Chapter 19

1638 Words
Yang terlihat dingin belum tentu beku. Barangkali, ia membutuhkan seseorang yang tepat untuk mencairkan dirinya. *** Olly mengerang kencang. Pikirannya tidak bisa diajak berdiskusi. Saat ini, bayangan Ravin berputar dan bermain di dalam otak kecilnya. Olly mencoba mengenyahkan bayangan Ravin dengan mengerjakan tugas sekolah, bukannya hilang, bayangan Ravin semakin jelas dan nyata. Olly gelisah mengetuk meja dengan kuku jari sambil berpikir tentang kemungkinan yang terjadi. Apa ia salah makan? Atau .. ia tidak sengaja meminum racun? Argh, menyebalkan! Olly tidak bisa seperti ini terus. Jika dibiarkan ia akan menggila dan hilang kendali. Ia tidak ingin masuk Rumah Sakit Jiwa karena memikirkan laki-laki b******k yang tidak konsisten dengan ucapannya. Akhirnya, di malam yang dingin ini, ia memutuskan berbicara empat mata dengan Ravin Achandra. Apapun jawabannya, Olly menerima dengan lapang d**a. Bunyi air hujan menimpa atap rumah mengiringi langkahnya menuruni tangga untuk menemui seorang laki-laki kurus yang menonton film di ruang tengah. Olly menghela napas kasar ketika menemukan Ravin tertawa terbahak-bahak karena film komedi yang ia tonton. Perlahan, ia mendekati Ravin, kemudian duduk canggung di sofa. "Uhuk! Uhuk!" Olly berpura-pura batuk untuk menyita perhatian Ravin. "Nih," Ravin menyodorkan segelas air. "Lo sakit?" Olly menggeleng, kemudian meraih gelas pemberian Ravin. Ia meneguknya cepat dan meletakkan di atas meja. "Kalo sakit, istirahat di kamar aja." Ravin kembali menonton film. Matanya menatap layar televisi tanpa sedikitpun menatap Olly. "Ujan, noh. Kedinginan nanti." "Gue gak sakit." "Ya udah." "Gue sakit, deng." Ravin menoleh ke arah Olly. Ia mendekat. Sangat dekat. Dan, menempelkan telapak tangannya di dahi Olly. Seolah-olah tersihir menjadi batu, tubuh Olly menegang. Dadanya bergemuruh. Jantungnya berdetak lebih cepat. Kupu-kupu lucu menggelitiki perut dan merambat ke d**a. Kerongkongan menjadi kering kerontang. Menelan ludah pun jadi susah. Hei, ini terlalu dekat! "Enggak demam, kok." ucapnya. Ravin menggerakkan bola matanya ke bawah setelah fokus menatap dahi Olly. Detik itu juga tatapan mereka bertemu. Dengan jarak satu senti, mereka saling menatap dalam diam. Mata yang indah membuat Ravin enggan mengalihkan pandangan. Hanyut dalam pahatan iris yang sempurna. "Kak Rav! Cokelat gue di mana?!" Ravin buru-buru menjauhkan diri ketika mendengar teriakan Bianca dari lantai dua. Ia berdiri dan merapikan rambut untuk menutupi kegugupan yang melanda seluruh tubuhnya. "Kak Rav!" Bianca muncul dan memukul pelan pundak Ravin. "Cokelat gue yang tadi sore lo ambil di mana?" "Di kamar gue." "Sip!" Bianca mengacungkan jempol tinggi sambil berlari menuju kamar Ravin. Beberapa menit kemudian, Bianca kembali ke kamarnya. Ravin menghembuskan napas kasar. Hampir saja ia ketahuan Bianca. Kalau adiknya tahu dirinya jatuh cinta pada Olly, akibatnya fatal. Bianca dengan mulutnya yang kecil tapi ceriwis itu tidak akan diam. Bianca akan membeberkan informasi dengan cepat dan melebih-lebihkannya. Ngeri pokoknya! "Ya udah, gue ke kamar dulu." Ravin melenggang meninggalkan ruang tengah. Olly melongo. Setelah dibuat jantungan, Ravin meninggalkannya begitu saja? Kemarin mengganggu dengan segala macam cara, sekarang mengabaikan dirinya? Wah, hebat sekali laki-laki itu. "Ravin!" Olly menghalangi jalan dengan merentangkan kedua tangan di depan Ravin. "Lo pikir lo siapa? Kemarin ngemis-ngemis gak jelas, sekarang cuek bebek? Lo bukan anak raja! Lo bukan Lee Min Ho yang ganteng, tapi kenapa mainin perasaan gue, hah?!" Dahi Ravin berkerut tajam. "Siapa yang mainin perasaan siapa, Mol?" "Ck!" Bibirnya berkedut kesal. "Tadi siang, gue liat lo mesra-mesraan sama mantan lo yang cantik itu. Lo bilang lo cinta sama gue, kenapa pacarannya sama mantan? Lo serius gak, sih?" Ravin menahan senyum. Matanya menangkap sinyal cemburu yang kuat. Jangan salahkan dirinya jika memiliki hasrat untuk mencubit pipi Olly. Pasalnya, perempuan itu menggemaskan ketika cemburu. "Jangan senyum!" Olly menunjuk bibir Ravin yang melengkung ke atas. "Ekhm!" Ravin menormalkan ekspresi wajahnya, kemudian memicingkan mata curiga. "Lo .. cemburu, ya?" "Enggak! Jangan ngada-ngada!" "Kelihatan jelas, loh." "Jelas apanya?" "Halah, gak usah pura-pura. Gue tau lo cemburu." "Gue gak pura-pura. Dan, jangan ngarep gue cemburu karena itu gak akan terjadi." "Masa, sih?" Ravin menaik turunkan alisnya menggoda Olly. "Aish, bodoamat!" Ravin tertawa renyah. Ekspresi kesal Olly membuatnya bahagia. "Gue sama Vania gak ada hubungan apa-apa. Dari dulu, gue gak pernah suka sama dia. Gak usah cemburu gitu, percuma." "Kalau gak suka, kenapa pacaran?" "Gue capek nolak dia. Vania ngintilin gue ke mana aja, nempel-nempel gak jelas, dan sok imut. Risih aja kalau ada dia. Daripada ngerepotin, ya udah gue iyain maunya dia." "Termasuk jadi pacar lo?" Ravin mengangguk. "Cara lo salah." Olly mendudukkan diri di sofa. Ia menepuk tempat kosong di sebelahnya--menyuruh Ravin duduk. Laki-laki itu menuruti perintah Olly dan menjatuhkan p****t di atas sofa. "Secapek apapun lo sama Vania, jangan pernah mainin perasaannya. Yang namanya perasaan itu halus dan sensitif, salah sedikit aja, sakitnya luar biasa. Kalau suka bilang suka, kalau enggak suka bilang enggak suka. Jujur itu menyakitkan, tapi lebih baik jujur daripada berbohong." "Gue udah bilang gue gak suka sama dia, tetep aja dia ngejar gue. Siapa yang gak kesel coba?" "Vania suka sama lo. Gak ada yang salah mengejar seseorang yang kita sukai. Saat lo suka sama seseorang, lo memiliki hak untuk mengejarnya." Olly menoleh ke arah Ravin, kemudian tersenyum manis. "Waktu, Vin. Vania butuh waktu menerima penolakan lo." Sudut bibir Ravin ikut melengkung ke atas. Ia menemukan sisi lain dari Olly. Dibalik sikap dinginnya, Olly adalah perempuan dengan pemikiran yang dewasa. Meskipun kadar perfeksionisnya sangat tinggi, perempuan itu tidak pernah menilai seseorang dari luarnya saja. Ravin memutar posisi duduk agar menghadap Olly sepenuhnya. "Sebenarnya, lo cemburu atau enggak?" "Gue gak bilang gue cemburu." "Aelah, kebanyakan ngeles lo." "Hehe .. " "Jangan ketawa terus, diabetes gue." "Lebay." "Ah, laper. Makan, yuk, Mol?" Ravin bangkit dari tempat duduknya. "Ujan-ujan gini enaknya makan mi kuah. Lo mau gak?" "Lo yang bikin?" "Lo, lah." "Ogah." "Bikin bareng-bareng. Titik, gak pake koma. Terverifikasi secara higienis." "Idih, apaan, sih?" Olly terkekeh geli. "Oh, iya, Mol, gue serius sama ucapan gue." Ravin tersenyum manis. Semanis gula Jawa. "Gue beneran cinta sama lo." Kekehan Olly terhenti. Lagi, jantungnya berdetak lebih cepat. Pengakuan Ravin seperti listrik yang menyengat hatinya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung ke atas. Ada rasa puas atas pengakuan Ravin itu. "Eh, Mol-mol, ngapain bengong? Sini, bantuin gue." Teriakan Ravin terdengar dari arah dapur. "Iya, iya, sabar dikit napa." Olly memacu langkah kakinya ke arah dapur. Dinginnya udara selepas hujan tidak terasa karena kehadiran seseorang. Iya, seseorang yang membuat hatinya menghangat seperti musim panas. *** Ravin bersiul ria sambil memainkan kunci motor. Hari ini, suasana hatinya membaik. Olly tidak menghindarinya lagi. Setelah percakapan absurd semalam, Ravin menyimpulkan kalau Olly memiliki rasa yang sama. Perempuan bersurai panjang dan bergelombang itu hanya perlu waktu yang menerima perasaannya. "Kak, bayar utang." Bianca muncul tiba-tiba dan mengantongkan tangan. Seragam putih biru terpasang rapi di tubuh kecilnya. "Bulan kemaren lo nunggak. Hari ini bayar lunas." "Minggu depan gue bayar." Bianca menggeleng. "Bayar sekarang!" "Iye, iye, galak bener. Anaknya siapa, sih?" "Rizal Achandra." "Itu bapak gue, nying." "Bapak gue juga, pe'a." "Oh, iya, gue lupa." "Cepetan! Bayar!" Bianca melotot marah sambil berdecak pinggang. Ravin merogoh dompet dan mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna merah. "Nih, lunas utang gue. Jangan nagih lagi." "Oke." Wajah Bianca berubah secerah mentari menerima lembaran uang. "Kak Rav ganteng, deh. Lop yuuu!!!!" "Idih, jijik." "Yey! Shopping!" Bianca berlari keluar rumah setelah mencium pipi kanan, pipi kiri, dan dahi Ravin. "Gila itu anak! Ludahnya nempel semua di pipi gue." Gerutunya. Ravin melanjutkan langkah kakinya yang terhenti. Ia berjalan menuju kamar Olly dan mengetuk pintu. Mereka berjanji berangkat sekolah bersama. Karena tidak kunjung dibuka, Ravin memutar kenop dan pintu terbuka. Terdengar bunyi gemercik air dari arah kamar mandi. Ternyata Olly sedang di kamar mandi, pantas saja tidak merespon panggilannya. Sambil menunggu, Ravin meneliti kamar perempuan yang ia cintai. Rapi, bersih, dan wangi. Benar-benar mencerminkan watak Olly yang perfeksionis. Matanya jatuh pada tas punggung Olly. Terbesit niat terjahil di dunia. Ravin membuka resleting tas Olly, mengeluarkan buku fisika, dan menggantinya dengan buku matematika. Oke, sempurna! "Lo ngapain?" Olly keluar dari kamar mandi dengan seragam putih abu-abu yang melekat serasi di tubuhnya. Ia menatap datar Ravin yang cengar-cengir tidak jelas. "Siapa yang nyuruh lo masuk kamar gue?" "Gak ada. Gue masuk sendiri." "Lo gak nyentuh barang gue, kan?" "Enggak, kok." Olly menatap Ravin lekat. Ekspresi wajah laki-laki itu mencurigakan. "Beneran?" "Iye, suwer tak kewer-kewer." Ravin mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah di samping wajahnya. "Oke." Olly berjalan mengambil tasnya dan berjalan keluar kamar. "Yuk, berangkat." "Les goooo!" Ravin mengikuti langkah Olly. "Kosakata lo salah." "Penting ngomong." "Iyain aja biar cepet." "Eh, Mol, hari ini goyang yang mantep, ya .. kalau gak mantep, Panjul ngambek." "Gue gak mau ngelakuin mantra gila lo." "Harus mau." "Enggak." "Mau." "Enggak." "Lo cantik, deh." "Dari dulu." *** Panjul--vespa kuno milik Ravin--memasuki area parkir SMA 1 Bangsa. Olly turun dari motor, melepas helm, dan menyenggol bahu Ravin seolah-olah mengatakan 'gue duluan'. "Eistt! Tunggu dulu." Ravin mencegah Olly meninggalkan dirinya. "Gue anter ke kelas." "Gak usah." "Bentar, doang." Olly memutar bola matanya, kemudian meninggalkan Ravin yang sedang memposisikan Panjul agar berjejer rapi dengan motor lainnya. Laki-laki menyelesaikan perkerjaannya secepat mungkin dan berlari menyusul Olly yang hilang di pertigaan lorong kelas. "Mol, gue kasih tiga permintaan." ucap Ravin setelah berhasil mengejar langkah Olly. "Lo jin tomang?" "Bukan. Gue Jefri Nichol." "Gak ada sejarahnya Jefri Nichol jadi buruk rupa kayak lo." "Gue itu kembarannya yang berbeda gen." "Jefri manusia, lo primata." Dahi Ravin berkerut. "Primata? Apa itu?" "Monyet." "a***y, mulus banget ngomongnya." Olly terkekeh senang melihat raut muka Ravin yang kesal. Ia meraih tangan Ravin dan meletakkan permen karet. Senyuman manis melengkung di bibirnya. "Buat lo." ucapnya. "Jangan tidur melulu di kelas." Ravin menatap permen karet pemberian Olly. Rasanya jantung ingin keluar dari dadanya. Mulutnya gatal ingin berteriak sekencang-kencangnya. Ya Tuhan .. mimpi apa ia semalam? Di kejauhan, Vania menganga melihat interaksi Olly dan Ravin. Hatinya sakit. Ravin tidak pernah bersikap seperti itu di depannya. Kebencian semakin menguasai dirinya. Tangannya mengepal kuat. "Mollyza Adiba .. lo harus diberi pelajaran." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD