Chapter 18

1268 Words
Akan aku pastikan kau tidak menjauh hanya karena ucapan 'aku cinta kamu' *** Seperti dugaan Ravin, Olly menjauh karena pengungkapan cinta ia lontarkan. Perempuan berambut panjang itu menghindarinya dengan sengaja. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Olly berlari kencang ketika bertemu Ravin seolah-olah Ravin adalah hantu dengan wajah menakutkan. Wajahnya yang tampan, mempesona, cetar membahana bagaikan empang, tidak mempan menghalau Olly untuk berdiam diri. Ravin memikirkan segala macam cara untuk mendekati Olly. Mulai dari curi pandang, menganggu Olly belajar, menyanyi fals agar Olly kesal, membeli cemilan kesukaan Olly, dan mengadu di depan Eva dan Rizal kalau Olly tukang ngambek. Namun, usahanya terbuang sia-sia. Olly tetap mengeluarkan jurus kaki seribu ketika bertemu Ravin. Hari ini adalah hari minggu. Hari di mana kedamaian dunia tersampaikan. Hari di mana Ravin tidak pusing memikirkan tugas sekolah. Hari di mana Ravin tidur seharian atau have fun bersama Bambang, Emo, dan Eno. Tetapi, hari minggu Ravin tidak berjalan sesuai rencana. Hari minggunya dipenuhi oleh bayangan perempuan cantik bernama Mollyza Adiba. Ravin keluar dari kamarnya ketika jam dinding menunjukkan pukul 14.00 WIB. Tenggorokan yang kering memaksanya beranjak dari tempat tidur setelah berjam-jam mendekam di kamar. Dengan langkah lunglai, Ravin menuruni anak tangga. Mulutnya menguap lebar. Rambutnya acak-acakan. Kantong mata selebar tutup botol tertera jelas di wajahnya. "Astaghfirullah, Ravin! Bunda kira genderuwo!" Eva memukul punggung Ravin pelan. Ravin melirik malas ibu yang melahirkannya. Ia mengambil gelas dan menuangkan air putih. Dalam sekejab, air dalam gelas tandas diminum olehnya. "Ravin, mandi sana!" "Mandiin." Ravin menyengir kuda. Eva melotot marah. Tangannya menarik telinga Ravin kencang. "Jangan bandel, ya! Mandi sekarang!" "Ya Allah Bunda! Sakit, busyet!" "Busyet apa?!" "Bundaaa! Lepasin! Sakit ini kuping Ravin!" Ravin menjerit kesakitan sambil memukul tangan Eva agar melepaskan tarikannya. "Bunda! Ampun, Ravin mandi sekarang!" Eva melepaskan tangannya dari telinga anaknya. Sedangkan, Ravin berlari meninggalkan dapur agar tidak diceramahi Eva. Di depan kamarnya, Ravin menghentikan langkah. Ia menoleh ke samping--ke arah pintu yang bertuliskan 'Molly'. Tatapan sedih tidak bisa Ravin tutupi. Sejujurnya, dua hari berusaha agar Olly memaafkannya terasa sangat melelahkan. Kata menyerah tidak pernah terpikirkan oleh Ravin, tetapi menyerah adalah pilihan terbaik saat ini. Tiba-tiba, pintu kamar Olly terbuka. Perempuan yang membuat jantung Ravin berdebar-debar muncul dengan tatapan terkejut. "Mol-mol!" Ravin tersenyum lebar. Olly bergerak cepat untuk menutup pintu, namun Ravin menghalangi pintu dengan kakinya. "Eh, buset, kaki gue kejepit!" "Pergi!" Olly berteriak dan mendorong pintu dari dalam kamar. Ravin tidak mau kalah. Ia mencegah pintu tertutup dengan kaki dan badannya. Aksi rebutan pintu berlangsung. "Pergi!" Olly mendorong pintu sekuat tenaga. Ravin menahan pintu agar tidak menutup. Ekspresi wajahnya seperti menahan BAB. "Gue gak mau pergi sebelum lo berhenti menghindar dari gue!" "Pergi!" "Wani piro?!" "Ravin!" "Apa?!" Karena kesal, Olly melepaskan pintu yang mengakibatkan Ravin terjengkal ke depan. Pipinya mencium lantai yang dingin. Posisi p****t Ravin menungging ke atas, sedangkan wajahnya menempel lantai. "Aduh, encok pinggang gue .. " Ravin mengelus pinggangnya yang ngilu. "Nelangsa bet dah idup gue." "Jhahaha .. " Olly tertawa kencang sambil memegang perut. Ravin bangkit. Mulutnya menggerutu tidak jelas. "Enak gak?" "Daripada tanya, mending lo yang ngerasain sendiri." "Ogah. Wleee .. " Olly menjulurkan lidah mengejek. Ravin tersenyum singkat, kemudian menarik hidung Olly. "Dasar anak nakal." "Auw! Sakit, lepasin!" Olly melepaskan tangan Ravin. Wajahnya cemberut lucu. "Yang penting lo gak ngambek lagi, hehe .. " "Gue masih marah, ya!" "Oh, ya?" Olly menggeram kesal. Yang namanya Ravin tidak pernah serius. Semua dibikin bercanda. "Terserah!" "Eh, jangan ditutup, anjir." Ravin mengedor-gedor pintu kamar Olly yang tertutup rapat. "Gue belum selesai ngomong." "Nunggu lo selesai ngomong gak bakal kelar, sana pergi!" "Mol! Buka pintunya!" Ravin berteriak sambil mengetuk pintu. Percuma, Olly tidak keluar untuk membuka pintu. Ravin menghela napas kasar, kemudian berjalan memasuki kamarnya. Hari ini gagal lagi. Tidak apa. Besok ia coba lagi. *** Esoknya, Ravin memeriksa layar handphone yang menunjukkan pukul 06.55 WIB. Badannya bergerak gelisah. Bukan karena takut terlambat, tetapi Olly yang tidak kunjung datang. Ravin menunggu Olly di halaman rumah selama lima belas menit. Bukankah waktu yang cukup lama untuk menunggu perempuan bernama Olly? Akhirnya, Ravin memutuskan memeriksa kamar Olly. Barangkali, perempuan cantik dengan kulit seputih s**u itu tertidur atau sakit. Tangannya memutar kenop dan mendorong pintu. Kosong. "Loh, Ravin? Kok, ada di sini? Gak sekolah?" Izza memergoki Ravin yang berdiri kaku di depan kamar Olly. "Eh, Mbak Izza, Ravin cari Olly." Ravin tersenyum singkat. "Olly?" Izza mengerutkan dahi. "Iya, Mbak." "Bukannya Olly udah berangkat ke sekolah?" Ravin tercengang. "Eh?" "Tadi jam enam pagi, dia pamit ke sekolah." "Naik apa, Mbak?" "Ojek online kayaknya." Izza tersenyum. Melalui ekspresi wajah Ravin, Izza tahu kalau Olly tidak mengatakan apapun perihal dirinya yang berangkat ke sekolah dahulu. "Ya udah, Mbak. Ravin berangkat sekolah dulu." Ravin mencium singkat punggung tangan Izza, kemudian berlari cepat meninggalkan rumah. "Assalamu'alaikum!" "Wa'alaikumsalam .. " Izza menggelengkan kepala melihat tingkah Ravin. "Zaman sekarang ada-ada aja tingkahnya." *** Bel istirahat berbunyi nyaring di seluruh SMA 1 Bangsa. Alena melakukan peregangan kecil agar sendi dan tulangnya tidak kaku. Olly membereskan buku-buku di atas meja, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Angin memasuki ruang kelas melalui celah jendela yang terbuka. Tirai berwarna biru langit berterbangan mengikuti arah angin. Cahaya matahari yang terik menerobos masuk. "Ly!" Alena menjerit histeris sambil menunjuk ke arah jendela. "Liat, deh! Kak Ravin di lapangan!" Olly menoleh cepat ke arah jendela yang menampilkan lapangan utama. Seorang laki-laki berambut acak-acakan, mata sipit, tubuh cungkring, berlari mengitari lapangan. Olly berjalan mendekati jendela untuk memastikan bahwa matanya tidak salah melihat. Sepertinya, Ravin dihukum lari mengelilingi lapangan karena terlambat. "Bener, kan? Itu Kak Ravin, kakak ipar lo?" Secepat mungkin, Olly memutar arah kakinya dan berlari meninggalkan kelas. Suara Alena yang berteriak menyoraki namanya tidak ia hiraukan. Yang ada dalam pikirannya adalah membelikan Ravin minuman agar laki-laki itu tidak kehausan karena berlari di bawah sinar matahari langsung. "Bu, air mineralnya satu. Ini uangnya, kembaliannya buat ibu aja!" ucap Olly. "Eh, Neng, jangan cepet-cepet atuh." Olly memacu langkah kaki agar tiba di lapangan utama. Tubuhnya otomatis miring ke kanan atau ke kiri ketika melewati beberapa siswa yang berjalan berlawanan arah dengannya. Ketika Olly sampai di pinggir lapangan, matanya melihat Ravin bersama perempuan lain. Perempuan itu mengusap dahi Ravin dengan sapu tangan. Ravin menerima botol minum berwarna pink yang disodorkan perempuan itu. Dengan cepat, Ravin menegak air dalam botol dan mengguyur wajahnya. Olly menjatuhkan botol air mineral yang baru saja ia beli. Ia terpaku tidak bisa bergerak. Mulutnya berdesis kesal melihat Ravin menikmati pelayanan istimewa dari perempuan yang berstatus sebagai mantan pacarnya. Tanpa berpikir panjang, Olly berbalik dan melangkah menjauhi lapangan utama. "Ravin b******k!" *** Di sisi lain, Ravin melemparkan botol minum ke arah Vania. Ia menepuk pundak Vania dua kali, kemudian berjalan meninggalkannya. Vania tersenyum senang dan menyusul mantan kekasihnya. "Vin, mau ke kantin? Gue traktir, ya?" "Enggak." "Gak usah sungkan gitu, gue ikhlas, kok." Vania merangkul lengan Ravin manja. Langkah kaki Ravin terhenti. Kedua alisnya bertaut. Tatapannya menajam menatap tangan Vania yang bergelayutan manja di lengannya. "Lepasin." "Enggak." Vania menggeleng dan meneruskan aksinya. "Gue mau deket-deket lo terus." Ravin menepis tangan Vania. "Gak usah pegang-pegang, gue gak suka." "Sakit, Ravin!" Vania mengusap tangannya. Ravin tertawa. Ia muak berhadapan dengan Vania yang ahli dalam bersandiwara dan memutar balikan fakta. Ravin memilih tidak menggubris akting mantannya. Ia mengibaskan tangan tidak peduli, kemudian berjalan meninggalkan lapangan. "Ravin!" Vania berteriak kesal karena Ravin yang cuek bebek terhadap dirinya. "Gue gak akan menyerah! Gue akan mendapatkan lo lagi!" "Cih, mimpi lo ketinggian." Ravin bergumam pelan. Laki-laki itu memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku dan satunya lagi mengangkat jari tengah tinggi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD