Chapter 14

1835 Words
Mencintaimu adalah patah hati yang sengaja aku lakukan. Meskipun begitu, aku tetap mencintaimu. *** "Mol, panas gak?" Olly mendengus. Suara cempreng Ravin memasuki indera pendengarannya. "Lo kira kita berdiri di Kutub Utara?" "Yaa, mungkin, kalo sama gue jadi dingin." "Dingin jidat lo bolong!" Saat ini, Olly dan Ravin menerima hukuman karena terlambat. Mereka berdiri dengan posisi hormat menghadap tiang bendera. Tidak diragukan lagi, matahari mengeluarkan sengatan cahaya yang merasuki kulit. Teriknya membuat peluh Olly menetes satu persatu. Kerongkongannya kering dan membutuhkan air minum. Tidak hanya itu, kaki Olly menegang dan sakit karena terlalu lama berdiri. Tangannya kram karena posisi hormat yang tidak kelar-kelar. Semua ini gara-gara Ravin. Kalau saja Ravin tidak menyingkirkan tangannya dan berjabat tangan dengan Bagas, Olly bisa bebas hukuman. Bagas akan mengurangi hukuman kalau Ravin bersikap sopan, tetapi yang namanya Ravin tidak mengenal sopan santun. "Eh, mol, kenapa tiang bendera itu lurus? Kenapa gak bengkok aja? Kan, bagus kalo bengkok, ada estetikanya gitu." Mulut Ravin mengoceh tidak ada henti. "Kalo bengkok, jadi kayak lo. Tiang bendera aja lurus, masa lo bengkok?" Olly melirik sinis. "Apanya yang bengkok, mol-mol? Astaghfirullah, pikiran lo seret." "Idih, bukan pikiran gue yang seret, tapi pikiran lo, Vin." "Pikiran gue empat sehat lima sempurna, kok." "Ini, nih. Yang buat RSJ gak laku. Pasiennya kabur melulu." "Gue waras, mol." "Gak ada bukti. Gue gak percaya." Olly menjulurkan lidah ke arah Ravin. "Wleeee!" "a***y, ini bocah bikin gemes aja, sini gue cubit pipinya .. " Ravin ingin mencubit pipi Olly, tetapi tidak jadi karena Olly melotot seram. "Oke, gak jadi." Tidak ada percakapan lagi. Ravin hormat ke arah tiang bendera dengan mulut bersiul. Olly melirik laki-laki jakung di sampingnya. Entah mengapa hukuman yang ia lakukan tidak terasa berat karena Ravin. Laki-laki itu terus mengeluarkan celotehan tidak berguna yang membuat Olly melupakan teriknya matahari, rasa haus, dan pandangan aneh dari murid lain. Sebenarnya, Ravin memiliki paras tampan. Karena orangnya amburadul dan tidak terawat, akhirnya tidak jadi tampan. Lihatlah, seragam keluar, dasi longgar dan tidak rapi, rambut yang berantakan dan kusut. Ditambah, sepatu yang tidak pernah dicuci dan kaos kaki yang tinggi sebelah. "Bibir moyong lima senti, gue mau tanya." Telinga Olly memanas mendengar panggilan Ravin kepadanya. "Nama gue Mollyza Adiba! Jangan seenaknya ngubah nama orang." "Iya, mol-mol, kan? Bimoli, hehe .. " "Bukan!" "Iye, sewot lo, ah." Hening. Suara desiran angin menggesek ranting mengisi ruang antara Olly dan Ravin. "Mau tanya apa?" Olly bertanya. "Jangan suka sama Bagas." Olly menoleh ke arah Ravin. Matanya memicing. "Kenapa?" "Dia gak pantas buat lo." "Terus, yang pantas buat gue siapa?" Ravin menurunkan tangannya dari posisi hormat, kemudian menatap Olly lekat. "Kenapa liatin gue?" Olly membuang muka. Tatapan Ravin membuatnya gugup. "Yang pantes buat lo adalah orang yang bisa menjaga lo dengan tulus. Orang yang mau susah seneng bareng lo, orang yang mencintai lo meskipun muka lo keriput dan rambut lo berubah jadi putih, orang yang bukan suka atau sayang sama lo, tapi cinta sama lo." jawab Ravin. "Bagas bukan orang itu." "Idih, sok serius lo." "Ly," Panggilan Ravin membuat Olly menoleh kaget. Demi apa? Ravin memanggilnya dengan cara normal? "Gue .. gue akan berusaha menjadi orang yang pantas buat lo." Olly terdiam. Ravin berubah seratus delapan puluh derajat. "Gue bukan tipe idaman semua orang, gue juga bukan tipe orang yang romantis, tapi gue ingin membuat lo bahagia, Ly." Mata Olly beradu dengan mata Ravin. Menyelami lautan terdalam dan misterius. Tidak ada yang tahu bagaimana cara Ravin memandang Olly, begitupun sebaliknya. "Haha!" Suara tawa Ravin membuat Olly mengernyit. "Eh, buset, gue kesambet apaan, dah?" "Gue kira serius, ternyata bukan." Olly bergumam pelan. "Udah, ah. Gue ke kelas. Bye!" Bel istirahat berbunyi lima menit yang lalu. Karena mendengarkan bualan Ravin, Olly melewatkan suara surga--bel istirahat. Olly berjalan ke pinggir lapangan dan mengambil tasnya. Ravin menyusul Olly dari belakang. "Mol, mau gue bawain tas lo? Habis dijemur pasti lo capek." Ravin menyamakan langkah. "Gak usah." "Mau gue beliin minum?" "Gue beli sendiri." Ravin menahan pergelangan tangan Olly. "Gue gak bercanda soal perkataan gue tadi, Ly. Gue serius." Olly menatap Ravin. Mencoba mencari kebohongan. Tetapi, bukan kebohongan yang ia dapatkan, melainkan kejujuran. "Olly!" Teriakan Alena membuat Olly refleks melepaskan tangan Ravin dan fokus pada temannya. Ravin menatap tangannya dan tersenyum kecut. Oh, ini rasanya diabaikan? "Alena? Kenapa lo di sini?" "Gue cari lo. Tadi, di kelas lo gak ada. Gue kira lo gak berangkat." Alena terdiam dan menatap laki-laki di belakang Olly. "Eh, ada kakak ipar lo, Ly. Hallo, Kak. Gue Alena." Ravin tersenyum singkat. "Ravin. Cowok paling ganteng dan kece di sekolah ini, hehe .. " "Eh?" Alena meringis. "Udah, Len. Gak usah digubris. Yuk, ke kelas." Olly menyeret Alena agar mengikuti langkahnya. Ravin menatap Olly dan Alena sampai batang tubuh mereka hilang dari matanya. Ia menghembuskan napas kasar dan bergumam, "padahal, gue serius cinta sama lo, Ly." *** "Ly," "Hmm." "Rasanya lo berubah, deh." Olly mengerutkan dahi mendengar ucapan Alena. Ia meletakkan bolpoin dan menatap sahabatnya. "Maksud lo?" Alena melirik ke depan. Memeriksa guru yang sedang memberi materi terkait Masa Orientasi Sekolah. "Sejak lo ketemu Kak Ravin, lo jadi beda." "Apanya yang beda?" "Lo jadi cerewet." Olly menggeleng tidak percaya. "Jangan ngadi-ngadi, deh." "Serius!" jawab Alena yakin. "Tapi, lo cerewet kalo sama Kak Ravin doang." Olly bungkam. Perkataan Alena benar. Selama ini, ia banyak bicara dengan Ravin. Padahal, Ravin kategori orang baru. "Terus, lo jadi punya ekspresi." Alena menjelaskan. "Lo jadi sering marah, ngambek, dan .. " "Dan?" "Senyum. Lo jadi sering senyum kalo sama Kak Ravin. Bukan cuma senyum, lo juga ketawa. Itu hal yang gak pernah lo lakuin selama lo hidup." Olly termenung. Benarkah ia sering tersenyum ketika bersama Ravin? Selama Olly hidup, hanya Monika, Izza, dan Alena yang bisa membuatnya tersenyum dan tertawa. Semenjak Monika berpulang ke pangkuan Sang Illahi, Olly semakin jarang tersenyum. Tetapi, kehadiran Ravin mengubah segalanya, termasuk membuatnya marah, sedih, kecewa, dan .. bahagia. Selama guru menjelaskan materi, Olly tidak fokus. Perkataan Alena mengusik pikirannya. Ravin .. Lelaki jakung dan kurus kerempeng itu melayang-layang di pikirannya. Bahkan, perkataan Ravin yang mengatakan ia berusaha menjadi pantas untuknya terngiang-ngiang. "Sampai di sini dulu, saya akhiri. Assalamu'alaikum." Guru yang menyampaikan materi keluar dari kelas dan digantikan kakak kelas--anak OSIS--yang mengisi. Bagas--ketua OSIS--memasuki kelas. Suara teriakan histeris mengema di langit-langit ruangan. Semua perempuan berteriak kegirangan, kecuali Olly. Bagas menyampaikan beberapa materi terkait SMA 1 Bangsa, termasuk keunggulan SMA 1 Bangsa dari SMA lainnya, prestasi apa saja yang dicapai, dan fasilitas yang ada di SMA 1 Bangsa. "Mollyza Adiba?" Olly terkejut. "Eh, iya, Pak?" Gelak tawa terdengar seketika. Alena tertawa paling keras sambil memukul punggung Olly keras. "Aish, sakit, Len." "Aduh, lo lucu banget, sih. Yang manggil lo itu Kak Bagas, kenapa lo manggilnya 'Pak'?" "Hah?" Olly menatap ke depan. Bagas tersenyum ramah. "Maaf, Kak." Bagas berjalan menghampiri meja Olly. "Emang gue setua itu, ya?" "Eh, bukan gitu, Kak." Olly menunduk. "Oke, jangan diulangi lagi, ya .. Kalau gue jelasin diperhatikan, jangan ngelamun terus." Bagas tersenyum lagi. Olly mengangguk pelan. "Kembali ke depan," Bagas mengetuk papan tulis dengan spidol. Semua perhatian tertuju pada Bagas. "SMA 1 Bangsa adalah salah satu SMA favorit di Semarang. Kalian harus bersyukur karena lolos dan diterima di SMA 1 Bangsa. Oh, iya, bukan hanya favorit, SMA 1 Bangsa juga setiap tahun meraih mendali di kejuaraan nasional .. " Olly menggeleng-gelengkan kepala. Ayolah, fokus! Jangan pikirkan Ravin. *** "Pengumuman!" Eno memukul galon berulang kali untuk menyita perhatian. "Pengumuman, konser Tambal Band segera dimulai. Harap semua penonton segera berkumpul." Suasana kantin menjadi ramai dan gaduh. Sebuah lingkaran mengelilingi Ravin, Emo, Eno, dan Bambang. Mereka membuat keributan dengan mengadakan konser dadakan. Ravin memainkan gitar. Eno memukul galon air sebagai pengganti drum. Bambang menggoyangkan tamborin. Dan, Emo yang menyanyi. Mereka menyanyikan lagu secara acak. Bahkan, pakaian mereka bukan lagi seragam, melainkan kaus bebas. Yang paling aneh adalah dasi dipakai di kepala dan kaos kaki dipakai di tangan. Pintar sekali mereka. "Cidro janji tegane kowe ngapusi .. " Emo bernyanyi dengan botol minum sebagai mikrofon. Lagu yang dinyanyikan adalah Pamer Bojo Versi Cendol Dawet dari Didi Kempot. "Nganti seprene suwene aku ngenteni .. Nangis batinku nggrantes uripku .. Teles kebes netes eluh cendol dawet .. Cendol dawet, cendol dawet seger .. Cendol cendol .. " Emo mengarahkan minuman ke arah penonton dan penonton dengan antusias mengatakan, "dawet dawet." "Cendol cendol .. !" "Dawet dawet!" "Cendol dawet seger, piro?!" "Lima ratusan!" "Terus!" "Gak pake ketan!" "Ji ro lu pat nem pitu wolu .. Tak gintang gintang!" "HOE!" "TAK GINTANG GINTANG!" "HOE!" "TAK GINTANG GINTANG .. Haaaaa eeee!" Kantin semakin gaduh. Semua bergoyang dan menikmati lagu yang Emo nyanyikan. Ibu kantin ikut bergoyang. Begitupula, bapak penjual bakso, dia yang paling heboh bergoyang. "Lanjut, mang!" "Tarik sis!" "SEMONGKO!" Semua orang menjawab bersama. "Hoe!" "STOP!" Ravin menghentikan aksinya memainkan gitar. Semua pasang mata menatap dirinya. Hening seketika. "Hoi, gak asik lo, ah! Ape, sih?" Bambang mendengus kesal. Ravin nyengir tidak bersalah. "Giliran gue yang nyanyi." "Kagak!" Emo yang pertama kali tidak setuju. "Lo mau bikin kita modar?" "Ape, sih? Yang lain aja fine-fine aja." "Fine aja pala lu botak!" Eno ikut menyahut. "Suara lo kayak manggil lelembut tau gak?!" "Syirik aja lo, No. Ngomong aja lo iri sama suara gue yang cetar membahana badai mempesona." "Ngapain gue iri sama suara kambing lo, hah?" "Terserah, pokoknya gue yang nyanyi. Titik, gak pake koma, gak bisa dibantah dan mutlak!" Ravin berjalan ke depan. Semua orang berlari menjauh dan meninggalkan kantin. Ibu kantin bersembunyi di balik dagangannya. Ravin membuka mulut, kemudian bernyanyi. "Dudu klambi anyar--mmbbhhhh!" Emo menyumpal mulut Ravin dengan kaos kakinya. "Makan kaos kaki gue! Mantep gak, tuh!" "Anjing! b*****t lo, Mo!" Emo ngacir meninggalkan kantin. Ravin segera mengejar sahabat laknatnya, namun terhenti. Vania--mantan pacar Ravin--menghalangi jalan. Keadaan Vania tidak baik. Rambut kusut, mata bengkak, bibir pucat. Sepertinya, Vania terguncang karena diputuskan oleh Ravin. "Gue mau ngomong sama lo." Ravin membuang muka. "Ck, gue gak mau ngomong sama lo." "Vin, gue gak mau putus sama lo!" "Bukan urusan gue." Ravin melewati Vania begitu saja. "Ravin! Kenapa lo tega giniin gue?!" Vania menghentakkan kaki kesal. " RAVIN! RAVINDRA ACHANDRA!" *** Pulang sekolah, Ravin menjemput Olly di depan kelasnya. "MOL-MOL!" Semua pasang mata menatap ke arah Ravin yang berteriak kencang. Olly menutup wajah dengan kedua tangan. Laki-laki aneh itu membuatnya malu setengah mati. Kalau begini caranya, image Olly hancur berkeping-keping. "Mol!" Ravin memegang pundak Olly. "Mau ke mana lo?" Olly menghela napas kasar, kemudian menurunkan tangannya. "Bisa gak sih lo gak teriak-teriak? Gue gak budek." "Hehe .. maap, maap. Gue takut lo kabur. " Ravin nyengir kuda. "Yuk, pulang." "Hmm." "Ha hem Ha hem aje lu." "Terserah gue, dong." "Iye, perempuan selalu benar." "Nah, itu tau." Ravin terkekeh sambil mengacak-acak rambut Olly. "Apa, sih?! Gak usah berantakin rambut gue!" "Iye, galak amat lu." "APA?!" "Gak jadi, hehe .. " Vania memperhatikan interaksi Ravin dan Olly dari jauh. Kedua tangannya mengepal kuat. Amarahnya meningkat. "Cewek itu .. bukannya cewek yang di rumah Ravin?" Vania bergumam pelan. "Desi, cari informasi apapun tentang cewek itu!" Perempuan di samping Vania menoleh kaget. "Tapi .. " Vania melotot kesal. "Gak ada tapi-tapian! Gue harus tau siapa cewek itu." "Oke, besok gue kasih informasinya ke lo." Vania tersenyum miring. "Oke." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD