Chapter 15

1678 Words
Sehitam langit malam ketika hujan, aku tidak ingin menjadi bagian hitammu. Aku ingin menjadi terang yang menarikmu dari kegelapan. *** Olly dan Ravin tiba di SMA 1 Bangsa ketika jam menunjukkan pukul 06.15 WIB. Olly terpaksa menyeret si biang kerok Ravin supaya tidak terlambat. Ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Cukup sekali. Olly tidak mau terlambat lagi dan membuat image baiknya tercoreng. Terlebih lagi, hari ini adalah hari terakhir MOS. Lihatlah, keadaan Ravin seperti seekor itik kehilangan induknya. Tidak terawat dan rusuh. Seragamnya keluar, tidak memakai dasi, dan celana abu-abunya yang digiling sampai ke lutut. Sebenarnya, Ravin berangkat ke sekolah atau berangkat ke sawah? "Ravin!" Olly meneriaki Ravin yang berjalan lambat sambil menguap lebar. "Cepetan! Jalan lo kayak keong tau gak?" Ravin menatap Olly malas, kemudian menggaruk rambutnya. "Males, ah. Gue pulang, yak?" "Kalo lo pulang, gue lepas kalung yang lo kasih." "Jangan!" Ravin langsung membuka matanya lebar dan menghampiri Olly. Senyumannya mengembang lebar. "Mol-mol, gue bercanda, kok. Liat muka gue yang tamvan ini, bikin seger, kan?" "Serah lo. Pokoknya, jangan pulang." Olly melirik sinis. "Iya, iya." "Lo mandi gak, sih?" "Kagak, hehe .. " "Serius?" "Iye .. " Ravin menjawab sambil mengorek telinga. Santai sekali. "Kenapa gak mandi?!" Olly memukul Ravin dengan buku yang ia pegang. "Jorok tau! Itu lagi, ngapain ngorek kuping?!" "Aduuuhhh! Sakit, Mol-mol. Ampun .. " Kedua tangan Ravin melindungi tubuh dari pukulan Olly. "Gue gak mandi karena aernya dingin. Lo bangunin gue jam empat pagi, lo lupa?" "Kan, ada air panas, tinggal pencet aja susahnya apa?!" "Jempol gue mager, Mol." "Kebanyakan alasan!" "Stop! Nanti sore gue mandi, janji!" Olly berhenti memukul Ravin. Dadanya naik turun. Astaga, Ravin membuatnya naik darah. "Serah!" Olly berjalan terlebih dahulu. Ravin mengerang kesal. Hei, ini masih pagi! Oh, ayolah, sekolah saja sepi seperti kuburan. Bagaimana bisa Olly menyuruhnya ke sekolah saat selimut dan bantal lebih menggoda? "Ravin, cepatan!" Suara teriakan Olly kembali terdengar membuat Ravin menghela napas frustasi. "Ravin!" "Iya, sayangkuuuuu!" Ravin berlari menyusul Olly yang hilang di lorong sekolah. "Abang datang kepadamuuu .. " *** Vania memasuki kelas XI IPA 1 dan mendudukan diri di bangku paling belakang. Tadi, ia tidak sengaja melihat Ravin datang bersama Olly. Selama satu tahun di SMA 1 Bangsa, ia tidak pernah melihat Ravin datang sepagi ini. Laki-laki absurd itu lebih sering datang mepet, terlambat, atau membolos. Ada yang tidak beres. Apa hubungan Olly dengan Ravin? Apakah mereka pacaran? Kalau sampai pacaran, ia tidak akan tinggal diam. "Vania, lo udah datang?" Desi berjalan menghampiri Vania dan duduk di sebelahnya. Tanpa basa-basi, Vania bertanya, "gimana? Udah dapet info?" "Iya." "Cewek itu siapa?" Vania menatap lekat. Tidak sabar menunggu jawaban dari Desi. "Namanya Mollyza Adiba, umur 16 tahun, cantik buanget, disukai banyak cowok, disukai guru-guru, pinter, menjuarai olimpiade matematika, jago nyanyi, emm .. apalagi, ya? Pokoknya, Olly itu cewek perfect." "Cari informasi yang bener, dong!" "Ini udah paling bener, Van." "Ck, tambah sebel gue." Raut wajah Vania berubah masam. "Masa gak ada jeleknya? Terus, hubungan Olly sama Ravin apa?" "Oh, gue inget!" Desi berseru. "Apa?" "Menurut informasi yang gue dapet, Olly itu anak yatim piatu, nyokapnya meninggal setahun yang lalu dan bokapnya meninggal ketika dia umur satu tahun. Terus, dia punya kakak perempuan. Lo tau gak kakaknya nikah sama siapa?" Desi tersenyum senang. "Siapa?" "Kakaknya Ravin." Dahi Vania berkerut tajam. "Sebentar, kalau kakaknya Olly nikah sama kakaknya Ravin, berarti .. " Desi mengangguk. "Mereka saudara ipar." Vania menggigit kuku jarinya. Kakinya bergerak ke atas dan ke bawah. Kalau mereka saudara ipar, berarti mereka cukup dekat. "Des," "Hmm?" "Mungkin gak kalau kakak ipar suka sama adek ipar?" Vania menatap Desi cemas. "Mungkin aja." "Secara agama, emang boleh?" Desi tertawa mendengar pertanyaan Vania yang polos. "Eh, Van, dengerin, ya .. semua agama di dunia ini gak ada yang ngelarang manusia buat jatuh cinta. Kita berhak jatuh cinta sama siapapun. Yang gak boleh itu nikah sama mahramnya." "Terus, kalau Ravin sama Olly?" "Emm .. Dilihat dulu, mahram atau bukan. Kalau mahram, ya, gak boleh nikah. Tapi, kalau bukan mahram, enggak apa-apa. Di sini, Olly sama Ravin gak menunjukkan kalau mereka adalah mahram. Olly gak punya hubungan darah sama Ravin, mereka cuma iparan karena pernikahan kakaknya. Jadi, sah-sah aja. Itu menurut gue, ya .. " Vania semakin bergerak gelisah. Desi menangkap tingkah aneh dari sahabatnya. Tidak biasanya Vania cemas berlebihan seperti ini. "Kenapa, Van?" "Gak papa, kok." Vania tersenyum canggung. "Lagian, kenapa lo tanya soal nikah dan mahram, sih? Kebelet nikah lo?" "Enggak. Gue kepo aja." Desi menghembuskan napas kasar. Ia memperhatikan Vania yang tidak berhenti menggigit kuku jarinya. Ciri khas ketika Vania gugup, cemas, dan merasa terancam adalah menggigit kuku jari. Desi tahu betul kebiasaan Vania yang satu itu. "Van," Desi memanggil Vania, tetapi tidak digubris sama sekali. "Van .. Vania!" "Eh, gimana, Des?" Vania gelagapan seperti ketahuan mencuri uang. "Van, lo harus lupain Ravin." "Kenapa?" "Van .. " Desi mengelus pundak Vania lembut. Ia menatap sahabatnya penuh perhatian. "Cinta itu gak bisa dipaksakan. Gue tau lo cinta sama Ravin, tapi lo gak bisa maksa Ravin untuk cinta sama lo. Lo gak bisa ngatur perasaan Ravin, Van. Kalau lo kayak gini, bukan lo aja yang terluka, tapi Ravin dan Olly juga." "Gue gak bisa berhenti mencintai Ravin, Des. Dan, gue gak mau bertepuk sebelah tangan. Gue yakin, Ravin bakalan cinta sama gue." Mata Vania berkaca-kaca. "Van .. kadang, menyerah adalah pilihan terbaik. Lo gak--" "LO TAU APA, DES?! LO GAK TAU APA-APA! STOP! GUE GAK MAU DENGER APAPUN DARI MULUT LO!" Vania berdiri dari tempatnya dan berlari keluar kelas. Desi menatap Vania yang meneteskan air mata. Sebenarnya, ia tidak ingin Vania bersikap bodoh. Tetapi, cinta Vania terlalu dalam dan menganggap bersikap bodoh adalah bagian dari perjuangan. Kalau sudah begini, apa yang harus ia lakukan? *** "Ly, jam terakhir ada pensi, tapi kelas kita bingung mau menampilkan apa. Lagian, ketua kelas kita siapa, sih?" Alena mengaduk-aduk es jeruk dengan sedotan. Olly dan Alena berada di kantin. Mereka sepakat ingin menghilangkan suntuk setelah dua jam menerima materi dari pengisi acara Masa Orientasi Sekolah. Olly mengangkat kedua bahu yang menandakan ia tidak tahu menahu tentang ketua kelas dan antek-anteknya. Olly memilih memakan cilok super duper pedas yang ia sukai. "Ish, kebiasaan, deh." Alena memberengut kesal. "Kadang ngomong panjang, kadang gak ngomong sama sekali. Bikin gedek aja." "Siapa?" "Lo! Mollyza Adiba!" Olly tersenyum tipis, kemudian melanjutkan memakan cilok. Alena memutar bola matanya kesal. Baiklah, stok kesabarannya masih banyak. Harap bersabar, ini ujian. "Eh, Ly, gue punya ide!" Olly memasukkan satu butir cilok ke dalam mulutnya. "Apa?" "Gimana kalau lo yang mewakili kelas kita di acara pensi? Nyanyi aja, suara lo kan bagus." Alena menaik turunkan alisnya. "Enggak." "Yailah, ini bocah ngomong gak pake mikir." Alena mendengus. "Ly, dengerin gue, kalau lo nyanyi di acara pensi nanti, kemungkinan lo direkrut sama anak musik besar banget, terus kalau lo udah masuk musik, lo bisa mengembangkan bakat terpendam lo. Dan, bisa ikut lomba." "Gue gak tertarik." "Olly .. ini kesempatan terbesar lo." Olly menatap Alena datar. "Oh, gitu?" "Iya, percaya--" "But, i don't care." Alena memejamkan mata berusaha menahan amarahnya yang berada di ubun-ubun kepala. Sahabatnya keterlaluan. Seenak pantatnya memotong percakapan orang lain. Hei, yang punya mulut bukan situ aja! "Eh, cupu, minggir! Gue mau duduk sini." Pusat perhatian Olly tersedot ke arah pojok kantin. Ia refleks menoleh dan menemukan Ravin dan teman-temannya membuat keributan. Bambang--laki-laki berjengger ayam--menggebrak meja dan mengusir siswa yang duduk di meja itu. "Nah, dari tadi, kek! Gara-gara lo suara gue seret." Bambang mendaratkan p****t di bangku yang berhasil ia rebut. Sedangkan, siswa yang diusir beranjak ke bangku lain. "No, ambilin minum, dong." "Ogah." Eno sibuk memainkan game di ponsel. "Emo aja." "Mager, ah." Emo mendorong bahu Ravin. "Vin, ambilin minum." "Tokek! Gue bukan babu lo pada." Olly memperhatikan tingkah laku geng Ravin. Jujur, Olly tidak suka. Sikap mereka sangat senioritas. Mentang-mentang kelas XI, mereka berhak mengusir orang seenak jidatnya. "Bukannya itu Kak Ravin?" Alena menunjuk geng Ravin dengan sedotan. "Kabarnya, geng Kak Ravin itu paling ditakuti, loh. Eh, bukan, paling b****k, deng, hehe .. " Olly melirik sinis geng Ravin yang kini bergabung dengan anak kelas XII. Mereka membuat keributan dan membuat suasana kantin gaduh. Suara ketawa mereka mendominasi kantin. Cara duduk mereka seperti nongkrong di warung pinggir jalan. Bedanya, tidak ada rokok. "Hahaha! Bulu onta kalah!" Emo menunjuk Ravin yang kalah dalam permainan batu gunting kertas. "Goyang Inul sekarang!" "Oke, siapa takut!" Ravin melepas seragam menyisahkan kaos putih polos yang membalut tubuhnya. Kemudian, ia menaiki meja dan melakukan goyang Inul yang mempesona. Pantatnya menungging seperti mengebor tanah. Tangannya memutar seragam seperti kincir angin. "Haiyaa!" "Mantap, bos!" "Haha, menjiwai banget lo, Vin!" "a***y, mata suci gue ternodai." Semua orang tertawa geli melihat tingkah bodoh Ravin. Olly menepuk jidatnya. Salah apa ia memiliki kakak ipar yang g****k? "Ly, kakak ipar lo gila! Kenapa lo betah tinggal satu rumah sama dia?" Alena tertawa melihat goyang Inul Ravin. Bahkan, perempuan itu tidak bisa berhenti tertawa. "Gue juga gak tau kenapa betah tinggal sama Ravin." gumam Olly pelan. "Len, balik, yuk!" "Heh? Bentar lagi, Kak Ravin lucu." Alena asik memperhatikan Ravin yang semakin brutal dalam bergoyang. Olly mendengus, kemudian berdiri meninggalkan kantin. Ketika kakinya melangkah beberapa langkah, Olly mendengar Ravin meneriaki namanya kencang. "BIMOLI .. ! BIBIR MOYONG LIMA SENTI!! MAU KE MANA LO, HAH?!" Langkah Olly terhenti. Ia memejamkan mata. Suara Ravin menggelegar seperti petir. Semua pasang mata menatap Ollya aneh. Ravin syaitonirrajim! Ravin meloncat dari meja dan menghampiri Olly. Laki-laki itu nyengir tidak bersalah. "Cintaku--aih, sakit, anjir." Ucapan Ravin terpotong karena Olly menginjak kakinya. "Jangan buat gue malu." Olly membisikkan kata-kata di telinga Ravin. "Oke." Olly tersenyum manis. "Bagus." "Apa sih yang enggak buat lo?" Ravin tersenyum sambil mengacak-acak rambut Olly. "Ke kelas, gih. Jangan di sini. Nanti malu." Ravin tersenyum lagi sebelum meninggalkan Olly. Laki-laki itu bergabung dengan gengnya. Berbicara apapun dan membuat semua mata terpusat pada mereka. Olly melihat Ravin. Laki-laki itu bertingkah aneh seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sejak awal, tidak seharusnya mereka saling mengenal. Tetapi, teramat sulit untuk melakukannya ketika orang itu berhasil mencuri sebagian hati yang ia miliki. Ravin .. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD