Chapter 12

1950 Words
Mulutmu adalah harimaumu. *** Olly sibuk memperhatikan kalung dengan liontin berbentuk hati pemberian Ravin. Tiga puluh menit berlalu sia-sia hanya untuk memandangi kalung minimalis tersebut. Sebenarnya, Olly tidak tahu mengapa dirinya bingung setengah mati. Bukankah kalung ini sudah diberikan padanya? Jadi, tidak masalah jika ia tidak memakainya. Sangking bingungnya, Olly lupa bahwa hari ini adalah hari pertama dirinya masuk SMA. Kepalanya ingin meledak. Hanya karena kalung pemberian Ravin, Olly tidak bisa tidur. Kantung matanya semakin terlihat. Kalung s****n! Mengapa ia stres untuk kalung sepele?! Olly mengembalikan kalung tersebut ke tempatnya. Persetan dengan kalung s****n Ravin! Ia tidak akan memakainya. Titik tidak pakai koma, apalagi spasi. Bodo amat! Olly memeriksa alat tulis, buku, dan keperluan MOS lainnya. Oke, siapkan nyali untuk membuka lembaran baru. Ia tidak boleh melakukan kesalahan di hari pertamanya. Ia akan menjadi murid teladan seperti tahun sebelumnya. Dibanggakan guru-guru dan menjadi sosok sempurna di mata teman-temannya. Setelah siap semua, Olly membuka pintu dan menuruni tangga untuk sarapan. Namun, beberapa menit kemudian, Olly kembali. "Arrrggghhh! s****n! Kalung s****n!" Olly menghentakkan kaki kesal. Ia membuka laci dan mengambil kalung pemberian Ravin. "Eh, lung, s****n lo! Kenapa kalung kayak lo bikin gue depresi, frustasi, gilaaa?! Bodo amat!" Olly memaki kalung tersebut seolah-olah kalung tersebut bisa mendengar. Ia mengembalikan kalung ke laci, mengambilnya, kemudian memaki tidak jelas. Olly melakukan perbuatan tersebut lima kali. "Terserah!" bentak Olly kesal. Ia menyimpan kalung dan berlari keluar kamar. Olly harus menjauh sejauh-jauhnya. Kali ini, ia tidak akan kembali lagi. Tidak akan! Ia bersungguh-sungguh! *** Bianca melambaikan tangan sebelum memasuki mobil Radhi. Arah SMP di mana Bianca belajar searah dengan rumah sakit di mana Radhi bekerja. Bianca tersenyum lebar sampai mobil meninggalkan pekarangan rumah. Olly menatap mobil Radhi hingga menghilang dari pandangannya. Sekarang, giliran dirinya. Izza keukeuh menyuruh Olly supaya berangkat sekolah bersama Ravin. Ia kesal. Izza memaksa sesuatu yang tidak ia suka. Jika Olly berangkat dengan Ravin, seluruh penghuni SMA 1 Bangsa akan heboh. Bukan hanya itu, Olly tidak mau mengorbankan predikat baiknya. Bergaul dengan Ravin sama saja berurusan dengan BK. "Mol-mol, ayok! Cus .. markucus .. " Ravin berjalan di depan Olly dengan tingkah tengil. "Mau gue gandeng gak?" "Berani megang tangan gue, siap-siap berhenti napas!" sarkas Olly. "Eh, Olly, gak boleh gitu, ah." Izza menegur Olly yang emosi. "Jangan marah terus. Gak baik buat kesehatan." Olly tidak menjawab kata-kata Izza. Ia bersedekap di d**a. Jika amarahnya bisa dinyatakan dengan angka, saat ini kemarahan Olly berada di angka enam. Mengapa Izza membela Ravin?! Argh, bikin kesal saja! "Tuh, dengerin, mol-mol." Ravin terkekeh. "Mbak ke dalem dulu. Kalian hati-hati di jalan, ya .. " Izza memeluk Olly sebentar, kemudian memasuki rumah dan menghilang. "Yuk, bidadari syurga akoh. Kita berangkaaatt!" Ravin merangkul pundak Olly, namun ditepis kasar olehnya. "Atit, sayang." "Bodo amat." Olly berjalan dahulu. Ravin adalah laki-laki yang paling Olly hindari. Tetapi, semakin ia menghindar, Ravin semakin mendekat. Olly membuka pintu mobil dan duduk manis di dalamnya. Ia tidak mau melihat Ravin. Matanya terlalu bagus untuk melihat laki-laki sinting seperti Ravin. Lima menit berlalu. Tidak ada pergerakan. Mobil yang ia tumpangi tidak bergerak sedikitpun. Olly menoleh ke samping. Kemudi kosong. Lah, ke mana makhluk astral bernama Ravin?! Aish! Ravin semprul! Ketika Olly kebingungan mencari Ravin, laki-laki itu malah nyengir sambil mengetuk kaca mobil. Olly segera membuka pintu dan memarahi Ravin. "Lo niat gak sih ke sekolah?! Kalo gak niat, gue berang--" "Ngapain lo masuk mobil, mol-mol?" Dahi Olly berkerut heran. "Lah, bu-bukannya kita berangkat naik mobil?" "Kata siapa? Gue gak bilang kita berangkat pake mobil." "Te-terus kita berangkat pake apa?" Senyum Ravin mengembang sempurna. "Panjul." "Hah?" Ravin menarik pergelangan tangan Olly agar mengikuti langkahnya. Di belakang mobil, sebuah motor vespa kuno berwarna merah terparkir rapi. Olly mengangga. Tidak, lebih tepatnya Olly tidak bisa menutup mulutnya. Oh My God, kejutan apa ini? "Jreng! Jreng! Jreng!" Ravin membentangkan tangan memperkenalkan vespa kesayangannya. Ia tersenyum bodoh. "Perkenalkan sahabatku, pacarku, cintaku, kekasih hatiku. Namanya Panjul, hehe .. " "Lo gila?" Olly tidak percaya. Di zaman serba canggih dan modern, Ravin masih memelihara barang kuno? Ayolah, ini bukan acara stand up komedi. "Gue seratus persen waras." Ravin nyengir. "Gue gak mau naik itu." "Kenapa?" Olly memutar bola mata jengah. "Pertama, vespa lo kuno kalau nanti mogok gimana?" "Panjul gak bakal mogok, kok. Udah di servis tiap hari." Ravin menyahut ucapan Olly. "Kedua, gue malu sampe ketiak gue kering. Ini zaman modern, masa pake motor butut kayak gitu?" "Masa sih ketiak lo kering? Coba gue liat?" "Ravin!" Olly melotot marah. "Oke oke, peace, bimoli." Ravin mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah sebagai tanda perdamaian. "Ketiga, vespa lo sama ngeselinnya kayak lo. Gue ogah." "Gue imut tau. Lo gak pernah liat big baby?" Ravin membuat kedua tangannya membentuk hati dan matanya berkedip-kedip menggoda. "Najis." Olly berbalik sambil bergidik jijik. Sumpah, Ravin lebih mirip b*****g di lampu merah. "Mol, ayo, kita telat, nih." Ravin menyalakan mesin vespa. Ayolah, menyalakan vespa saja perlu ritual aneh. Pertama-tama, Ravin melakukan gerakan yoga inhale dan exhale. Kemudian, bergerak seperti Bebek. Tangannya ditaruh dahi membentuk moncong, satu tangan lagi di p****t. Berubah lagi menjadi ayam. Kedua tangannya dikempit di ketiak sambil berkokok. Berubah lagi menjadi burung. Ravin mengepakkan kedua tangan seperti terbang di langit. Tolong, siapapun tolong Olly. Ia tidak sanggup melihat kegilaan Ravin yang melebihi orang gila. "Panjul jul jul jul, sukinem nem nanem jagung. Berkah slamet rahayu, ketemu wong ayu!" Ravin berteriak heboh. Hah? Mantra apa itu? "Mol, yuk, beraangkaat!" Ravin mengenakan helm bogo berwarna merah, kemudian menarik Olly agar mengikuti langkahnya. "Nih, helmnya dipake." Olly menerima helm dari Ravin. Sungguh, ia masih tidak percaya. Ravin segila itu. "Karena lo orang pertama yang naik Panjul, gue kasih diskon. Hari ini lo gak perlu ngucap mantra. Tugas lo hapalin mantra yang tadi gue contohin." Ravin menoleh ke belakang. Ia melirik Olly yang duduk di belakang. "Mantra apa?" "Mantra biar Panjul gak ngambek, lah." "Gue gak mau." "Harus mau." "Ogah." "Hago." Olly memutar bola mata. Sabar Olly. Orang waras ngalah. "Cus, kitaa beraangkaaat!" Ravin menyalakan mesin, kemudian menjalankan vespa. Baru lima meter berjalan, vespa milik Ravin berhenti. Oh, Tuhan, tidak ada yang lebih baik dari ini? "Kayaknya Panjul keberatan muatan." Ravin turun dari motor disusul Olly. "Berat badan lo berapa, mol? Makan lo sewajan, ya?" "Apa? Mau masuk neraka?" "Hehe, masuk hatimu aja." Olly mendengus. "Ayolah, udah lima belas menit liat lo sinting, Vin. Gue naik angkot aja, deh." Ravin menahan tangan Olly, kemudian mengeluarkan tatapan puppy eyes. "Jangan pergi. Panjul cuma batuk, kok." Olly menatap Ravin beberapa menit. Oke, kali ini, ia menuruti permintaan Ravin. Kali ini saja. Jangan salah paham. Olly menuruti permintaan Ravin bukan karena tatapan puppy eyes dan ucapan laki-laki itu yang mengatakan jangan pergi. Bukan! Ravin tersenyum lebar, kemudian membisikan kata-kata pada vespanya. Entah apa yang Ravin bisikan, tetapi vespa itu langsung menyala. "Tuh, kan. Apa gue bilang? Panjul cuma batuk, hehe .. " "Terserah." Olly kembali duduk di belakang Ravin. "Siap?" "Hmm." "Kuy, berangkat sekolaahh!" Vespa berjalan meninggalkan perkarangan rumah Ravin. Vespa kuno itu berbaur dengan motor lainnya di jalan raya. Bukan vespanya yang gila, tetapi Ravin yang memiliki otak tidak terpakai. *** "Stooopp!" Olly berteriak kencang sambil memukul helm Ravin. "Adoh, bruntal banget, anjir. Lo mau mati, hah?" Ravin kewalahan menyeimbangkan kemudi. Olly tidak berhenti memukul helm yang ia pakai. Vespa Ravin berhenti di halte bus. Olly turun dari vespa dan menyerahkan helm kepada Ravin. "Kenapa turun?" Ravin tidak mengerti mengapa perempuan berparas cantik itu memutuskan berhenti. "Udah sampe. Tinggal jalan sedikit, noh, sekolahnya udah kelihatan." Olly menunjuk SMA 1 Bangsa dengan dagunya. "Gue anterin sampe depan kelas lo, deh. Pake Panjul. Gue kasih privilege." "Najisun." "Beneran! Suwer tak kewer-kewer." "Udah, deh, Vin. Jangan buat gue malu. Cukup sampe di sini." Olly memaksakan senyum. "Lo tau kan gue gak suka dipandang buruk orang lain? Gue gak mau masuk BK, gue gak mau ketularan gila, gue gak mau cari masalah di hari pertama sekolah, gue gak mau temen gue tau kalo lo kakak ipar gue." "Gue janji gak bakal--" "Big no!" potong Olly. "Muka lo aja udah masalah, apalagi tingkah lo?" "Apa .. gue seburuk itu di mata lo?" Ravin menatap Olly dengan tatapan yang berbeda dari biasanya. Tatapan Ravin lebih mirip tatapan kecewa. "Bu-bukan gitu. Maksud--" Ravin menyalakan Panjul--vespa kesayangannya--kemudian, meninggalkan Olly sendirian. Olly ingin mencegah Ravin, tetapi tidak ada satupun kata-kata yang keluar. Mulutnya juga kaku. Mengapa jadi begini? Apakah perkataannya menyinggung perasaan Ravin? Olly berjalan menuju SMA 1 Bangsa. Ia tidak berhenti memikirkan Ravin. Tatapan Ravin membuatnya merasa bersalah. Aduh, apa yang harus ia lakukan? Kaki Olly memasuki gerbang SMA 1 Bangsa. Hari ini adalah hari pertama Olly menjadi siswa SMA. Tidak perlu memikirkan Ravin. Laki-laki itu memang pantas mendapatkannya. Jika Ravin adalah bersikap baik, tidak mungkin Olly memperlakukan dirinya seperti tadi. Olly tidak salah. Titik. Bisikan mulai terdengar ke telinga Olly. Mereka membicarakan kecantikan Olly. Di dalam hati, Olly merasa bangga sekaligus sedih. Ia bangga karena dipuji orang lain. Namun, ia juga sedih karena mereka melihat sebatas fisik saja. Apakah perlakuan mereka tetap sama jika Olly terlahir buruk rupa? Olly meletakkan tas di bangku, kemudian membenamkan wajah di lipatan tangannya. Mood-nya berubah dalam hitungan detik. "Olly!" Suara Alena menginterupsi pendengarannya. Olly langsung membuka mata dan menatap Alena yang jingkrak-jingkrak senang. "Alena? Kenapa lo di sini?" tanya Olly. Terakhir kali Alena mengatakan akan bersekolah di SMA lain. "Gue gak jadi sekolah di SMA Batu Raja. Hebat, kan? Iya, dong!" "Ta-tapi, kenapa? Bukannya lo disuruh sekolah di sana?" "Gue nangis tiga hari tiga malem. Udah kayak roro jonggrang dah gue. Gak makan, gak tidur, gak keluar kamar. Gue semedi sambil nangis, hehe .. akhirnya, bokap nyokap gue izinin gue sekolah di sini." Olly tertawa kecil. "Bisa ae lu." "Manjur kagak cara gue?" Alena menaik turunkan alisnya. "Tetap aja, seharusnya lo nurut bokap nyokap lo." "Lo mau pisah sama gue?" Mata Alena berkaca-kaca. "Masa lo bisa hidup tanpa gue? Nanti yang ngawal lo dari semua fans-fans lo yang fanatik siapa? Masa lo gak kehilangan gue yang mini, imut, dan mempesona ini?" "Serah, deh, Len." Olly memutar bola mata. Tidak lama kemudian, speaker sekolah berbunyi nyaring. Semua siswa baru disuruh berkumpul di lapangan utama. Alena mulai menunjukkan aksinya. Ia menarik-narik Olly agar mengikutinya. Upacara pembukaan Masa Orientasi Sekolah dimulai. Pidato kepala sekolah berderet-deret dan tidak menemui ujungnya. Matahari semakin meninggi. Sinarnya membakar kulit dan membuat kerongkongan kering. Tumit kaki terasa nyeri. Kepala menjadi lebih berat dari biasanya. Dilanjutkan oleh pidato sambutan dari ketua OSIS. Seketika teriakan histeris terdengar bersahut-sahutan, termasuk Alena. Oalah, ternyata ketua OSIS memiliki wajah seperti Cha Eun-woo--aktor Korea yang superduper mempesona, ganteng, dan menawan hati. Lumayan, bibit unggul untuk melanjutkan keturunan. "Ly, liat, deh! Liat! Liat! Liat!" Alena memukul lengan Olly kencang. Bukan hanya memukul, Alena juga mencubit dan meremas lengannya. "Astaghfirullah, gue bengek. Tolong, Ly!" "Lebay." "Gue gak kuat. Napas buatan! Rasanya seperti menjadi ironman." Olly melengos. Ia memilih tidak menggubris ucapan Alena. Seperti biasa, Alena tidak akan berhenti sebelum mulutnya capek. Upacara selesai. Barisan dibubarkan. Satu persatu siswa berhamburan menuju kelas masing-masing. Di lorong kelas, Olly tidak sengaja berpapasan dengan Ravin yang tertawa dengan Bambang, Emo, dan Eno. Beberapa detik, Olly dan Ravin saling menatap. Seakan saling menatap mewakilkan pembicaraan mereka. Waktu seperti melambat. Kali ini, Ravin memilih memutuskan kontak mata terlebih dahulu. Ia melewati Olly seolah-olah tidak mengenalnya. Olly meraba d**a sebelah kiri. Mengapa rasanya sakit sekali? "Ly, bukannya dia kakak ipar lo, ya?" Alena menunjuk Ravin yang menghilang di pertigaan lorong. "Kenapa sok cool gitu? Gak cocok, deh." "Len," "Hem?" "Gue salah, ya?" Alena mengerutkan dahi. "Salah?" "Ravin kayaknya ngambek sama gue, deh." Olly menoleh ke arah Alena. Matanya berkaca-kaca. Sumpah, saat ini ia menahan air mata. "Gue harus gimana?" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD