Chapter 13

2062 Words
Kamu adalah orang asing yang tidak pernah masuk dalam daftar orang-orang berharga di hidupku. Seharusnya aku tidak mempermasalahkan itu. Tetapi, mulai sekarang, aku ingin mempersalahkannya. *** Selama kegiatan Masa Orientasi Sekolah dimulai, Ravin tidak bertingkah seperti biasanya. Laki-laki itu duduk diam di bangku, atau bermain bola basket di lapangan. Tidak ada niat jahil, tingkah bodoh, maupun kegilaan yang dibuatnya. Rajin menjadi anak penurut dan anteng--tidak banyak tingkah. Bambang memiliki intuisi tajam dan menyadari perubahan sikap Ravin. Lelaki berjambul katulistiwa itu mempertanyakan keanehan seorang Ravin. Rasanya dunia kiamat jika Ravin berhenti bertingkah gila dan b**o. "Eh, Mo, lo ngerasa aneh gak, sih?" Bambang menggoyangkan lengan Emo kencang. "Ape, si?" Emo mengibaskan tangan Bambang yang menganggu aktivitasnya mengambil upil. "Bentar napa! Upil gue mau ketangkep." "Kayak nangkep copet lo. Ngupil itu tau tempat, situasi, dan kondisi, njir. Urat malu lo ditaroh mana?" "Pantat." Bambang menimpuk jidat hitam mengkilat Emo dengan telapak tangannya. Tubuh Emo terjengkang ke belakang dan mendarat di tanah. "Buset, tenaga lo gede banget, anying!" Emo mengusap punggungnya yang terasa nyeri. Jidatnya juga cenat-cenut terkena tamparan Bambang. "Bodo amat." Bambang mendengus kesal. Mereka--Bambang dan Emo--sedang menonton Ravin bermain basket di pinggir lapangan. Dua jam non-stop, Ravin memainkan bola basket tanpa berhenti. Mendrible bola dan memasukkannya ke ring. Ia melakukannya berulang kali. Awalnya, Bambang, Emo, dan Eno ikut bermain. Karena kelelahan, mereka memutuskan berhenti. Tidak lama kemudian, Eno datang membawa botol minum. Eno bagian pesuruh yang aktif. Laki-laki berkulit cokelat kehitaman itu mau saja disuruh membeli minuman di kantin. "Thanks, No." Bambang mengangkat air mineralnya tinggi-tinggi. "Yoi." Eno menjatuhkan b****g di samping Bambang. Keringat di pelipisnya sebesar jagung. Napasnya terengah-engah. Berlari dari kantin ke lapangan membuatnya kelelahan setengah mati. "Bulu onta gak capek apa? Gerak mulu." Eno bertanya sambil ngos-ngosan. Ia meminum air mineral, kemudian mengguyurnya ke wajah. "Iye, itu orang gak punya rasa capek kali." Bambang menyahut. "Kayak orang galau aja." "Ravin lagi berantem sama adek kelas." Emo menyeletuk asal membuat Bambang dan Eno menoleh kaget. "Cius mi apa?" Emo asik mengorek upil di hidungnya. Ketika mendapatkan benda bulat, keras, dan kecil, ia girang tidak terkira. Katanya, seperti mendapatkan harta karun. Eno melempar botol mineral kosong ke arah saudara kembarnya. Ditanya bukannya menjawab malah ngupil. Ajaran dari mana? Perasaaan orang tua mereka tidak pernah mengajari ngupil. Belajar otodidak mungkin. "Jawab woi!" "Ish, lo kembaran gua apa kagak, sih?! Kejam banget." Emo melirik tajam Eno, kemudian menghela napas panjang. "Tadi pagi, gue liat Ravin nurunin cewek di halte bus. Gak tau dah itu cewek mana. Paling cewek--eh, buset, kepala gue ajurr!" Emo tidak melanjutkan perkataannya karena Ravin lebih dahulu melempar bola basket ke arahnya. Dan, yeah, alhasil, kepala Emo menghantam bola basket yang kerasnya seperti batu. Bukan cuma sakit, tapi benjul. Gunung sebesar kepalan tangan muncul. "Kebanyakan bacot lo, Mo." Ravin menghampiri Emo dengan keringat membasahi seluruh tubuhnya. "Ngupil aja sono! Gak usah gosipin orang." Ravin meraih air mineral di depannya, kemudian meminum air tersebut sampai habis. Setelah itu, minum Ravin membaringkan badan menghadap langit. Dadanya naik turun. Matanya terpejam. "Vin, eh, Vin .. " Eno menendang-nendang kaki Ravin. "Gangguin adek kelas, yuk!" "Nah, bener, noh! Lo kan suka nganggu anak orang." Bambang menyetujui ide brilian Eno. "Ck!" Mulutnya berdecak kesal. Posisinya tidak berubah--terbaring di tanah. "Gue mau tobat. Dosa gue udah segunung." "Jhahahaha! Sejak kapan lo ngerti dosa, Vin?" Emo tertawa terbahak-bahak. "Nyolong celana tetangga aja lo cengar-cengir, apalagi tobat. Kagak pernah masuk daftar lo." Ravin bangun dari tidurnya, kemudian pura-pura mencengkram leher Emo. "Tarik kata-kata lo." "Geli, anjir." Emo terkikik geli. "Ah, gak seru." Ravin melepaskan cengkraman tangannya, kemudian berjalan meninggalkan lapangan. "Lo mau ke mana?!" Bambang berteriak. "Laper. Kantin, bro!" "Gue ikut!" Eno berlari mengikuti Ravin. Bambang menggelengkan kepala. Kalau bukan makan, ya ganggu orang. Entah apa yang Bambang lakukan di kehidupan sebelumnya, mengapa ia bertemu manusia absurd seperti Ravin? "Mo, kuy, ke kantin." Bambang menarik kerah seragam Emo seperti menarik kucing warteg. "Lepasin, woi! Lo kira gue kucing garong?!" "Banyak omong lu." *** Olly merapikan barang-barangnya. Bel pulang berbunyi nyaring. Semua siswa berhamburan meninggalkan kelas. Saat ini, pikirannya tidak bisa fokus. Bayangan Ravin tidak bisa hilang dari otaknya. Ada apa dengannya? Mengapa ia memikirkan orang menyebalkan seperti Ravin? "Len, pulang, yuk." Olly menyenggol lengan Alena yang tidak bergerak karena terpesona dengan ketua OSIS. "Eh, gimana?" Alena celingak-celinguk bodoh. Bola matanya berputar kesal. "Pulang, Len. Lo gak pulang?" "Iya, hehe .. " Selama perjalanan menuju gerbang sekolah, Alena lebih banyak berbicara. Ya, berbicara tentang ketampanan ketua OSIS yang mirip Cha Eun-woo. Sejujurnya, Olly tidak tertarik dengan ketua OSIS itu. Meskipun begitu, ia tetap menghargai Alena dan menjawab seadanya. Olly dan Alena berpisah di gerbang sekolah. Arah rumah mereka berbeda. Alena ke utara, sedangkan Olly ke selatan. Sekali lagi, Olly menoleh ke belakang. Mencari seseorang. Barangkali, orang yang ia cari muncul dan mengajak pulang bersama. Tetapi, harapan tinggallah harapan. Tidak ada tanda-tanda kalau Ravin akan muncul. Olly menghela napas panjang. Apakah Ravin benar-benar marah? Kakinya berjalan menuju halte bus. Olly mengakui kesalahannya. Seharusnya ia berpikir dahulu sebelum berbicara. Karena mulutnya kehilangan kontrol, akhirnya, Ravin ngambek. Olly berdiri dengan siswa lain yang tidak ia kenal. Mereka menunggu bus datang. Ketika bus yang Olly nantikan datang, ia menatap kosong dan membiarkan bus tersebut melaju tanpa membawa dirinya. Sekarang, halte bus sepi. Olly menunduk memperhatikan kedua sepatu hitamnya. Apa yang ia tunggu? Dari sekian banyaknya manusia, mengapa harus Ravin yang Olly tunggu? Olly merasakan rambutnya diusap lembut oleh seseorang. Di depan sepatunya, terdapat sepasang sepatu yang sangat ia kenal. "Mol-mol, jangan sedih, dong." Olly mendongak dan menemukan Ravin tersenyum bodoh. "Maap, nih, jadi nunggu lama. Tadi ngisi gentong perut gue dul--" Ucapan Ravin terhenti karena Olly memeluknya erat. Tindakannya terlalu mendadak dan cepat. "Maafin gue, Vin. Maafin gue, please .. jangan ngambek lagi, ya .. " Olly memejamkan mata sambil mempererat pelukannya. Ravin mematung. Saat ini jantungnya berdetak lebih cepat. Jika dibiarkan, jantungnya bisa copot. "Kok, jantung lo jedak-jeduk?" kata Olly yang mendengar suara detak jantung Ravin berdegup kencang. "Lo punya penyakit jantung?" Ravin refleks melepaskan pelukan Olly. Suhu tubuhnya meningkat drastis. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. s**l! Jantungnya tidak bisa diajak kompromi. "Kok, dilepasin?" Air muka Olly berubah sedih. "Lo gak suka gue peluk, ya?" Waduh! Jadi berabe masalahnya. Ravin menggeleng membantah pertanyaan Olly. Bukan cuma badannya yang gemetaran, mulutnya juga gemetar. Jadi, sulit mengucapkan kata-kata. "Maaf .. gue lancang." Olly menunduk. "Guesukalopeluk." Ravin mengatakannya dengan cepat, kemudian menggaruk kepala belakangnya sambil nyengir bodoh. "Apa lo bilang?" "Aish, b***k lo, ah. Gak ada siaran ulang." Olly menganga. Sebenarnya, makhluk di depannya makhluk apa? Menyebabkan sekali. "Tadi lo mau minta maaf?" tanya Ravin. "Soal apa?" "Tadi pagi, ucapan gue yang gak mau deket sama lo. Seharusnya gue gak bilang gitu. Gue gak boleh menilai orang dari luarnya aja. Lo marah ke gue gara-gara itu, kan?" Olly memilin jari tangannya. "Gue gak marah." Sebuah senyuman manis mengembang di bibirnya. "Semua omongan lo itu bener, Mol. Gue orangnya b**o, sering masuk BK karena jahilin anak-anak, sering buat keributan. Gue pikir sebaiknya di sekolah kita pura-pura gak kenal. Dengan gitu, image lo di depan guru dan temen lo gak tercemar gara-gara gue." "Gue tarik ucapan gue." Ucapan Olly membuat Ravin menoleh ke arah perempuan berambut panjang itu. "Gue gak masalah orang-orang tau kalo lo kakak ipar gue, asalkan lo jangan ngindarin gue lagi. Jangan pernah berpura-pura kalau lo gak kenal gue." Ravin terdiam. Untuk kesekian kali, ia menemukan bidadari cantik bernama Mollyza Adiba. Ciptaan Tuhan paling indah untuk ia kagumi. Ravin bersyukur menjatuhkan hati pada perempuan secantik dan sebaik Olly. "Oke!" Ravin tersenyum lebar. "Dengan satu syarat." Alis Olly terangkat sebelah. "Apa itu?" "Lo harus pakai hadiah yang gue beliin." "Maksud lo ini?" Olly mengeluarkan kalung berliontin hati di balik kerahnya. "Lo .. " Suara Ravin terputus. Ia tidak menduga kalau Olly memakai kalung yang ia berikan. Olly tersenyum manis. "Gue udah pake dari rumah." Ravin tersenyum malu. Ia sangat senang. Ia membalikan badan dan meninjukan kepalan tangannya ke udara. Setelah selesai, ia kembali menatap Olly. Menormalkan ekspresi wajahnya. "Lo harus pakai kalung itu, kalo lo lepas, gue marah lagi." "Oke." "Yuk, pulang." Ravin mengambil helm dan menyerahkannya pada Olly. Panjul--vespa unik milik Ravin--menyala. Olly menaiki vespa kuno itu. "Siap?" Olly mengangguk dan tersenyum. "Pengangan! Valentino Rossi beraksi!" Panjul berjalan pelan seperti siput. Kendaraan itu membaur dengan kendaraan lainnya. Seperti biasa, selama perjalanan, Ravin membicarakan orang-orang yang ia temui. Tidak terasa suara Ravin menjadi musik paling merdu yang Olly dengar. Olly menanggapi seperlunya, atau malah tertawa terbahak-bahak karena celotehan absurd Ravin. Satu kebahagiaan sederhana yang Olly rasakan membuatnya terhanyut. Satu tempat yang tidak pernah ditempati orang lain, kini, Ravin memasukinya secara perlahan. *** Esok harinya, Olly berdebat dengan Ravin masalah mantra agar Panjul tidak ngambek. Tiga puluh menit terbuang sia-sia hanya untuk meladeni tingkah kekanak-kanakan Ravindra Achandra. Olly mengalah dan melakukan permintaan laki-laki aneh itu. Olly melakukan gerakan paling gila sedunia dan mengucapkan mantra ajaib bin absurd. Ini adalah pertama kali Olly melakukan tindakan aneh dan gila. "Panjul jul jul jul, sukinem nem nanem jagung. Berkah slamet rahayu, ketemu wong ayu!" ucap Olly lantang. "Eits, salah." Ravin menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Bagian belakang diganti ketemu wong ganteng." Olly memejamkan mata, menarik napas panjang, dan menghembuskannya secara perlahan. Sabar, orang waras ngalah. "Panjul jul jul jul, sukinem nem nanem jagung. Berkah slamet rahayu, ketemu wong ganteng!" "Nah, gitu. Pinter, deh, bimoli. Bibir monyong lima senti, hehe .. " Ravin terkekeh senang. "Cepetan! Udah jam tujuh, keburu telat!" Olly meraih helm dari tangan Ravin dan memakainya cepat. "Siap, tuan putri." jawab Ravin. "Oh, satu lagi, kita memang udah telat." "Ravin, cepetan!" Panjul mengeluarkan suara khasnya. Asap motor mengepul di udara. Vespa kuno itu berjalan pelan. Sangking pelannya, seekor kucing menyalip Panjul sambil tersenyum mengejek. Duh, urat nadi Olly mengkerut dan malu sampai ke perut bumi. Untuk sampai di depan gerbang SMA 1 Bangsa, Olly harus melewati drama menyebalkan. Ada aja halangan yang hadir. Entah itu Panjul batuk, Panjul menstruasi, Panjul pengen dibelai dan Panjul yang ketiduran. Rasanya kepala Olly ingin meledak saat itu juga. Bagaimana tidak? Ravin membuat alasan tidak masuk akal. Padahal, vespa kuno itu mogok dan rusak. Pukul 08.00 WIB, kaki Olly menginjak aspal depan gerbang SMA 1 Bangsa. "Pak, bukain gerbangnya, dong!" Olly berteriak agar satpam penjaga mendengar suaranya. "Gak bakal dibukain, Mol-mol." Olly menoleh ke belakang. Ravin meletakkan kedua tangannya di depan d**a sambil menunggangi Panjul. Dasar sok keren! Oh, ayolah, buka gerbangnya. Ini adalah pertama kalinya Olly terlambat. Jangan sampai ia melewatkan acara MOS. Ia tidak mau mengulang MOS di tahun depan bersama adik kelas. "Pak, please .. bukain pintunya." Ravin menghela napas panjang. Ia tidak tega melihat Olly memelas dan hampir menangis. Akhirnya, ia mengeluarkan cara jitu-pamungkas-adil-makmur-sejahtera. Ravin mengotak-atik handphone, mengirim pesan kepada Bambang untuk segera membuka pintu gerbang. Tidak lama kemudian, Bambang datang dengan jengger kebanggaannya. "Eh, bulu onta, telat mulu. Mau jadi apa lo?" "Bacot lu kayak emak gue." Ravin berdecak kesal. "Buka gerbangnya, buruan." "Iye." Olly menerobos memasuki area sekolah. Ia berlari sekencang-kencangnya dan meninggalkan Ravin tanpa mengucapkan sepatah kata. "Ck, ck, gak tau terima kasih itu bocah." Bambang mengerutu kesal. Ravin menepuk bahu Bambang pelan. "Biarin, yam. Anaknya emang gitu." "Yam?" "Jengger ayam, hehe .. " "Eh, buset, bagus amat nama gue, yak. Sangking kerennya sampe gedek gue dengernya." "Haha!" "Ketawa aje lu." "Lucu bos." "Anjirit." "Hahahaha .. " *** Olly berlari menuju ruang kelasnya. Karena terburu-buru, ia tidak sengaja menubruk bahu seseorang. "Ah, maaf .. " Olly membungkuk untuk meminta maaf. Ketika mendongak untuk melihat orang yang ia tubruk, Olly menganga. "Lain kali hati-hati, ya .. " Olly mengangguk kaku. Ya Tuhan .. mimpi apa ia semalam? Orang di depannya adalah Cha Eun-woo, eh, salah. Ketua OSIS SMA 1 Bangsa. Bukan cuma tampan, dia juga memiliki kulit semulus pualam, mata lebar, bulu mata lentik, dan alis tebal. Inikah yang dinamakan bidadara? "Hei .. " Ia melambaikan tangan di depan Olly. "Eh, maaf, Kak." Olly berkedip. "Maaf, saya terlambat." "Nama lo siapa?" "Mollyza Adiba, Kak. Biasa dipanggil Olly." Dia tersenyum lebar. MasyaAllah, senyumannya sangat indah. "Gue Panji Bagaskara Hutama. Panggil Kak Bagas aja." Bagas mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Ketika tangan Olly hendak meraih tangan Bagas, Ravin datang dan menyingkirkan tangan Olly. Ia menjabat tangan Bagas dan menggoyangkannya ke atas dan ke bawah. "Ravindra Achandra." Sebuah senyum miring muncul di bibir Ravin. "Salam kenal Kakak!" ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD