Chapter 16

1928 Words
Biarkan dunia tidak merestui, tidak ada yang bisa mencegah hatiku jatuh padamu. *** Aula SMA 1 Bangsa dipenuhi oleh siswa-siswi yang menonton acara pensi. Tepukan tangan mengisi ruangan. Satu persatu perwakilan kelas menampilkan aksi terbaik mereka. Urutan pertunjukan ditentukan secara acak oleh panitia. Kelas X IPS 3 menjadi kelas pertama yang menampilkan pertunjukan. Mereka memilih stand up komedi. Suara deru tawa tidak berhenti terdengar. Kemudian, kelas X IPA 4 menampilkan fashion show dengan pakaian yang terbuat dari karung, kardus, dan koran. Olly menonton dengan hikmat ketika Alena menarik tangannya ke belakang aula. "Len, apaan, sih? Tangan gue sakit." Olly berusaha melepaskan cengkraman tangan Alena, tetapi tidak bisa. Cengkramannya kuat sekali. "Ly, please .. lo yang tampil, ya." Alena menatap Olly penuh pengharapan. "Kelas kita gak tau mau nampilin apa. Kasian Rudy .. " "Emang Rudy kenapa? Dia masih napas, kan?" "Oh, ayolah .. gue tau lo pinter, Ly. Tapi, bisa gak lo pinter di keadaan seperti ini?" Olly menaikkan satu alisnya. Alena menghela napas kasar. Menyebalkan sekali. Respon Olly hanya itu? Alena menarik rambutnya frustasi, kemudian menatap Olly sambil memaksakan senyum. "Lo tau gak Rudy siapa?" Olly menggeleng. "Dia itu ketua kelas kita. Kepalanya hampir botak karena mikirin kelas kita! Gak ada satupun dari temen kelas kita yang mau berpartisipasi di acara pensi." "Terus?" "Cuma lo yang bisa menyelamatkan kelas kita." "Kenapa gue?" "Lo punya bakat. Lo bisa nyanyi. Itu cara terbaik dan tercepat biar kelas kita gak kena denda." Olly menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. Matanya menatap Alena lekat. Alena menjadi gugup ditatap oleh sahabatnya. Tatapan Olly seakan-akan mentransfer dirinya ke dimensi lain. "Ke-kenapa lo li-liatin gue kayak gitu?" "Lo suka sama Rudy?" Alena melongo beberapa saat, kemudian tertawa terbahak-bahak. "Jhahaha .. lo ngomong apaan? Gue gak suka sama Rudy. Cewek secantik gue suka sama laki-laki kayak Rudy? Gak mungkin." "Terus, kenapa lo repot-repot nyuruh gue buat tampil sedangkan itu tugasnya Rudy? Seharusnya, Rudy yang ngomong ke gue langsung, bukan lo. Lo bukan wakil ketua, sekretaris, atau bendahara. Rasanya aneh .. seharusnya Rudy yang ribut, kenapa lo yang ribut? Kalau cuma rasa peduli, lo gak mungkin berusaha sekeras ini menyakinkan gue buat tampil nyanyi. Bahkan, sebelum lo narik gue ke sini, lo menyakinkan Citra, Erina, dan Agus buat tampil. Secara logika, gak mungkin lo gak suka sama Rudy setelah apa yang lo lakuin sekarang. Bener, kan?" Alena tidak bisa berkata-kata. Tidak ada argumen yang mampu ia lontarkan untuk membantah hipotesis Olly. Ternyata, Olly bukan pintar saja, tetapi cerdas juga. Olly melangkah maju satu langkah. Bibirnya melengkung ke atas. "Masih mau bohong, Alena?" ucapnya tenang. Alena menunduk. "Maaf." Olly terdiam. Dugaannya tidak salah lagi. Sebenarnya, Olly curiga di hari pertama MOS. Alena tidak berhenti mencuri perhatian Rudy. Perempuan itu berusaha mendekati Rudy secara pelan-pelan. Beberapa kali, Olly menangkap basah Alena yang menatap Rudy dengan tatapan berbeda. "Oke, gue mau tampil. Bukan karena Rudy, tapi lo. Gue mau bantu sahabat gue supaya dapat pacar." Alena mengangkat kepala untuk menatap Olly. Senyumnya terbit. Ia memeluk Olly erat. "Makasih, Ly! Makasih .. " "No problem." "Tunggu di sini bentar .. gue bilang ke Rudy." Alena berlari untuk menghampiri Rudy. Olly tersenyum tipis. Melihat Alena bahagia membuatnya ikut bahagia. Tidak lama kemudian, Rudy datang. Laki-laki itu menjelaskan kalau Olly mewakili kelas X IPA 1. Karena mendadak dan tidak ada persiapan, Olly akan menyanyi diiringi gitar oleh Fahmi. Kebetulan, Fahmi adalah anak band. Kemahirannya dalam bermain gitar tidak diragukan lagi. "Kelas kita tampil setelah kelas X IPA 2. Urutan ke-delapan. Lo siap, kan?" Rudy bertanya pada Olly dan dibalas anggukan kepala. "Fahmi mana? Bentar lagi giliran kelas kita." Alena cemas. "Oh, iya, itu anak kenapa ilang?" "Coba ditelpon." Rudy sibuk menelpon Fahmi. Sedangkan, Olly mengusap punggung Alena. Mencoba menenangkan sahabatnya yang cemas setengah mati. "Mencret." "Hah?" Alena dan Olly saling memandang. "Fahmi gak bisa ninggalin kamar mandi. Dia mencret. Kebanyakan makan samyang." Rudy berkata dengan wajah polos. Alena menepuk jidatnya. Kenapa harus mencret di situasi seperti ini? Dasar Fahmi s****n! "Terus, gimana?" Alena menggigit jarinya. "Selanjutnya, acara pensi ini akan dimeriahkan oleh kelas X IPA 1. Bagi perwakilan kelas dipersilahkan menampilkan bakatnya!" Suara MC acara terdengar lantang. Alena semakin gugup. Rudy mencari bantuan ke kelas lain yang bisa menggantikan Fahmi. Olly menenangkan Alena. Senjujurnya, Olly panik. Ia menutupinya dengan wajah datar dan tenang. Jika ia menunjukkannya, Alena akan semakin panik. "Perlu bantuan, Mol-mol?" Olly menoleh ke samping. Ravin berdiri di antara ketiga temannya. Bambang merapikan rambut agar berdiri seperti Monas, Emo memainkan rambut krebo, Ravin nyengir kuda, dan Eno yang sibuk mengusir nyamuk. Apa yang normal dari geng Ravin? Tidak ada. Melihat penampilan mereka saja bikin mata pedih. Seragam keluar, rambut acak-acakan, celana abu-abu menggulung sampai lutut, kaos kaki dan sepatu dekil. Paket lengkap. Ravin mendekati Olly sambil memasukkan tangannya di saku celana. Senyumnya mengembangkan bodoh. "Mol? Kenapa bengong? Jadi gak?" Ravin mengibaskan tangan di depan wajah Olly. "Mau gue yang main gitar?" "Enggak. Kacau kalau lo yang main." "Yakin?" Olly ragu. Suara MC semakin meneriakkan kelas X IPA 1. Tidak ada jalan lain, jika tidak tampil, kelasnya akan kena denda dan image kelas X IPA 1 menjadi buruk. Olly tidak mau itu terjadi. "Oke." Olly mengangguk. "Tapi, lo jangan nyanyi." "Kenapa?" "Pokoknya jangan." Ravin mengangguk. "Gue nurut mau lo." Olly mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Deal?" Ravin menjabat tangan Olly dan mengatakan, "deal." *** "Ravin bulu onta, semangattt!" Bambang berteriak heboh. "Mantap, broh. Sikat sampe abis! Maju terooss .. pantang mundur!" Emo mengangkat tinggi buku gambar yang bertuliskan 'Ravin cungkring, sok keren, sok ganteng'. Ia menggoyangkan buku gambar itu ke kanan dan ke kiri. "Bulu onta, jangan sampe kencing di celana! Jangan malu-maluin nenek moyang kita!" "It's okay to be lebay! Bulu ontaaaa!!!!" Eno ikut berteriak. "Tiati, Vin. Anginya kenceng, jangan ke bawa angin. Bulu onta kan ringan." Olly menunduk malu. Saat ini, ia berdiri di kelilingi siswa-siswi SMA 1 Bangsa. Yang paling memalukan adalah teman-teman Ravin--Bambang, Emo, dan Eno. Rasanya Olly ingin menghilang saja. Ravin tertawa dan melambaikan tangan membalas temannya. Ia meraih gitar milik Fahmi dan mendekati Olly. Membisikan kata-kata di telinganya. "Angkat kepala lo. Anggap aja temen gue gak ada. Lo cukup fokus sama pertunjukan lo." bisiknya. Olly menoleh ke arah Ravin. Laki-laki itu tersenyum manis. Kata-kata Ravin adalah sihir yang membangkitkan rasa percaya diri Olly. Bibirnya ikut melengkung mengikuti lengkungan bibir Ravin. Olly menatap penonton penuh percaya diri. "Selamat siang semua .. Selamat menikmati pertunjukan kelas X IPA 1." Olly mengangguk ke arah Ravin agar memainkan gitar. Jari-jari Ravin bermain indah di atas senar gitar. Nada yang merdu tersampaikan ke telinga pendengar. Petikan gitar Ravin menghasilkan suara yang menghipnotis semua orang. "Bun, hidup berjalan seperti b******n .. Seperti landak yang tak punya teman .. Ia menggonggong bak suara hujan .. Dan kau pangeranku, mengambil peran .. " Olly melantunkan lirik dari lagu Nadin Amizah dengan judul Bertaut. Suaranya merdu dan mengayun. "Bun, kalau saat hancur ku disayang .. Apalagi saat ku jadi juara .. Saat tak tahu arah kau di sana .. Menjadi gagah saat ku tak bisa .. Sedikit ku jelaskan tentangku dan kamu agar seisi dunia tahu .. " "Keras kepalaku sama denganmu .. Caraku marah, caraku tersenyum .. Seperti detak jantung yang bertaut .. Nyawaku nyala karena denganmu .. " Olly memandang Ravin yang serius memainkan gitar. Meskipun tengil, Ravin terlihat tampan ketika memainkan gitar. Rambutnya yang menutupi dahi tersapu angin yang berhembus. "Aku masih ada sampai di sini .. Melihatmu kuat setengah mati .. Seperti detak jantung yang bertaut .. Nyawaku nyala karena denganmu .. " "Bun, aku masih tak mengerti banyak hal .. Semuanya berenang di kepala.. Dan kau dan semua yang kau tahu tentangnya .. Menjadi jawab saat ku bertanya .. Sedikit ku jelaskan tentangku dan kamu agar seisi dunia tahu .. " Pendengar menikmati lantunan syair yang Olly lantunkan. Mereka tersihir oleh suara Olly dan petikan gitar Ravin. "Keras kepalaku sama denganmu .. Caraku marah, caraku tersenyum .. Seperti detak jantung yang bertaut .. Nyawaku nyala karena denganmu .. Aku masih ada sampai di sini .. Melihatmu kuat setengah mati .. Seperti detak jantung yang bertaut .. Nyawaku nyala karena denganmu .. " Olly dan Ravin saling menatap, kemudian tersenyum bahagia. Tanpa mereka sadari, pancaran kebahagiaan tersalurkan ke pendengar. "Semoga lama hidupmu di sini .. Melihatku berjuang sampai akhir .. Seperti detak jantung yang bertaut .. Nyawaku nyala karena denganmu .. " Petikan gitar Ravin mengakhiri lagu. Hening. Olly tidak mendengar suara tepukan tangan. Apakah penampilannya buruk? "Oi, oi, oi! Tepuk tangan, anjir!" Ravin bertepuk tangan heboh, kemudian disusul tepuk tangan meriah dari penonton. "Lagi! Lagi!" Penonton bersorak kencang. Olly tertawa. Ia melihat Ravin. Laki-laki itu tersenyum, kemudian mengacak rambut Olly. Olly dan Ravin berpegang tangan dan membungkuk bersama. Mereka menuruni panggung tatkala penonton berseru heboh agar mereka menyanyikan satu lagu lagi. "Keren! Lo keren banget, Ly! Suara lo bagus banget." seru Alena. "Selamat, Ly." Rudy memberi selamat. "Makasih udah mewakili kelas kita." "Mol, gue pergi dulu." Ravin menyerahkan gitar pada Rudy dan berbalik menjauhi Olly. "Sebelum temen gue bikin malu, gue harus pergi." Olly ingin mengikuti Ravin, namun tertahan karena Alena menyeretnya untuk berkumpul. Olly belum berterimakasih pada Ravin. *** Malam hari, Olly mendengar petikan gitar dari kamar Ravin. Ravin memainkan gitar sambil menyanyikan lagu Nadin Amizah yang tadi siang ia nyanyikan. Sejujurnya, suara Ravin fals. Daripada menyanyi, lebih baik Ravin makan. Oleh karena itu, Olly membawa cemilan dan segelas tes hangat untuk Ravin. "Daripada nyanyi, mending lo makan." Olly berdiri di balkon kamarnya. Tangannya menyodorkan toples berisi keripik singkong dan segelas teh hangat. Ravin menoleh ke arah Olly. Karena kamar mereka bersebelahan, balkon kamar mereka juga bersebelahan. Ravin menerima toples dan gelas yang Olly bawa. Ia meminum tehnya dan memakan cemilan yang ada di toples. "Vin," "Hmm?" Ravin berdehem. "Makasih." "Iye." "Kenapa lo bantuin gue? Padahal gue sering buat lo susah." "Karena lo cantik." Ravin menjawab santai sambil memakan keripik singkong yang ada di dalam toples. "Itu aja?" "Ada lagi." "Apa?" "Karena lo butuh bantuan." Olly tertawa canggung. Ia mengira Ravin akan menjawab 'karena lo butuh gue'. Ternyata, Ravin tetaplah Ravin. Manusia dengan pemikiran paling sederhana. "Kok, lo tau kalau kelas gue butuh pemain gitar?" Ravin meminum teh hangat sekali habis, kemudian menjawab pertanyaan Olly. "Gue gak sengaja liat lo ditarik Alena. Karena gue kepo kayak kebo, ya udah gue ikutin. Eh, malah kuncrut-kuncrut ngikutin gue." "Kuncrut-kuncrut?" Dahi Olly berkerut heran. "Bambang, Emo, Eno." "Bhahahaha .. " Olly tidak bisa menahan tawanya. "Lo pungut dari mana bahasa itu?" "Tong sampah depan warung Cak Lontong." "Hahaha!" "Bisa ketawa juga lu." Olly menyisahkan tawanya. "Bisalah, gue manusia." "Siapa yang bilang lo kadal?" "Aish! Nyebelin." "Kalau gak nyebelin, bukan gue, Mol." Olly mengangguk. Ravin memang seaneh itu. Jika tidak aneh, bukan Ravin. Sehari saja Ravin tidak berbuat ulah, satu rumah panik. Dikira Ravin kena pelet, santet, dan guna-guna. Ravin melirik kalung yang dipakai Olly. Satu kebanggaan tersendiri bagi Ravin karena Olly memakainya. Kalung yang Ravin beli dengan uang tabungannya selama satu tahun. "Mol, kenapa lo nyanyi lagu itu?" "Bertaut?" Olly menyebutkan judul lagu Nadin Amizah. Ravin mengangguk. "Karena gue kangen Bunda." Mata Olly menerawang ke langit. Berharap Monika mendengar isi hatinya. "Gue pengen makan makanan yang Bunda masak. Gue pengen liat Bunda lagi." "Sebagai gantinya, lo liat gue aja. Gue kan tamvan, mempesona, dan bijaksana, hehe .. " "Idih, najis." "Ada kata-kata yang gue suka dari lagu itu." "Apa?" Ravin masuk ke dalam kamar membuat Olly mengerut keheranan. Tidak lama, Ravin keluar dan menyodorkan kertas yang dilipat menjadi persegi. "Gue tidur dulu, bye!" Ravin membawa gitarnya dan menutup pintu balkon. Olly tidak mengerti jalan pikiran laki-laki itu. Ia yakin Ravin tidak tidur. Biasanya Ravin tidur jam dua pagi. Tangannya membuka lipatan kertas dan menemukan tulisan Ravin yang mirip ceker ayam. Tulisan itu berbunyi 'Seperti detak jantung yang bertaut, nyawaku nyala hanya denganmu. Goodnight.' Bibir Olly otomatis melengkung ke atas. "Dasar Ravin bego." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD