembalasan dimulai. *** Layar handphone Ravin menyala. Sebuah pesan masuk dan mengusik waktu tidurnya. Dengan malas, Ravin meraih handphone dan membaca pesan tersebut. Mol-mol : Ke kamar gue sekarang. Gue hitung sampe tiga. Mata Ravin hampir keluar dari tempatnya ketika membaca pesan singkat dari Olly. Tanpa berpikir dua kali, ia bangun dari tempat tidur dan berlari menuju kamar Olly. Sedangkan, Olly tersenyum senang. Rasanya menyenangkan membalas perbuatan Ravin. Pada hitungan ke empat, pintu kamar Olly diketuk. Ia membuka pintu dan menemukan Ravin yang panik. Keadaan Ravin jauh dari kata baik. Laki-laki itu berantakan. Di ujung bibir Ravin terdapat bekas air liur. "Telat." "Gila ya lo! Ini jam berapa?!" Ravin menarik-narik rambut. Olly membuatnya frustasi. "Jam lima pagi." "HAH?!" Ravin melotot. "Buset, lo mau ngepet?" "Ngepet bukan jam lima pagi." "Oh, iya, deng, hehe .. " Ravin menggaruk kulit kepala sambil cengengesan tidak jelas. Olly memutar bola mata jengah sebelum berkata, "buatin teh anget buat gue." "Apa?" Ravin ingin memastikan kembali perkataan Olly. Ia tidak salah dengar, kan? Seorang Olly memerintah Ravin? "Buatin teh anget buat gue." "Kagak! Emang gue pembantu lo apa?" Ravin langsung menolak. "Oh, gitu .. " Olly menyerahkan kotak kecil pemberian Ravin. "Nih, gue balikin." "Loh, kenapa dibalikin?" "Lo gak mau nurutin kemauan gue." Ravin berdecak kesal. Ia menarik-narik rambutnya. Perkataan Olly membuat Ravin menahan kekesalan. Ravin menatap Olly, kemudian kembali menarik rambutnya. "Oke, gue buatin lo teh anget. Puas?!" Ravin akhirnya mengalah. Olly tersenyum senang. "Yang enak, ya .. kalo gak enak, gue balikin hadiah lo." "Iye!" Ravin berjalan sambil menghentakkan kaki kesal. s*****a makan tuan. Niatnya yang baik malah menjadi s*****a yang menyerang Ravin. s**l! Sebelum Ravin menuruni tangga menuju dapur, Olly memanggil Ravin kembali. "Ravin," Ravin berbalik dan memaksakan senyum. Ia memperhalus suaranya. "Iya? Ada perlu lagi, tuan putri? "Gulanya jangan kebanyakan, ya. Cukup lima ratus butir." Olly tersenyum manis. "Apa?! Lo mau gue mati gara-gara ngitung butir gula?! Nanti kalo trending gimana? f******k, Twitter, ** rame ngomongin gue dengan judul 'seorang anak SMA meninggal dunia karena menghitung butir gula'. Gak lucu, mol-mol!" Olly mengangkat bahu cuek, kemudian memasuki kamarnya. Di dalam kamar, Olly tertawa. Ekspresi Ravin yang kocak membuatnya tidak bisa menahan tawa. Setelah sekian lama, akhirnya, ia tertawa lepas. Hal yang jarang terjadi di hidupnya. Atau tidak pernah? *** Tidak hanya membuat teh dengan lima ratus butir gula, Ravin juga melakukan hal gila yang Olly minta. Seperti, membersihkan kamar Olly, membuatkan mie goreng, mengambil minum, mencuci piring, menyapu lantai, dan yang parah adalah Olly seenak jidatnya mencoret muka Ravin dengan spidol. Ravin menjadi babu Olly sehari penuh. Setiap Olly meminta Ravin melakukan sesuatu, perempuan itu mengancam mengembalikan hadiah jika dirinya tidak patuh. Ravin menjatuhkan diri ke sofa. Tubuhnya seperti remuk dan tidak bertulang. Jika dipikir-pikir, mengapa ia mau melakukan perintah Olly? Mengapa ia ingin sekali Olly menerima hadiahnya? Ketika Ravin menikmati waktu istirahat, Olly datang dan menjatuhkan kaki Ravin dari sofa. Perempuan itu duduk dan menepuk-nepuk pundaknya. Memerintah Ravin agar memijit pundaknya. Ravin menghela napas kasar. "Seharusnya lo yang mijitin gue. Badan gue remuk ini." Olly menatap Ravin tajam. Saking tajamnya sampai melubangi kepala Ravin. Karena takut, Ravin langsung memijit pundak Olly. "Ngeh, ndoro." jawab Ravin. Diam-diam, Olly menahan senyum. Dengan mudah, Ravin menuruti keinginannya. Hari ini adalah hari paling menyenangkan bagi Olly. Ia seperti putri yang memiliki babu. "Mbak Olly muantap!" Suara Bianca mengisi ruang tengah. Perempuan itu terlihat senang. "Mbak, aku padamuuu!" "Bocil, jangan ikut-ikutan. Pergi sana!" Ravin memijit punggung Olly sambil mengusir Bianca. Bukannya menurut, Bianca malah tertawa sambil menunjuk-nunjuk Ravin. "Haha! Babu jelek!" "Gue tampol, nih." Ravin mengambil remote televisi dan melemparkan pada Bianca. "Adek laknat! Pergi sana!" "Wlee, gak kena! Haha!" "Bocil, gue lempar sapi, mampus lo!" Olly melirik tajam dan membuat Ravin kembali memijit pundak Olly tanpa berkomentar lagi. Sedangkan, Bianca semakin menertawakan Ravin yang tunduk dan patuh pada Olly. "Mbak, Kak Rav itu gak bisa disuruh-suruh. Kok, bisa nurut banget sama Mbak Olly? Dikasih permen, ya?" Bianca cekikikan. "Emang gue anak kecil, hah?" Ravin menyahut. "Dasar bucin!" Bianca berlari menuju kamarnya sambil menepuk b****g mengejek Ravin. "Kak Rav Bucin! HAHA!" "Gue sembelih leher lo!" Ravin melempar bantal sofa ke arah Bianca, namun meleset. Saat Ravin marah-marah tidak jelas, Olly mengambil air dingin. Ia memberikan air dingin tersebut pada Ravin. "Apa lagi?! Mau racunin gue, hah?!" Olly menggeleng. "Biar kepala lo dingin." "Lo kira kepala gue AC?" Meskipun menolak, akhirnya Ravin meminum air dingin pemberian Olly. Ia memberikan gelas kosong pada Olly. Olly berjalan menuju dapur, mencuci gelas tersebut, dan kembali duduk di sofa. "Giliran lo mijitin gue." Ravin menaruh kakinya di paha Olly. Laki-laki itu memejamkan mata lelah. "Kenapa jadi gue yang mijitin lo?" protes Olly. "Pijitin aja. Gak usah banyak ngomong." Olly memijit kaki Ravin. Tanpa sadar, ia juga menuruti perintah Ravin. Bianca yang memperhatikan tingkah laku Olly dan Ravin dari lantai dua menggeleng tidak percaya. "Sebenarnya, Mbak Olly sama Kak Rav sama-sama bucin. Cuma belom sadar aja." Bianca memasuki kamarnya sambil menggerutu. "Ck! Bucin together." *** Keesokan harinya, Ravin dan Olly menjemput Izza dan Radhi di bandara. Tidak terasa satu minggu berlalu dengan cepat. Olly langsung memeluk Izza erat. Rindu yang ia pendam, akhirnya tersampaikan. "Mbak, Olly kangen banget." "Iya, Mbak juga kangen. Oh, iya, Mbak bawa oleh-oleh buat kamu." "Buat Ravin juga, kan?" Suara Ravin menyela pembicaraan Izza dan Olly. Olly memberi tatapan tajam ke arah Ravin, namun laki-laki itu tidak menggubrisnya. Tanpa rasa bersalah, Ravin mencuri perhatian Izza. Izza terkekeh. "Iya, Mbak juga beliin oleh-oleh buat kamu, Vin." "Aye!" Ravin berseru senang. Setelah berbincang sebentar, mereka memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan, Ravin mengoceh tanpa henti. Setiap orang yang melintas menjadi bahan obrolan Ravin. Bahkan, lampu lalu lintas menjadi bahan gibah. Anehnya, Izza menanggapi ocehan Ravin dengan ramah. Di rumah pun, Ravin tetap aktif. Pantas saja, Ravin kurus. Tenaga yang ia punya habis karena terlalu banyak bergerak. Izza dan Radhi disambut meriah. Kedatangan mereka membuat Eva bahagia. Bianca langsung menagih barang yang ia minta. Ravin juga heboh membongkar oleh-oleh. Rizal merangkul Radhi dan menanyakan tentang momongan. Jelas sekali kalau Radhi tersipu malu ketika sang Ayah menagih cucu. Mata Olly berkaca-kaca. Sebelumnya, ia tidak pernah merasakan kehangatan keluarga. Yang ia punya hanya Monika dan Izza. Olly tidak pernah tahu di mana ayah kandungnya berada. Kata Izza, ayah berpulang ke pangkuan Tuhan ketika ia di dalam kandungan. Olly tidak pernah merasakan usapan seorang ayah. Ketika melihat Rizal, Olly juga ingin dipeluk dan diusap oleh ayah. "Ini buat Olly." Izza memberikan kotak besar. Olly menerima kotak tersebut dan membukanya. Sebuah tas kulit berwarna cokelat membuatnya terpana. Ia tidak menyangka mendapatkan tas kulit ini. "Makasih, Mbak." Olly tersenyum senang. Izza mengangguk. Setelah membagi hadiah dan oleh-oleh, Eva mengajak Izza dan Radhi makan bersama. Sedangkan, Olly memilih mengunjungi kamarnya. Ia ingin meletakkan kado Izza dan mengambil handphone. Ketika berniat kembali, Olly tidak sengaja melihat kotak kecil dengan pita pink di atas meja belajar. Hadiah dari Ravin belum ia buka. Tangan Olly meraih kotak kecil tersebut dan membukanya. Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah kalung emas dengan liontin berbentuk hati. Kalung tersebut sangat cantik dan sederhana. Mengapa Ravin memberikan kalung mahal ini? "Mol-mol! Lo ke mana?! Dicariin Bunda!" Suara cempreng Ravin membuat Olly menutup kotak ia pegang dan menyimpannya di laci. "Mol! Bimoli, woi!" Sebelum Ravin menyerobot masuk, Olly lebih dulu keluar kamar. "Apa?" "Dicariin Bunda." "Oke." Olly bergegas turun dan meninggalkan Ravin. "Eh, mol, lo ngapain di kamar?" "Kepo." "Masa kepo gak boleh?" "Khusus lo gak boleh." "Jahud." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD