Chapter 8

1615 Words
Tidak akan kubiarkan kau menghilang dari pandanganku, walaupun satu detik saja. *** Ravin meringkuk di bawah selimut. Semenjak kejadian memalukan di acara pernikahan Izza dan Radhi, Ravin tidak keluar kamar. Berulangkali, ia menyumpahi diri sendiri. Niatnya menjadi manusia keren di depan Olly hancur. Bukannya keren, Ravin terlihat menyedihkan. "Kak! Disuruh Bunda makan malam!" Bianca mengetuk pintu Ravin. "Kak Rav?! Jawab kek!" Ravin menutup telinga dengan bantal. Ia kehilangan selera makan. Pikirannya tertuju pada Olly. Ekspresi kecewa Olly terngiang-ngiang. "Aargghh! b******k! b**o!" Terdengar suara teriakan Ravin dari dalam kamar. "Kak Rav, kenapa?" Bianca khawatir. "Kak, buka pintunya." "PERGI LO!" Bentakkan Ravin membuat Bianca kicep. Tidak biasanya Ravin marah-marah. Bianca menarik napas dalam-dalam, kemudian berbalik meninggalkan kamar Ravin. Sebelum meninggalkan kamar Ravin, Bianca berteriak. "Kak! Besok Olly sama Mbak Izza pindah ke rumah kita! Siapin mental lo!" Bianca berlari cepat meninggalkan kamar Ravin sambil cekikikan. Bianca tidak bodoh. Ia tahu alasan Ravin marah-marah. Pasti Ravin malu atas kejadian di pernikahan kemarin. BRAK! Ravin membanting pintu keras. Ia menuruni tangga dan mencari Bianca. Ia harus memastikan kabar tersebut. "Bianca! Adik durhaka, di mana lo?!" Ravin berteriak mencari Bianca. "Bianca! Jin tomang, muncul gak lo? Gue cekek, loh!" "Hush, ngomongnya dijaga!" Eva datang sambil membawa lauk pauk untuk makan malam. "Ravin, kamu udah besar, ya .. kalau ngomong yang sopan. Kalo gak dibiasain nanti jadi kebiasaan ngomong kasar." Ravin menjambak rambut kuat. Biasa-biasa ia gila karena Olly. Ia belum siap bertemu Olly. Mau ditaruh mana mukanya? Menyebalkan! "Ravin, ayo, makan." Rizal mengalungkan tangannya di pundak Ravin. "Udah, gak usah dipikirin. Pertemuan kalian kemarin keren, kok." Ravin menatap pria yang berstatus sebagai ayah kandungnya. "Keren dari mana, sih, Pa?" Aduh, Ravin semakin gila. Keren katanya?! Keren dari Hongkong! Ravin ingin menangis. Tapi, kalau menangis bakal diketawain Bianca. Dasar adik laknat! Rizal tertawa. Baru kali ini Ravin galau karena perempuan. "Itu keren, Rav! Anak Papa keren, deh!" Rizal membawa Ravin ke ruang makan. Di sana, Bianca duduk manis. Adiknya itu cengengesan, kemudian menjulurkan lidah untuk mengejek Ravin. Ravin menutup kedua mata, menarik napas, kemudian memaksakan senyum. Ia menahan diri agar tidak memarahi Bianca yang menyebalkan. Eva mengambil piring, kemudian mengambil nasi dan lauk pauk untuk Ravin. Tidak hanya Ravin, Eva juga menyiapkan makan malam Rizal dan Bianca. Beberapa menit berlalu, hanya suara dentingan sendok dan piring yeng terdengar. "Bun, Kak Rav cuma ngaduk makanannya." adu Bianca. Ravin melemparkan tatapan mengancam. Bukannya takut, Bianca malah mengangkat bahu tidak peduli. "Ravin, dimakan, dong. Dua hari kamu makan sedikit, loh." Eva menegur Ravin. Bukannya menjawab, Ravin malah meletakkan sendok dan menjauhkan piring. "Ravin gak pengen makan." Eva, Rizal, dan Bianca saling pandang. Ravin yang di depan mereka sangat berbeda dengan Ravin yang biasanya. Ravin paling semangat jika makan. Namun, malam ini, Ravin menolak makan? "Bun, besok Mbak Izza tinggal di sini?" Pertanyaan Ravin membuat Eva menelan ludah susah payah. Eva mengangguk pelan. "Iya, mereka sementara tinggal di sini karena apartemen Izza abis bulan depan." "Olly juga tinggal di sini?" Eva melempar pandangan ke arah Rizal. Memberi intruksi agar suaminya saja yang menjawab pertanyaan Ravin. "Iya, Rav." Rizal tersenyum lembut. "Olly nanti tinggal bareng kita." "Aargghh!" Ravin mengerang. "Terus, muka Ravin mau ditaroh mana, Pa?! Ravin malu banget!" Bianca malah tertawa terbahak-bahak. "Kak Rav tau malu juga? Lah, goyang Inul di depan ibu-ibu aja gak malu, kenapa ini malu, sih?" "Heh, bocil, diem lo. Kalo gak diem gue timpuk pake omprengan, loh." "Wleee!!" "Ngajak gelut ini anak!" "HAHAHA!" *** Olly turun dari mobil Radhi. Ia menatap bangunan megah di depannya. Bangunan itu berwarna putih. Ada dua pilar besar yang menyangga. Gerbangnya setinggi dua meter. Halaman depan terdapat taman yang asri dan rapi. Berbagai tumbuhan hijau tumbuh subur. Bunga mekar indah. Kupu-kupu dan capung terbang riang. Di bagian tengah taman, terdapat kolam kecil berisi ikan emas. Beberapa lampu taman berdiri kokoh. Ia yakin, ketika malam tiba, taman akan disinari oleh cahaya. Olly takjub menatap rumah Radhi. Ini bukan rumah, melainkan istana! "Olly, ngapain kamu? Sini, bantu Mbak!" Suara Izza membuyarkan lamunan Olly. Tanpa berpikir panjang, Olly membantu Izza dan Radhi menurunkan barang. "Aduh, kalian sudah datang. Kenapa gak langsung masuk saja." Eva muncul dengan wajah sumringah. Ia menghentikan pergerakan Izza dan Olly yang sibuk menurunkan barang. "Udah, nanti Pak Rois yang bawa barang-barang kalian." Izza dan Olly menuruti perkataan Eva. Mereka memasuki rumah yang lebih mirip istana itu. Sedangkan, Radhi mengurusi beberapa barang yang diangkut oleh mobil box. Pintu terbuka. Olly menganga melihat konsep ruangan yang mewah. Ruang tamu sangat indah. Perpaduan warna hitam, abu, dan putih membuat ruangan selaras. Figura foto, lukisan, dan guci tertata rapi. Lampu hias berpedar indah. Bunga tulip mekar indah di vas bunga. Olly mengikuti langkah Eva yang menjelaskan setiap bagian rumah. Ruang tengah terdapat sofa panjang berwarna abu-abu. Sebuah karpet lembut menyentuh telapak kaki Olly. Pasti karpet itu harganya mahal. Televisi mengantung di dinding. Di sebelah kanan ruang tengah, terdapat kolam renang lengkap dengan kursi kayu yang nyaman. Olly menelan ludah susah payah. Seumur hidup, ia tidak pernah tinggal di dalam istana. Rasanya asing jika Olly tinggal di rumah yang seluas ini. "Olly, ikut Tante, yuk!" Eva tersenyum ramah. "Eh, ke mana Tante?" Tangan Olly ditarik Eva menaiki tangga menuju lantai dua. "Izza mau ketemu pak sopir yang akut barang. Kamu sama Tante aja. Tante tunjukin kamar kamu." Olly pasrah mengikuti langkah Eva. Lagi-lagi, Olly dibuat kagum dengan rumah Radhi. Tangga menuju lantai dua melingkar indah. Olly melihat tangga yang seperti ini di drama Korea. "Nah, kalau paling kanan, kamar Bianca. Kamar kamu paling ujung. Yang ditengah, kamar Ravin." Eva menjelaskan. Ia menghampiri kamar paling ujung. "Dulu, kamar ini kamar anak Tante." Dahi Olly berkerut. "Anak tante?" "Iya, Bianca lahir tidak sendirian." Eva membuka pintu dan masuk ke dalam. Nada suara Eva berubah sedih. "Bianca lahir kembar. Kembar tidak identik. Kembaran Bianca namanya Bima. Tapi, Bima meninggal satu tahun kemudian karena sakit." Olly memperhatikan ekspresi Eva. Binar kebahagiaan berganti dengan kesedihan. Ulasan masa lalu di mana Bianca dan Bima lahir berputar bak komedi putar. Eva merasa bahagia melihat dua anak kembarnya lahir ke dunia, namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Olly terdiam. Ia takut jika berbicara membuat Eva semakin sedih. Eva menghela napas panjang, kemudian tersenyum. "Kamu istirahat dulu, ya? Tante mau menyiapkan makan siang." Olly menatap kepergian Eva. Ia merasa Eva tidak benar-benar menyiapkan makan siang. Perkataan Eva hanya alibi agar Olly tidak melihat gurat kesedihan di wajahnya. Olly menatap sekeliling ruangan. Ruangan ini tidak pernah didesain ulang. Warna dinding biru langit masih sama. Yang berbeda adalah aksesorisnya. Robot, mobil-mobilan, dan miniatur diganti dengan boneka berwarna biru dan putih. Ada satu benda yang menarik perhatian Olly. Figura. Di dalam figura tersebut Eva dan Rizal tersenyum bahagia. Eva menggendong bayi laki-laki--Bima--dan Rizal menggendong bayi perempuan--Bianca. Radhi dan Ravin berdiri di sisi kanan dan kiri. Olly menatap figura itu. Ternyata, siklus kehidupan tetap berjalan tidak peduli kita orang miskin ataupun kaya. Setiap orang pasti mengalami kebahagiaan dan kesedihan karena roda kehidupan berputar. *** "ASSALAMU'ALAIKUM!" Ravin memasuki rumah sambil mengucapkan salam dengan kencang. "Kak Rav, gak sopan!" Bianca berjalan di belakang Ravin dengan menenteng kantong plastik penuh cemilan. "Kak, bantuin gue! Berat ini!" "Ogah." "BUNDAA! KAK RAV--mmbbhh!" Perkataan Bianca terpotong karena Ravin membekap mulut Bianca. Karena kesal, Bianca menggigit tangan Ravin. "ARRRGGGHHH! SAKIT, ANJIR!" Ravin mengerang. Refleks, ia melepaskan bekapannya. "Hahaha!" Bianca tertawa terbahak-bahak sambil memegang perutnya. "Emang enak?" Sebelum mode marah Ravin menyala, Bianca melarikan diri. Ravin berlari mengejar sang Adik. Bukannya bertemu Bianca, Ravin malah bertemu Olly. "BUSET, MONYET!" Ravin terjengkang ke belakang karena kaget. Olly menatap Ravin datar. "Monyet?" tanya Olly. Di belakang Olly, Bianca cekikikan. Ravin tambah kesal. Bianca memang cerdik. Adiknya mengambil celah yang sempurna. Bianca menjadikan tubuh Olly sebagai tameng. Ravin bangkit. Ia menatap Olly tajam. "Monyet itu binatang! Masa lo gak tau?" "Tau." "Terus, kenapa nanya?" "Karena lo saudaranya." Ravin mengangga. Sedangkan, Bianca tertawa terbahak-bahak. Tidak bisa dibiarkan. Ravin tidak boleh kalah. Harga dirinya tidak boleh diinjak-injak. Ravin tersenyum miring. "Kalo gue saudaranya monyet, gue monyet paling ganteng. HAHA!" Bianca tertawa kencang. "Akhirnya Kak Rav ngaku kalo monyet, hahaha!" Tanpa sadar, Olly ikut tertawa. Hal yang tidak pernah terjadi seumur hidup Olly. Biasanya, Olly menjaga jarak dengan orang baru. Tidak banyak bicara dan tidak gampang tersenyum. Tetapi, Ravin dengan mudahnya membuat Olly tertawa--rekor tidak pernah didapatkan orang lain. "Kalo gue monyet, lo juga monyet, Bi. Lo kan adek gue." "Kagak! Mulai hari ini, lo bukan kakak gue." "Eh, kalian apaan, sih? Tiap hari bertengkar, tiap hari cekcok, gak capek?" Eva datang karena mendengar suara perkelahian Ravin dan Bianca. Bianca berlari dan bergelayutan manja pada Eva. "Bunda, Kak Rav monyet." Mendengar perkataan Bianca, Ravin melotot marah. Bisa-bisanya Bianca mengatai dirinya monyet di depan Eva. Minta ditampol ini anak. "Kamu jangan ngomong kayak gitu, ah! Ravin itu kakak kamu, lho." "Tuh, dengerin! Punya kuping, kan?" Ravin menyahut sambil mengorek kuping dengan jari kelingking. "Ravin! Jorok banget kamu! Jangan gitu, ah!" Eva menarik tangan Ravin agar tidak mengorek kuping. "Pake cotton bud sana!" "Iye." "Olly, ayo, makan, Nak. Tante udah siapin opor sama rendang." Eva tersenyum manis. Olly mengangguk, kemudian mengikuti langkah Eva menuju ruang makan. Bianca menyerahkan kantong plastik berisi snack kepada Ravin dan berlari menuju ruang makan. "Bawa, Kak. Terima kasih." kata Bianca sambil tersenyum manis. "Dasar p****t kecoa! Enak banget idup lo, ye.." "Iya, dong! Bianca gitu, loh!" "Gue smack down abis hidup lo! " Ravin menarik napas dalam, kemudian berjalan menuju kulkas untuk meletakkan beberapa snack. Sambil menggerutu, Ravin melempar satu persatu snack ke dalam kulkas. Ia melampiaskan amarahnya. Gerakan tangan Ravin terhenti ketika ponselnya bergetar lama. Di layar ponsel tertulis nama 'Vania'. Tanpa pikir panjang, Ravin menekan tombol reject dan melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD