Chapter 17

1972 Words
Bagaimana aku bisa mencintai tatkala aku tidak mengerti hakikat dari cinta yang sesungguhnya? *** Hari ini, kelas XI IPS 4 mendengarkan penjelasan materi Sejarah. Pak Setyo--guru Sejarah--menceritakan seluk beluk penjajahan kolonial Belanda di Indonesia. Setiap kata yang terlontar dari bibir Pak Setyo adalah lagu pengantar tidur terbaik. Mata Ravin tidak bisa menahan kantuk. Kepalanya menurun perlahan-lahan. Mulutnya mengangga dan air liur menetes dari sudut bibir. Tidak hanya Ravin, Bambang terlelap dalam mimpi indahnya bersama Siti Badriah--idola yang paling ia kagumi. Emo dan Eno memilih bermain game di ponsel. Angin segar menerobos melalui celah jendala yang terbuka. Rambut Ravin tersibak mengikuti alunan angin bertiup. Tempat duduk yang strategis--paling belakang pojok dekat jendela. Sangking mengantuknya, Ravin tidak mampu menahan kepala dan akhirnya jatuh mengenai meja. JDUK! Bunyi yang dihasilkan membuat pembelajaran terhenti. Semua pasang mata menatap Ravin yang tertidur pulas. Bambang menggeliat, kemudian kembali terlelap. "Yaelah, bulu onta kejeduk. Benjol gak tuh kepala?" Emo membisikan pertanyaan di telinga Eno. Eno buru-buru menyembunyikan ponsel--takut ketahuan bermain game. "Bikin masalah aja itu anak. Herman gue." "Iye, gue juga herman." "Temen lo, tuh." "Temen lo juga, anying." "Oh, iya, temen kita." Pak Setyo berjalan menghampiri meja Ravin dan Bambang. "Enak tidurnya?" Ravin dan Bambang mengangguk sambil mata terpejam. "Mau bantal?" "Iye, sekalian kasur sama guling." Ravin menjawab santai. "Ya udah, keluar sekarang." Ravin membuka mata, kemudian mengeliat. Ia melakukan peregangan sebentar, merapikan rambut, dan berjalan keluar kelas. Sepeninggal Ravin, kelas menjadi sepi. Yang tersisa hanya dengkuran Bambang menggema kencang. "Bambang, keluar." perintah Pak Setyo. "Hmmm, gak mau. Lagi ketemu Siti Badriah." Bambang menggaruk pipi. Suaranya khas bangun tidur. "Ck, dasar tidak tahu malu!" Pak Setyo menarik telinga Bambang kencang yang membuat laki-laki berambut jambrik itu mengerang kesakitan. "Arrrgghhh, sakit, anjir!" Pak Setyo melotot marah. "Anjir?!" "Eh, Pak Setyo, apa kabar, Pak? Sehat, kan? Anak Bapak berapa? Istri Bapak cantik, kan? Kenalin, dong--" "Kurang ajar kamu!" Pak Setyo menarik telinga Bambang semakin kencang. "Kenapa nanya-nanya istri saya?! Mau kamu tikung, hah?!" "Eh, bu-bukan, Pak." "Berdiri di depan kelas sampai pelajaran saya selesai! Kedua tangan di telinga, satu kaki terangkat! Sekarang!" Pak Setyo menyeret paksa Bambang. Gelak tawa terdengar kencang. Emo dan Eno tertawa paling keras. Mereka meledek Bambang dengan menjulurkan lidah. Di luar kelas, Ravin menyenderkan tubuh di balik tembok sambil mendengar suara rintihan Bambang. Ia tahu ending-nya berakhir dengan dimarahi Pak Setyo, itulah sebabnya, ia tidak membantah ketika disuruh keluar kelas. Lebih baik keluar kelas daripada disuruh berdiri di depan kelas. Ravin berbalik meninggalkan lorong kelas XI IPS 4. Kalau tidak salah, hari ini jam olahraga kelas X IPA 1. Olly pasti di lapangan. Tanpa berpikir dua kali, Ravin mengarahkan kakinya menuju lapangan utama. Pemandangan pertama yang Ravin lihat adalah gerumulan orang membentuk lingkaran. Dahinya berkerut heran. Bukannya olahraga, malah berkerumun gak jelas. "Ada yang ditembak di depan umum." Suara bariton yang sangat Ravin kenal memasuki indra pendengarannya. Panji Bagaskara Hutama--laki-laki yang katanya mirip Cha Eun-woo--berdiri di sampingnya sambil mengamati orang-orang. Ravin berdecak kesal. Bukan karena kalah tampan, tetapi karena Bagas bukan orang yang bisa diajak berteman. "Ngapain lo di sini?" Bagas menaikkan satu alis. "Lo gak liat gue pake baju olahraga?" "Oh." Bagas menarik napas dalam. Dari semua murid SMA 1 Bangsa, Ravin adalah murid yang paling tidak bisa diatur. Kepalanya cenat-cenut memikirkan ulah Ravin yang tidak kehabisan ide. Sebagai ketua OSIS, ia sempat kewalahan menghadapi Ravin. "Ini jam pelajaran, seharusnya lo di kelas." Ravin mendudukkan diri di bangku pinggir lapangan. Kakinya terangkat ke atas paha seperti nongkrong di warung. "Gue suka di sini. Liat yang bening-bening bikin seger." "Balik ke kelas lo sekarang sebelum gue kasih poin pelanggaran." titah Bagas. "Hoi, santuy napa. Jadi orang kaku amat lo." "Ini peraturan. Lo mau dikeluarkan dari sekolah?" Ravin terkekeh. "Asal lo tau aja, gue gak bakal dikeluarkan dari sekolah hanya karena alasan sepele. Lagipula, kadar kenakalan gue gak separah itu." Bagas menggeram. Laki-laki berparas cina itu mengelak dengan lihai. Melihat Ravin yang santai saja tanpa rasa bersalah membuat Bagas jengkel setengah mati. "Terima! Terima! Terima!" Suara sorakan mendominasi lapangan utama. Ravin menelengkan kepala mendengar sorakan itu. Terima? Apanya yang diterima? "Mollyza Adiba." Perkataan Bagas membuat Ravin menoleh. Ia menatap Bagas penuh tanda tanya. Bagas tersenyum. "Olly ditembak sama temen gue, Malik." "Kenapa gak bilang dari tadi, g****k?!" "Lo gak tanya." "Ck!" Ravin memacu kecepatan kakinya. Ia membelah kerumunan. Di tengah lingkaran, Ravin menemukan Olly berdiri dengan wajah datar--sedatar lantai keramik. Di depan Olly, Malik tersenyum malu-malu sambil memegang satu tangkai bunga mawar merah. "Olly, gue suka sama lo. Lo mau kan jadi pacar gue?" Malik menyodorkan bunga mawar ke arah Olly. "Kalau lo mau jadi pacar gue, terima bunga gue. Kalau lo nolak, buang bunga gue." "ENGGAK!" Semua mata terpusat pada Ravin. Teriakan laki-laki itu membuat orang di sampingnya mengeluh sakit. Bagaimana tidak? Teriakannya seperti toa masjid. Olly menatap Ravin datar, sedangkan Ravin menggelengkan kepala. Mencoba memberi isyarat agar tidak menerima tawaran Malik. "Lo siapa? Gak usah ikut campur urusan gue!" Malik menghardik Ravin. "Pergi sana!" Ravin memejamkan mata. Tenang. Ia tidak boleh terpancing emosi di depan banyak orang. Tarik napas pelan, hembuskan perlahan. Setelah tenang, matanya terbuka. Ravin mengangguk-anggukan kepala sambil mengelus dagunya. Ia berjalan ke arah Malik. Kedua tangannya dimasukan ke dalam saku. Mulutnya bersiul santai. "Lo gila?! Atau tuli?! Gue bilang pergi!" Malik semakin marah. Ravin tertawa kecil, kemudian mengambil bunga mawar yang dipegang Malik. "Bagus." ucapnya sambil meneliti bunga mawar. "Tapi, sayang, bunga aja gak cukup." Ravin meraih tangan Malik dan mengembalikan bunga mawar. "Cukup atau enggak, bukan urusan lo." "Kalau mau nembak Olly jangan modal bunga doang. Lo laki, kan? Tunjukkan kalo lo cinta sama Olly." Malik menarik kerah Ravin. Ditatapnya mata Ravin. "Lo pikir gue bercanda nembak Olly? Lo siapa, hah? Lo gak berhak ikut campur urusan gue!" "Semua yang menyangkut Olly jadi urusan gue." Ravin tersenyum miring. "Bukannya lo udah punya pacar? Upsss, gue keceplosan. Hehe .. " "b*****t!" Malik melayangkan tangan hendak memukul Ravin, tetapi Bagas menahan tangannya. "Malik, gak gini caranya." Bagas memisahkan Malik dan Ravin. Mencegah hal-hal yang tidak terduga. "Selesaikan baik-baik." Semua orang semakin tertarik menonton. Mereka berbisik-bisik. Olly memperhatikan tingkah Ravin. Seharusnya, laki-laki itu tidak ikut campur. Kehadiran Ravin memperumit keadaan. Olly melangkah maju. "Kak Bagas, urus temen kakak. Ravin biar gue yang urus." Bagas mengangguk dan membawa Malik menjauhi kerumunan. Olly menatap Ravin tajam, kemudian menarik tangan laki-laki itu agar mengikuti langkahnya. Olly melepaskan tangan Ravin ketika mereka jauh dari kerumunan. Ia meletakkan tangannya di depan d**a. Tatapannya menginterogasi Ravin. Sedangkan, Ravin dengan santainya membuka bungkus permen karet dan menguyahnya. "Maksud lo apa?" tanya Olly. "Mau permen karet, Mol? Tinggal satu, loh." Olly memejamkan mata. "Ravin, gue serius!" "Gak usah serius-serius amat kali. Dibawa happy aja. Iye gak?" Ravin terkekeh. "Gak usah ikut campur urusan gue. Gak usah sok peduli. Gak usah sok tau tentang gue. Tindakan lo tadi membuat orang-orang berspekulasi tentang kita. Mereka bakal ngira lo dan gue--" "Ada apa-apa?" Ravin memotong ucapan Olly. "Emang kenapa kalau orang lain tau kalau kita saudara ipar? Gak ada yang salah. Saudara ipar bukan aib yang membuat image lo buruk." "Lo gak masalah, tapi gue! Gue bermasalah dengan itu! Lo ngerti gak, sih?!" "Gue gak tau dan gak mau ngerti, Mol." ucap Ravin. "Yang lo rasain itu cuma ambisi dan keegoisan lo aja. Apa image lo sepenting itu? Sesempurna apapun seseorang, pasti punya kekurangan. Lo gak bisa terlihat hebat di mata semua orang, Mol. Sehebat-hebatnya lo, ada yang lebih hebat. Di atas langit, masih ada langit." Ravin berbalik meninggalkan Olly setelah mengatakan, "lakukan apapun yang buat lo bahagia, Mol. Termasuk, menjaga image lo. Kalau capek, cari gue." *** Vania tersenyum puas mendengar pertengkaran Ravin dan Olly. Ini yang ia harapkan. Sampai kapanpun, ia tidak akan membiarkan Ravin dan Olly bersatu. Untunglah, tanpa m*****i tanganya, pertengkaran Ravin dan Olly terjadi dengan sendirinya. Keadaan berpihak padanya. Ia akan memanfaatkannya. Malik yang malang. Vania berduka atas penolakannya, tetapi ucapan terima kasih tidak bisa ia tidak melontarkannya. "Des, ini kesempatan buat gue mendekati Ravin lagi." Desi menghela napas panjang. "Van, udah. Gak usah ikut campur, ya? Lupain Ravin." "Menyerah sebelum berperang bukan cara gue." "Van .. " "Ravin harus jadi milik gue." "Vania, please .. jangan gila." Vania tersenyum mengerikan. "He's mine." *** Ravin dan Olly saling diam. Tidak bicara apalagi menyapa. Mereka menjadi asing dari yang paling asing. Ketika makan malam, mereka fokus makan. Semua penghuni rumah bertanya-tanya. Bahkan, Radhi yang terkenal cuek dan dingin sampai menanyakan keadaan Ravin pada Eva. Tidak biasanya Ravin diam seribu bahasa. Olly yang pendiam menjadi lebih diam. Suasana di meja makan yang biasanya gaduh menjadi canggung. Bianca berusaha mencairkan suasana dengan menjahili Ravin, namun hasilnya tidak berdampak apapun. Ravin keukeuh diam dan membisu. "Bun, Kak Rav sakit gigi, ya? Kok, gak ngomong sama sekali?" Bianca mengadu pada Eva. "Bianca, jangan gangguin kakakmu dulu. Makan aja, ya .. " Eva tersenyum ramah. "Ravin ke kamar dulu." Ravin mendorong kursi dan berjalan meninggalkan ruang makan. Tidak lama kemudian, Olly melakukan hal yang sama. Ia pamit dan meninggalkan ruang makan. Izza menatap punggung Olly. Adiknya sangat berbeda malam ini. Di lain sisi, Olly menatap dirinya di depan cermin. Ia memandangi kalung pemberian Ravin. Olly ingin melepas kalung itu dan membuangnya jauh. Tetapi, entah mengapa Olly tidak bisa melakukannya. Sejujurnya, Olly berniat meminta maaf pada Ravin. Ia terlalu cepat marah dan membuat Ravin tertekan. Olly tidak mengerti mengapa Ravin bertingkah seperti itu. Kejadian tadi siang akan berjalan baik jika Ravin tidak ikut campur. Olly akan menolak Malik secara baik-baik dan menyelesaikannya. Masalah tidak akan rumit. Tidak terlalu banyak drama seperti tadi. Lamunan Olly buyar ketika pintu kamarnya diketuk. Ia berjalan membuka pintu dan menemukan Ravin berdiri canggung. "Ada apa?" "Bisa bicara sebentar?" Olly mengangguk. "Oke." Ravin membawa Olly ke pinggir kolam renang. Mereka duduk di kursi kayu dan segelas jus jeruk yang nikmat. Tidak ada suara. Tidak yang memulai pembicaraan. Suara angin berderu pelan mengisi kekosongan di antara mereka. Tanaman pot bergoyang dan menari mengikuti alunan angin. Kegelapan malam seakan menelan mereka yang enggan mengucapkan kata. Olly menekan kuku jarinya. Keadaan menjadi canggung dan ia tidak tahu harus bagaimana. Sepuluh menit berlalu dan tidak ada tanda-tanda kalau Ravin akan memulai pembicaraan. Karena jengkel, akhirnya Olly memutuskan berbicara. "Kenapa ngajak gue ke sini?" "Gue minta maaf." Olly mengunci mulutnya. Suara Ravin terdengar lelah dan pasrah. "Gue gak suka Malik nembak lo." "Malik?" Olly mengingat-ingat. Oh, iya, laki-laki yang menembak dirinya di lapangan utama. Hampir lupa dengan nama itu. "Kenapa lo gak suka?" Ravin menatap Olly sebentar, kemudian mengalihkan pandangan. "Menurut lo, kenapa?" "Gue bukan peramal yang bisa baca pikiran orang." "Kalo baca isi hati gue bisa, kan?" Olly mengerutkan dahi. "Maksud lo?" "Lo gak tau apa pura-pura gak tau?" Olly semakin mengerutkan dahi heran. Ia tidak mengerti apa yang Ravin katakan. "Seorang cowok yang marah ketika liat cewek yang disukainya di deketin cowok lain. Gue rasa lo tau itu." Ravin menatap mata Olly. "Gue cemburu, Mol." Olly tertawa. "Jangan bercanda." "Gue serius." "Vin, lo ngelantur. Ngantuk, ya?" Ravin meraup wajahnya frustasi, kemudian berdiri. "Berdiri, Mol." "Hah?" Olly tidak mengerti. "Berdiri." Olly mengikuti perkataan Ravin. Ia berdiri dan menatap laki-laki itu. Ravin meraih tangan Olly dan meletakkan di dadanya. Olly merasakan detak jantung Ravin berpacu cepat. "Lo punya penyakit jantung?" "Bukan. Gue sehat walafiat." "Terus?" "Melalui detak jantung gue, seharusnya lo tau kenapa gue bersikap seperti itu tadi siang." Ravin menghela napas panjang, kemudian menatap Olly lekat. "Gue cinta sama lo, Mollyza Adiba." Olly melotot kaget. Tubuhnya menjadi kaku. Telinganya berdenging. Ucapan Ravin seperti bom yang sengaja dijatuhkan. Ravin menurun tangan Olly yang menempel di dadanya. Ia mundur perlahan, kemudian berbalik menuju kamarnya. Ia tahu perkataannya akan membuat Olly menjauh. Tetapi, Ravin tidak ingin menyesal karena tidak pernah mengucapkannya. Olly harus tahu kalau seorang Ravin Achandra jatuh hati kepadanya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD