Chapter 9

2011 Words
Jangan menilai buku dari sampulnya. *** Olly membuka kelopak mata. Sang surya menelisik di antara celah jendela. Hari ini adalah hari minggu. Hari pertama ia tinggal di rumah Radhi. Tanpa pikir panjang, Olly menarik selimut dan kembali bergelut di alam mimpi. Tidak ada kegiatan yang ingin ia lakukan. Sekolah libur panjang. Ia pun sudah lulus, hanya perlu menyiapkan pendaftaran SMA. Samar-samar, telinga Olly mendengar suara petikan gitar yang lembut. Olly membuka kedua matanya, kemudian berjalan ke arah balkon kamar. Ia mengintip di balik pintu kaca. Seorang laki-laki berparas cina bermain gitar di teras balkon kamarnya. Suara hasil petikan gitarnya mengalun merdu--begitu lembut dan berperasaan. Olly ingat, saat pertama kali mereka bertemu, Ravin memainkan gitar yang sempat membuatnya terpana. Ia sangat suka alunan nada yang dihasilkan Ravin. Alunan itu seakan-akan berbisik lembut dan membuat setiap pendengar terhipnotis. Brak! Olly menyenggol beberapa buku di meja. Buku tersebut terjatuh dan menimbulkan suara keras. Dengan cepat, Olly membereskan buku-buku tersebut. Ia tidak ingin ketahuan Ravin dan membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Karena mendengar suara dari kamar sebelah, Ravin meletakkan gitarnya dan meloncat melewati pembatas balkon. Jika tidak pandai melompat, laki-laki itu akan terjatuh dari ketinggian lebih dari dua meter. Tok! Tok! Tok! "AH, PALA LO COPOT!" Olly kaget ketika Ravin nyengir sambil mengetuk pintu kaca. Olly mengusap d**a mencoba menenangkan degub jantungnya. Hampir saja ia melempar buku ke arah Ravin. Olly membuka pintu dan berhadapan dengan Ravin. Laki-laki itu tersenyum bodoh. Tunggu dulu, bagaiman cara Ravin ke balkon kamarnya? "Cie .. ngintipin gue, ya!" Ravin mengejek. "Gue ganteng, kan? Lo terpesona sama gue, kan?" Ravin merapikan rambut sok keren. Ia menaik turunkan alis. Terkadang, Ravin menunggingkan pantatnya ke arah Olly dan menggoyangkan ke kanan dan kiri. Olly menatap datar Ravin. Orang di depannya lebih mirip orang gila nyasar. "Lo--" Ucapan Olly terhenti karena Ravin menempelkan jarinya di bibir Olly. "Gue tau gue ganteng, tapi gak usah tergila-gila gitu, dong. Berhubung gue lagi baik, gue kasih tanda tangan." Ravin nyelonong masuk ke kamar Olly. Ia mencari buku dan bolpoin, kemudian mencoret sesuka hati. "Lo ngapain, sih?! Keluar gak?!" Olly menggeram marah. "Ravin, keluar!" "Wah, ternyata lo tau nama gue. Aduh, jadi, baper, nih." "Gak usah mengalihkan pembicaraan! Keluar sekarang!" Olly melotot sambil menunjuk pintu balkon. "Buset, galak bener. Tapi, kok, lo tambah cantik kalo marah?" "RAVIN!" "Iye, gue keluar." Ravin menyerahkan buku dan bolpoin kepada Olly, kemudian tersenyum. "Gue keluar, nih. Jangan marah-marah, nanti gue tambah sayang, hehe .. " Ravin berlari menuju balkon dan melompati pagar balkon dengan mudah. Laki-laki itu mendarat sempurna dan selamat di teras balkonnya. Olly menatap Ravin kesal. Sepertinya tidak ada yang bisa menghentikan tingkah konyol Ravin. Olly menutup pintu balkon dan membanting buku yang diberikan Ravin. Buku tersebut terbuka dan menunjukkan tulisan tangan Ravin yang mirip ceker ayam. 'Selamat pagi, Mol-mol! Gimana rasanya ketemu pangeran ganteng? Kalo udah cinta sama gue, bilang, ya! Biar gue jadiin istri sah gue, hehe .. :D :X -Ravin-' Olly menggeram. Mol-mol? Yang benar saja! Sejak kapan namanya berubah jadi Mol-mol? Ravin memang gila. Pagi-pagi sudah membuat Olly uring-uringan. Tok! Tok! Pintu kamar Olly diketuk. Ia bergegas membuka pintu. Siapa tahu Izza atau Eva memanggilnya. Ketika Olly membuka pintu, wajah bodoh Ravin menyapa. Saat itu juga darah Olly naik. "Mau gak jadi istri gue?" Dengan tengilnya, Ravin melontarkan pertanyaan tidak berguna. "LO MAU MATI, HAH?!" "Sabar, mak. Gue bercanda, kok." Ravin terkekeh sambil menggaruk tengkuk leher. "Tapi, gue beneran pengen lo jadi istri gue. Mau, ya?" "Ogah, pergi lo!" "Gue pergi ke hati lo boleh gak?" "Mati aja sana!" Olly menendang tulang kering Ravin yang membuatnya merintih kesakitan sambil memegang kaki. Olly membanting pintu sekeras mungkin. Berulangkali ia mengumpat. Dasar Ravin gila! Di mana-mana laki-laki mengajak perempuan pacaran dahulu sebelum nikah. Lah, ini malah mengajak jadi istri? Kurang gila apa coba? "BIMOLI, SELAMAT PAGI! LAIN KALI GUE AJAK LO NIKAH, DEH!" Ravin berteriak kencang membuat Olly bergidik ngeri. Amit-amit jabang bayi. *** Olly menuruni tangga menuju ruang makan. Jam makan siang tiba. Eva memanggil semua penghuni rumah untuk berkumpul. Olly duduk di salah satu kursi. Tidak lama kemudian, Bianca turun sambil menguap lebar. Ia masih mengenakan piyama. Tangannya memegang boneka beruang berwarna putih. Wajahnya kusut. "Bianca, kenapa masih pake piyama?" Izza bertanya sambil meletakkan beberapa lauk pauk di meja makan. "Bianca males mandi, Mbak. Ngantuk banget." Bianca kembali tidur dan meletakkan boneka sebagai bantalan. "Aish, kamu itu gak pernah berubah. Habis ini kamu harus mandi." Eva menegur Bianca. "Perempuan gak boleh jorok. Nanti siapa yang mau pacaran sama kamu?" "Iya, Bunda." Olly menatap Bianca sebentar sebelum menatap sekitar. Eva dan Izza sibuk menyiapkan makanan. Rizal tidak ada di rumah. Ada pekerjaan yang harus Rizal kerjakan. Radhi sibuk membaca koran sambil minum kopi. Keluarga ini terlihat harmonis. "RAVIN! TURUN!" Eva mengeluarkan suara delapan oktafnya. Memang seorang ibu bisa berubah menjadi apa saja. Jika diperlukan Eva bisa menjadi speaker masjid. "Siap, mamake! Ravin datang dalam satu detik! Demi kekuatan kolor tetangga, i can fly!" Bukan Ravin kalau tidak tengil. Laki-laki itu turun dengan cara yang tidak biasa. Ia meluncur di pegangan tangga seperti perosotan di taman bermain. Berteriak heboh dan membuat penghuni rumah melotot marah. Karena pegangan tangga tidak lurus, Ravin terjatuh dan berguling ke lantai. Eva bergegas menarik telinga Ravin sambil mengomel kesal. Eva tidak menyangka melahirkan seorang anak yang otaknya di dengkul. Sedangkan, Bianca tertawa terbahak-bahak. Aksi Ravin membuatnya terbangun dari tidur. Olly menarik napas dalam. Sepertinya, ia harus terbiasa dengan tingkah bodoh Ravin. Hari ini adalah permulaan. Olly tidak bisa membayangkan setiap hari diributkan Ravin. "Kalau turun yang normal bisa gak, sih?! Kalau cidera gimana?! Patah tulang?!" Eva terus menarik telinga Ravin. "Ampun, Bunda! Sakit telinga Ravin." "Janji gak bakal ulangi lagi, kan?" "Iya, Bunda. Ravin janji gak bakal ulangi lagi." Ravin mengeluarkan tatapan memelas. Eva melepaskan tangannya dari telinga Ravin dan menyuruh Ravin duduk. "Bunda." panggil Ravin. "Hmm?" "Kalo Ravin ngulangin, Ravin bakal janji lagi." Eva melotot. "RAVIN!" Bukannya minta maaf, Ravin malah terkekeh senang. Laki-laki itu duduk santai dan melahab makanannya tanpa menunggu Eva. Olly menatap Ravin kesal. Seharusnya Ravin menunggu Eva. Sudah sepantasnya anak menghargai orang tua. Mendahulukan yang lebih tua. Acara makan siang dimulai. Tidak ada pembicaraan selain Ravin yang ribut meminta ini dan itu. Laki-laki itu mencicipi semua makanan di atas meja. "Oh, iya, Olly mau daftar SMA, kan? Rencananya mau daftar di mana?" Eva tersenyum hangat. "SMA 1 Bangsa, Tante." jawab Olly. "Wah, satu sekolah sama Ravin, dong?" Eva sangat antusias. "Kebetulan, Ravin itu anaknya bandel. Tolong jaga Ravin di sana, ya?" Olly mengangga. Satu sekolah dengan Ravin? Olly tidak salah dengar, kan? Cobaan apa lagi ini? Olly tidak mau terkurung oleh Ravin yang begonya selangit. "Eh, anu, Olly berubah pikiran, Olly mau daftar di SMA 2 Nusantara." Olly menggaruk tengkuknya. Raut wajah Eva berubah sedih. "Yah, kok, berubah pikiran. Nanti yang jaga Ravin siapa, dong?" "Anu, bukannya Ravin yang harus jaga Olly?" "Oh, lo pengen gue jaga? Asyiap! Gue siaga 24 jam, hehe .. " Ravin berbicara dengan mulut yang penuh makanan. Bianca yang duduk di samping Ravin menjaga jarak--takut disemprot Ravin. "Ogah." "Heleh, malu-malu ae lo! Jadi, tambah sayang." Olly melotot marah. Ia menginjak kaki Ravin kencang. Ravin menahan rasa sakit seperti menahan BAB. "Olly di SMA 1 Bangsa aja. SMA 2 Nusantara kan jauh. Nanti repot." Izza tersenyum manis. "Tapi, Mbak--" "Gak papa. Nanti kalo berangkat bareng Ravin. Gak perlu naik angkot." Tatapan Izza seakan memerintah Olly untuk menurut perkataannya. Olly menunduk. Di dalam hati, ia mengumpat berulangkali. Penderitaannya di mulai hari ini. *** Ravin melirik Olly. Sedari tadi, perempuan itu menatap keluar jendela mobil. Setelah mengantar Izza dan Radhi ke bandara, Olly mendadak diam seribu bahasa. Memang, sih, Olly pendiam, tetapi ini lebih pendiam. Seakan-akan ada label warning tertempel di jidatnya. Izza dan Radhi memutuskan untuk bulan madu ke Italia selama seminggu. Itulah sebabnya, Olly pindah ke rumah Ravin lebih cepat padahal apartemen habis bulan depan. Karena jika Izza dan Radhi bulan madu, Olly sendirian. Izza memaksa Olly pindah agar adiknya tidak sendirian di apartemen. Ravin mengurangi kecepatan mobil. Ravin takut Olly panik jika ia mengendarai mobil dengan kecepatan seperti biasanya. Matahari turun perlahan-lahan. Langit berubah gelap. Pukul 16.40 WIB jalanan terlihat ramai oleh kendaraan. "Kayaknya dengerin musik enak, deh." Ravin melirik Olly sebentar sebelum menyalakan musik. Olly bergeming. Tidak ada pergerakan. Apa Olly terbiasa mengunci mulutnya? Pegel gak sih mulutnya diem mulu? "Eh, Mol! Ada badut!" Ravin menunjuk seorang badut di lampu merah. Teriakan Ravin berhasil membuat Olly menoleh kesal. "Nama gue bukan mol! Panggil nama gue yang bener!" "Liat, noh, badutnya joget tik tok. Liat! Liat!" Ravin tidak menggubris ucapan Olly. Laki-laki itu heboh sendiri memperagakan gerakan si badut. "Apaan, sih! Ijo, tuh, ijo. Jalan! Jangan joget terus." Olly menyuruh Ravin menjalankan mobil karena lampu lalu lintas berubah hijau. Ravin menjalankan mobil setelah memberikan beberapa lembar uang kepada badut. Olly tidak tahu kalau Ravin peduli dengan orang lain. Olly kira Ravin tipe orang yang b**o, t***l, dan seenaknya sendiri, namun, hari ini, Olly menyadari Ravin tidak seburuk yang terlihat. Meskipun bodoh, Ravin masih peduli sesama. "Makan, yuk! Laper gue." Ravin tersenyum ke arah Olly. "Enggak! Pulang aja. Gue capek." jawab Olly. "Aelah, galak amat lo jadi cewek. Bisa gak kalo ngomong gak usah pake pentung?" "Kenapa?! Lo gak suka?!" "Enggak, kok. Gue suka apapun dari diri lo, hehe .. " Ravin menepikan mobil dan mematikan mesin. Olly bingung. Untuk apa berhenti? "Gue laper. Terserah lo mau makan apa enggak." Ravin melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil. Olly berdecak kesal. Rasanya ingin merobek Ravin menjadi dua bagian. Laki-laki itu selalu seenaknya. Terpaksa Olly mengikuti langkah Ravin memasuki warung makan tersebut. Warung makan? Tidak salah tempat? Orang kaya seperti Ravin makan di pinggir jalan? Olly hampir tidak percaya. Seorang Ravin yang tinggal di istana makan di warung makan pinggir jalan. "Lo makan di sini?" tanya Olly setelah Ravin memesan dua porsi soto ayam. Ravin mengangguk. "Kenapa?" "Tapi .. " "Lo gak pernah beli makanan pedagang kaki lima?" "Pernah." ucap Olly. "Orang kayak gue tiap hari makan makanan yang dijual di pinggir jalan, tapi buat lo yang lahir dari sendok emas seharusnya makan di tempat yang lebih dari ini. Kebanyakan dari orang kaya jijik makan di pinggir jalan." Ravin tersenyum. "Apa salahnya makan di sini? Gak semua orang sama. Jangan samain, dong." "Ini Mbak, Mas, silakan dimakan." Seorang ibu mengantarkan pesanan. "Terima kasih, Bu." jawab Ravin. Olly memperhatikan Ravin yang makan dengan lahab. Lagi, Olly menemukan sisi lain dari Ravin. Semakin mengenal Ravin, Olly semakin penasaran tentang sosok Ravin. Laki-laki di sampingnya penuh teka-teki. Ravin mengajarkan Olly bahwa tidak semua orang sama. Mungkin, Ravin terlahir dari sendok emas, tetapi Ravin tidak pernah sedikitpun menyombongkannya. "Alhamdulillah! Akhirnya, lo senyum juga!" Ravin berseru kencang. "Senyum lagi, dong. Cantik. Bikin nagih." Olly segera menormalkan raut wajahnya. Tanpa sadar, ia tersenyum sambil memperhatikan Ravin. "Foto dulu, harus diabadikan moment langka ini. Mol-mol senyum setelah perang Dunia Kedua berakhir." "Lebay, deh! Jauh-jauh dari gue!" Olly mendorong Ravin yang berusaha merangkulnya. Bukan Ravin kalau menyerah dengan mudah. Ravin mendekat lagi dan merangkul Olly, meskipun dipukul berkali-kali. Ravin mengambil foto asal. Hasilnya tidak sebaik yang ia kira. Olly terlalu banyak gerak membuat foto blur. "Aish, jelek jadinya. Tapi, gak papa. Penting ada foto lo di hape gue, hehe .. " Ravin kembali memakan sotonya. Olly menahan amarah. Selera makannya menguap. Tidak ada yang menyebalkan selain Ravin. Olly sangat benci Ravin! Sampai kapanpun! *** Olly turun dari mobil. Ia berjalan memasuki rumah tanpa menunggu Ravin. Stok kesabarannya hampir habis. Ia tidak ingin marah-marah pada orang b**o seperti Ravin. Ravin tertawa melihat tingkah Olly. Lucu. Coba bayangkan seorang Olly yang bermuka datar, marah-marah tidak jelas. Sebuah pencapaian sukses yang Ravin dapatkan. Akhirnya, wajah Olly memiliki ekspresi. Ravin memasuki rumah untuk menyusul Olly. Tetapi, langkahnya terhenti keika menemukan seseorang yang tidak ingin ia lihat. "Sayang, kamu ke mana aja? Kok, telponku gak diangkat?" Vania bergelayutan manja di lengan Ravin. Seperti kucing yang mengigit ekornya sendiri, Ravin tidak menyangka keputusannya membuat keadaan kacau balau. Niatnya menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah. "Dia .. pacar lo?" tanya Olly. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD